Mohon tunggu...
rahmat bagus saputro
rahmat bagus saputro Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

merenung dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tongkat Kurus

26 Mei 2012   18:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:45 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih kuat untuk membantu menopang tubuh Bapak dan menahan kasarnya tanah berbatu kerikil. Bahkan tubuhku masih kuat untuk memukul ular yang berkeliaran di sawah. Aku masih setia menjadi tongkat yang membantu Bapak berjalan. Masih mampu dan mau. Lantas apa masalahnya?

Aku kembali tersadar. Para padi tak lagi seramai tadi. Sekarang sudah sore, langit sudah berwarna merah teduh. Menatapnya saja menegaskan kenyamanan atau mungkin saat ini lebih tepat jika langit merah ini berhasil masuk ke dalam pikiranku dan menggugah kata rindu untuk keluar. Rindu kepada Bapak.

“Ada apa Pak?” Batinku.

***

Matahari yang dulu bersinar tepat di depanku, sekarang sudah mulai bergeser ke utara, ke samping kananku. Tubuhku sudah tak semulus saat sering dipegang oleh Bapak. Banyak jamur dan sedikit berdebu. Bahkan sering jadi bahan tumpuan tangan-tangan petani saat melewati pematang yang ku tempati. Aku sering berteriak kepada mereka, menanyakan kabar Bapakku dan mencari jawaban atas perbuatan Bapak kepadaku selama ini. Aku tak pernah lagi bertemu dengan Bapak. Entah kemana perginya beliau. Harapanku tubuhnya tak dimakan sakit dan usia yang sudah tua.

“Semoga sehat.” Begitu sederhana doaku, tapi tulus dari hati sebatang kayu yang kurus. Hanya satu kabar mengenai Bapak, kabar dari burung yang bertengger di kepalaku beberapa hari yang lalu. Ia mendapatkan kabar itu dari burung yang dipelihara Bapakku. Burung yang terkurung di kurungan.

Burung itu bercerita bahwa apa yang dilakukan Bapak adalah hal yang baik untukku. Baik untuk seorang tongkat kurus sepertiku. Di ceritanya, Bapak ingin aku lebih besar dan menyaingi besarnya pohon kelapa. Lebih subur daripada padi yang terus terkena obat. Lebih rindang daripada pohon mangga. Lebih kuat daripada pohon trembesi. Lebih meneduhkan dibandingkan pohon beringin.

Aku sadar bahwa aku sekarang tidak berada di tengah-tengah sawah. Bahkan bukan di pematang. Aku di pinggir sungai kecil, dan di tepi luasnya sawah yang berada tepat di depanku. Aku sadar pula maksud dari Bapak meninggalkanku sendiri disini. Tubuhku mulai terasa bergairah setiap harinnya. Walaupun ada jamur-jamur yang menempel di sisi-sisi tubuhku, gairah tubuhku tak tertahankan di tiap matahari terbit. Aku mulai berdaun dan merasakan mulai berakar. Aku akan jadi pohon dan mungkin ini sesuai harapan Bapak. Sebuah pohon besar.

Aku hanya ingin suatu saat Bapak datang berkunjung ke sini, duduk di bawahku dan membelai tubuh besarku. Saat aku sudah besar. Aku adalah tongkat kurus milik Bapak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun