Lahirnya kurikulum merdeka dilatarbelakangi oleh kurang efektifnya sekolah/pembelajaran di masa pandemi. Kegiatan pembelajaran dari rumah yang menjadi kebijakan terbaik masa itu memaksa transformasi moda pembelajaran tatap muka ke dalam moda daring atau online.
Fakta yang terjadi, selama pembelajaran jarak jauh, gadget telah merenggut usia emas anak untuk mengasah kepekaan lingkungan, sosial, serta ketahanan emosional mereka. Usia di mana anak harus banyak bergerak, mengeksplorasi lingkungan sekitarnya, menemukan hal baru yang konkret, serta berinteraksi dengan orang lain, justeru lebih banyak dihabiskan di rumah dengan gadgetnya..
Berbagai riset pun menunjukkan bahwa intensitas penggunaan gadget oleh anak sangat mengkhawatirkan. Hasil survei KPAI misalnya, memperlihatkan bahwa sebagian besar anak diizinkan menggunakan gadget selain untuk belajar, jumlahnya mencapai 79 persen dari responden.
Selain penggunaan gadget untuk belajar online, survei KPAI juga memperlihatkan persentase kepemilikan gadget oleh anak. Ada sekitar 71,3 persen anak yang telah memiliki gadget sendiri, 17,1 persen menyatakan gadget masih berada di bawah kepemilikan penuh orang tua dan 11,6 persen menunjukkan kepemilikan bersama gadget antara orang tua dan anak.
Berkaca pada masalah diatas, sebagai miniatur masyarakat, sekolah dengan berbagai kegiatan pembelajaran pada hakekatnya tidak sekedar wahana untuk transfer ilmu pengetahuan, namun juga menjadikan pembelajaran sebagai lahan persemaian nilai-nilai sosial yang kelak harus dimiliki peserta didik dalam mengarungi hidup nyata di masyarakat, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hilangnya peran sekolah inilah  selama pandemi yang menjadi kekhawatiran utama disamping reduksi pembelajaran (learning loss) dan potensi peserta (potential loss) yang telah terjadi. Pembelajaran daring dari rumah masing-masing dengan interaksi tak langsung di dunia maya, menghadirkan relasi sosial semu dan menihilkan sekolah sebagai miniatur masyarakat.
Maka daripada itu, implementasi kurikulum merdeka diharapkan sebagai tindakan kuratif pembelajaran, ditekankan pada pembelajaran bermakna melalui berbagai pengalaman kolektif nyata di sekolah maupun di tengah masyarakat.
Demikian halnya, dengan konsep merdeka belajar yang diusung bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara. Berulang kali beliau menekankan apa yang disebutnya kemerdekaan dalam belajar. Dari berbagai literatur, gagasan ini boleh jadi bermula karena pria bernama Soewardi Surjaningrat itu menolak betul praktik pendidikan yang mengandalkan kekerasan.
Jadi menurut Ki Hajar, yang punya kehendak itu siswanya, bukan pamong gurunya, dosennya, yang memaksakan kamu harus jadi hijau, harus jadi merah. Untuk itu kemudian timbulah Tut Wuri Handayani yang berarti mendorong dan menguatkan. Namun, cara mendorong dan memberi kekuatan belajar tak boleh sembarangan. Rentang kendali harus tetap ada, agar asa menjadi manusia tetap terjaga. Dalam hal ini, guru harus memperhatikan apa yang dapat dikembangkan dari anak didiknya. Guru harus jeli menelisik kebutuhan anak didik, mana yang harus didorong, dan apa yang harus dikuatkan.
Sementara, merdeka berbudaya menggambarkan kebebasan individu untuk mengekspresikan dirinya dalam budaya, termasuk seni, musik, bahasa, adat istiadat, dan tradisi. Merdeka berbudaya penting dalam pembelajaran karena membantu siswa untuk mengeksplorasi dan mengembangkan minat mereka dalam berbagai bentuk ekspresi budaya, dan memahami serta menghargai keanekaragaman budaya. Dengan demikian, terbersit harapan ada rasa bangga dengan potensi lokalnya, bisa mengembangkannya dan mengeksplornya, bahkan anak-anak bisa mengglobal dengan keunggulan lokal yang dimiliki.
Kedua piranti kurikulum merdeka diatas jelas menjadi konsepsi, bahwasanya merdeka belajar dan merdeka berbudaya punya ruang yang cukup luas di dalam kurikulum. Keduanya memerlukan kebebasan individu untuk mengeksplorasi, belajar, dan berkembang.
Pada saatnya, kurikulum merdeka berembriokan kurikulum 2013 yang berbasis kompetensi telah bermetamorfosis menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Di dalam kurikulum 2013 sebagai landasan KTSP, ditegaskan posisi dan peran pramuka yang menjadi kegiatan ekstrakurikuler wajib di sekolah dasar dan menengah (permendikbud no. 63 th 2014). Jika selama ini pramuka hanya sebagai "sampingan" pendidikan formal, kini ia harus jadi "sandingan". Pramuka bisa memberikan semesta belajar lain, tidak hanya dalam ruangan tapi lingkungan dan alam.Â
Lebih lanjut, dalam buku monumentalnya Scout for Boys, Baden-Powell menekankan bahwa visi kepanduan yang ia dirikan adalah membentuk pemuda yang kuat (mental dan fisik). Metode aktivitas kepanduan ala Baden-Powell dilakukan di alam dan ruang terbuka. Para pemuda diharuskan untuk bergerak, berpikir, memecahkan masalah, dan bekerja sama melalui aktivitas permainan, survival, serta penjelajahan. Selain itu, para pemuda juga diajari keterampilan teknis seperti membaca kompas, membuat peta, tali temali, sandi, dan isyarat.
Apa yang dilakukan Baden Powell kala itu merupakan terobosan baru untuk mengatasi kerusakan moral para remaja dan pemuda di Inggris. Â Masih menurut Baden Powell, dalam kegiatan kepanduan besutannya, bukan permainan yang mengandung pendidikan, melainkan pendidikan yang dimainkan melalui cara bermain agar sesuai dengan jiwa anak muda.
Di tanah air, sejarah kepramukaan tidak terlepas dari gerakan kepanduan yang lahir sebelum kemerdekaan. Kepanduan kala itu terkait dengan upaya sporadis bersama, dan menjadikannya sebagai wadah atau organisasi mempersatukan para pemuda bangsa yang berjuang lepas dari cengkeraman penjajah.
Melalui proses pembahasan yang panjang sampai akhirnya pada 14 Agustus 1961 pertama kali dilantik majelis pimpinan nasional (mapinas) gerakan pramuka dengan ditandai penganugerahan panji-panji gerakan pramuka sehingga tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari pramuka.
Senapas gerakan kepanduan Baden Powell dengan konsep merdeka belajar yang diusung menteri Nadiem maupun Ki Hajar Dewantara. Kegiatan pramuka atau kepanduan merupakan upaya pembentukan karakter dengan penerapan prinsip soko guru yaitu belajar mengetahui (learning to do), belajar berbuat (learning to do), belajar hidup bersama dalam masyarakat (learning to live together) dan belajar untuk melayani/mengabdi (learning to serve). Berbagai keterampilan diatas membentuk karakter dan menjadikan tunas-tunas bangsa sebagai manusia seutuhnya. Pramuka memanusiakan manusia secara komprehensif integral (utuh menyeluruh) baik aspek kognitif, psikomotor, afektif, hingga spiritual. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan. Menurut UU No.2 Tahun 2003 bahwa fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan, membentuk karakter dan mengembangkan potensi siswa.
Dalam ranah budaya, aktivitas kepramukaan  diarahkan pada upaya pengenalan, penguatan, dan pengembangan kebudayaan di kalangan generasi muda, yang dikemas dalam bentuk kegiatan outdoor dan indoor untuk mendorong terbentuknya apresiasi dan toleransi atas keragaman budaya bangsa serta dipadukan dengan kegiatan prestasi yang berbentuk lomba guna menambah khasanah dan motivasi berkegiatan.
Kiranya, pramuka tidak akan uzur oleh waktu, dan tidak lekang oleh zaman serta tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan generasi muda. Relevansinya melekat dalam lagu agung yang menggetarkan jiwa "Kami Pramuka Indonesia, manusia Pancasila....". Bukan hanya sekadar lagu, pramuka nyata dapat bersinergi secara koheren dalam menguatkan pendidikan karakter di sekolah yang saat ini mengimplementasikan kurikulum merdeka.
Referensi :
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H