Mohon tunggu...
Erbi Setiawan
Erbi Setiawan Mohon Tunggu... NGO -

Lulusan Master of Urban Environmental Management - Wageningen University & Research. @erbiesetiawan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Mari Sudahi Narasi Politik Hari Ini

18 April 2019   09:50 Diperbarui: 18 April 2019   09:52 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi: Tiga Sekawan Beda Pilihan Kasih Senyuman

Bangsa Indonesia berdemokrasi. Arah kebijakan bangsa yang besar ini tiap 5 tahun sekali akan ditentukan nasibnya. Pemilihan langsung bersifat jujur, adil dan rahasia dipilih menjadi metode yang dirasa paling bisa mewakili aspirasi dari rakyat negeri khatulistiwa ini. 

Terakhir, perhelatan akbar ini digelar 9 Juli 2014 yang menghadirkan persaingan cukup sengit dengan perolah suara 53.15% melawan 46.85%. Tahun ini, duel sengit ini pun kembali terulang antara Petahana Joko Widodo dan Sang Jendral Prabowo Subianto.

Beberapa jam saja setelah dilangsungkannya pesta demokrasi ini, muncul banyak quick count yang memenangkan salah satu calon. Ada dua paradigma yang patut kita lihat dari fenomena perhitungan cepat ini. Satu sisi, ini menjadi hal yang ditunggu rakyat akan antusias melihat hasil demokrasi 5 tahunan. 

Menerka -- nerka siapa yang akan memimpin Indonesia kelak menjadi kenikmatan tersendiri ditengah ketidakpastian. Seperti bermain roller coaster yang kadang berada di atas kadang di bawah kadang juga berputar. 

Dari sudut pandang lain, hadirnya quick count menjadi sebuah atmosfer panas bagi rakyat. Ketika salah satu calon dimenangkan oleh perhitungan cepat ini, barisan pendukung tidak hanya mensyukurinya tapi banyak yang tidak segan -- segan untuk menghina barisan oposisinya. 

Tanpa memikirkan bahwa Indonesia ini dibangun dengan fundamental  bahwa perbedaan adalah dasar pemersatu bangsa, banyak sekali lahir para hakim dadakan yang seakan -- akan lebih baik dari para pasangan calon yang kita sepakati adalah putera -- putera terbaik bangsa. 

Arti nilai persahabatan harus kalah dengan perbedaan pilihan. Arti nilai kedekatan, dipaksa jauh karena berbeda pandangan. Indonesia sedang mengalami tsunami politik.

Berbicara tentang presiden bangsa, dari kedua calon yang ada, telah disepakati oleh rakyat bahwa mereka adalah putra terbaik bangsa. Mereka mau mengorbankan waktu untuk mengurusi kita yang masih bingung dengan pertanyaan habis lulus kerja di mana? 

Mereka mau menyisihkan fikiran untuk menjawab pertanyaan kita tentang apakah besok beras masih ada? Lebih dalamnya mereka mau menjadi tempat salah untuk setiap keresahan yang ada di masyarakat. 

Satu pertanyaan besar yang mungkin tetap ada ketika pemenang kontestasi politik ini sudah diumumkan. Yaitu masihkah Pancasila bernadakan Bhineka Tunggal Ika? Narasi yang terbangun entah dari 01 ataupun 02 adalah narasi ketakuan, bukan narasi pembangunan. 

Kenapa ketakutan ? Banyak yang memilih salah satu calon karena takut jika calon satunya menang maka bangsa ini akan menghadapi hal yang tidak diinginkan. 

Banyak juga yang memilih salah satu calon karena merasa calon satunya hanya menebar kebencian. Inikah potret demokrasi bangsa kita? Bangsa yang tersohor akan budi pekertinya, bangsa yang terkenal akan keramahannya, bangsa yang terkenal akan rasa kebersamaan dalam perbedaan.

Coba sedikit kita ubah sudut pandangnya, dari yang kita melihat 01 dan 02 menjadi mereka yang melihat kita. Apaka kata mereka dengan apa yang terjadi diantara kita semua? 

Ketika sesama teman permainan harus berdebat panjang hanya karena beda pilihan dan berujung pindah 'tongkrongan'. Ketika para petani dan buruh harus terpecah fokusnya karena perbedaan pendapat dan berakhir pada saling mencibir. 

Ketika para akademisi sesaat menjelma menjadi maha guru yang paham betul tentang dinamika politik tanpa berfikir bahwa ilmu itu untuk mensejahterakan bangsa, bukan memecah belah. Ketika para seniman saling merendah tanpa sadar bahwa seni adalah media yang terbukti dapat mencairkan ketegangan dan perselisihan di dunia hanya dengan persamaan selera. 

Ketika para aktivis dengan lantang saling berteriak memihak salah satu kontestan padahal rakyat yang seharusnya diperjuangkan. Rasanya tidak mungkin 01 atau 02 menginginkan perpecahan.

Berbicara siapa yang menjadi presiden nanti itu memang penting, tapi yang lebih penting bagaimana kita rakyat dapat kembali utuh dan siap menjadi partner sekaligus kritikus bagi pemerintahan Indonesia. Bukan pemerintahan Jokowi atau Prabowo, tapi pemerintahan bangsa Indonesia. Narasi ketakutan yang dibangun selama masa kampanye ini harus mulai dihilangkan dan diganti dengan narasi kebersamaan. Entah itu narasi Indonesia Maju ataupun Indonesia Adil Makmur.

Perjalanan hidup masing -- masing calon dapat ditelusuri sendiri, visi misi yang akan direalisasikan juga dapat dicari, tapi tentang persatuan bangsa Indonesia tidak ada prediksinya selain kita sendiri yang merealisasikannya. Rasanya sudah cukup untuk menetukan pilihan siapa yang cocok memimpin bangsa ini. 

Bayangkan masa di mana perbedaan dapat dinikmati dengan secangkir kopi dengan canda tawa diselingi obrolan tentang harapan bangsa. Bayangkan masa di mana perbedaan dapat diresapi dengan secangkir teh dengan hasil kesepakatan berjuang mengawal pemerintahan. 

Bayangkan masa di mana elemen masyarakat yang heterogen dapat berdiskusi dengan intelek untuk merumuskan apa yang diinginkan rakyat. Bayangkan Indonesia tidak lagi berbicara salah satu calon adalah buruk tapi salah satu calon adalah putera terbaik bangsa. Bayangkan itu semua adalah kita.

Menilik lebih jauh tentang pemilihan umum yang mungkin terbesar di dunia ini, perlu dipahami ada yang berbeda di pemilu tahun 2019 dibandingkan dengan pemilu tahun -- tahun sebelumnya. 

Di tahun ini pesta demokrasi tidak hanya menentukan siapa nahkoda bangsa Indonesia, tetapi juga rakyat menentukan siapa saja yang ditunjuk untuk menjadi ABK kapal yang berdaulat ini. 

Dengan euphoria yang terpusat pada pimpinan negara, sudah seharusnya kita meraba memilih siapa yang memang pantas mengemban amanat rakyat secara langsung. 

Di tingkatan nasional, 575 kursi senayan menjadi gerbong yang perlu kita amati. Ditangan 575 orang itu nanti kita rakyat Indonesia mewakilkan aspriasi kita untuk berbicara tentang arah tujuan bangsa. 

Ada atensi yang perlu kita perhatikan, selain siapa pucuk pemerintahan, perlu juga kita sorot siapa wakil kita yang mengawal pemerintahan. Tidak bisa kita hanya mengkritik pemerintah tanpa kita mau peduli dengan perwakilan kita. 

Perlu peran ganda bagi kita selain pengawal pemerintahan sekaligus kritikus terhadap 575 anggota dewan perwakilan rakyat. Kondisi ini patut diadopsi pada tingkatan provinsi dan juga kota/kabupaten. Hari ini kita semua diharuskan membuka mata untuk siap mengawal politik bangsa.

Apapun pilihannya, cukuplah 17 April 2019 menjadi titik awal bagi kita semua untuk kembali menyelaraskan nada untuk kebhinekaan. 

Alasan golput silahkan, tapi jangan kalian klaim bahwa kalian agen perubahan. Indonesai ini negara besar, pasti banyak pihak yang ingin memecah, bukan hanya dengan mengadu domba, tapi juga dengan merusak identitas bangsa. 

Bangsa Indonesia itu kuat, kental dengan sejarah, buktikan perbedaan adalah peluru utama untuk bisa menjadi bangsa yang besar tidak hanya dari sejarahnya, tapi juga dari generasi penerus dan pelurus bangsanya. 

Mari sudahi diri kita menjadi hakim di sosial media, lebih baik kita kembali ke 'tongkrongan' itu dengan membawa cerita tentang bagaimana Indonesia akan kita bangun bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun