Mohon tunggu...
Erdin Arampihi
Erdin Arampihi Mohon Tunggu... -

Pegiat sastra di Kapatu Institute. Untuk tulisan-tulisan saya selain sastra, kunjungi situs: arifuddinhamid.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Selamat Jalan Profesor

4 Mei 2012   11:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:43 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam opini berjudul Widjojo "cum suis" (Kompas, 14/03/12), Nono Makarim menyaji kenangan akan sosok dan peran keekonomian Prof. Widjojo Nitisastro dalam konstelasi politik rezim Orde Baru. Yang menarik dalam kesimpulannya, tersingkirnya kelompok teknokrat yang terkenal dengan adagium "Mafia Berkeley" ini adalah disebab berubahnya selera Soeharto, yang terlalu terpukau pada dongeng-dongeng revolusi strategi versi Habibie, tentang lompatan visi dari agraris ke teknologi tinggi. Yang kemudian dalam disertasi Rizal Malarangeng (Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992, 2008: 74), selera tersebut berubah karena (kebetulan juga) ada "rezeki minyak", sehingga kelompok Hatta, eksponen yang kerap disebut kelompok empat, yang lebih menitikberatkan pada pemerataan ekonomi, memenangi pertarungan wacana kebijakan.

Lebih lanjut Nono Makarim, bahwa tersingkirnya Widjojo Cs menandai bangkitnya populisme dan pribumisme. Lebih intimnya negara dalam intervensi ekonomi, yang oleh Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, adalah kemestian yang seadanya begitu. Untuk membalas luka panjang kemelaratan kaum pribumi, perlu adanya fasilitas istimewa. Maka jadi teringat pada analisis S.H. Alatas dalam bukunya "Mitos Pribumi Malas (1988)", yang menolak stereotipe dan stigmatisasi serampangan produk kolonial. Bahwa pribumi tidaklah malas, tidak malas. Namun apa iya? Barangkali penulis dan pembaca status ini perlu introspeksi dan merenung mendalam akan kiprah kemanusiaan manusia Indonesia hari ini. Termasuk berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk ber-blog ria, termasuk waktu yang terbuang untuk menulis curhatan ini. Dan barangkali karena demikian pula, kegagalan populisme dan pribumisme ekonomi beberapa dasawarsa lalu, adalah cerminan semata dari potret ketidakmampuan meningkatkan kualitas diri, kemudian sibuk mencari alibi.

Maka demikian, di pagi yang syahdu ini -walau terlambat- saya mengucap duka cita mendalam untuk kepergian "sang maestro". Selamat jalan Prof. Widjojo Nitisastro, semoga amal ibadah diterima di sisi-Nya. Pikiran-pikiranmu niscaya menjadi pemantik dialektika, masa kini dan di hari-hari mendatang. Dan seperti pesanmu selalu, kecendekiaan harus dipupuk selalu, Indonesia harus dibangun dengan akal sehat, akan terus menjadi diskursus keindonesiaan modern. Biarlah kemudian generasi dan sejarah yang membuktikan, bagaimana laik dan idealnya Indonesia ini ditatar. Selamat jalan profesor.

Erdin Arampihi

Yunifco, Jaksel, 15/3/12

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun