Menristek Dikti adalah merupakan 'ibu' dari seluruh Perguruan Tinggi yang ada diseluruh wilayah Indonesia , Menristek Dikti merupakan penggabungan dari Kementrian Riset dan Teknologi dengan Kementrian Pendidikan dan kebudayaan  atas kebijakan Presiden diperiode Jokowi-JK tahun 2014, nomenklatur berubah menjadi Kemenristek Dikti memisahkan pengelolaan Perguruan Tinggi yang semula berada dibawah naungan Mendikbud beralih dibawah naungan Kemenristek Dikti sedangkan Mendikbud menaungi Sekolah Dasar dan Menengah.
Ditengah perjalanannya sebagai Kementrian, ristekdikti banyak melakukan pembenahan-pembenahan dan peningkatan mutu di lingkungan institusi tersebut, dengan berupaya melakukan singkronisasi dan bersinergi ke lembaga dan institusi lain yang mempunyai hubungan kerja. Prestasi-prestasi membanggakan yang ditelurkan juga banyak kita saksikan di media  sosial dan laman resmi Menristek dikit dalam hubungannya dengan pendidikan tinggi, namun dibalik segudang prestasi tersebut juga banyak permasalah yang hadir di tubuh gabungan dua kementrian yang baru berumur 3 tahunan tersebut, yang paling sederhana pengelolaan Pangkalan Data Dikti (PD Dikti) yang tidak singkron dengan  PDPT mengenai status kemahasiswaan. Diantaranya status aktif yang seharusnya telah dinyatakan lulus oleh PT namun tidak terkonfirmasi di PD Dikti. Setelah dikonfirmasi oleh mahasiswa ke PDPT terjadi 'saling tuduh' bahwa pihak PD Dikti yang belum melakukan perubahan data atas usulan PDPT, sehingga tidak sediki yang mengalami kerugian materil & imateril.
Tidak sampai disitu, yang paling terbaru dan banyak menuai kritikan adalah di saat kebijakan Kemenristek Dikti memecat 2 Rektor dalam kurun waktu 2 tahun terakhir, yaitu Rektor Universitas Negeri Manado (Unima) dan Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) akibat ketidak sesuaikan pelaporan data yang terekap di PD Dikti dan tuduhan adanya plagiarisme disertasi mahasiswa, yang sebagian pendapat mengatakan pemecatan terhadap rektor di lingkup PTN tersebut tidak melalui mekanisme/aturan yang berlaku terhadap pemberhentian Rektor. Dan diperparah menurut sumber, 'Mantan' Rektor Universitas Negeri Jakarta Prof. Dr. Djaali, mendapat hukuman berat dengan pencabutan Gelar dan Hak Akademisnya.
Uraian diatas merupakan sekilas refleksi perjalan Kemenristek Dikti dalam menaungi Perguruan Tinggi. Yang menjadi poin utama dalam tulisan ini adalah kebijakan Pemerintah atas seleksi CPNS ditahun ini dan mungkin telah berlaku ditahun-tahun yang lalu dan menjadi Preseden pada seleksi CPNS ditahan-tahun yang akan datang.
Seleksi CPNS tahun ini diperiode ke II terdapat 60 kementrian dan lembaga yang membuka penerimaan CPNS, namun yang menarik terjadi penekanan pada persyaratan yang harus terpenuhi sebagai syarat lolos seleksi administrasi. Salah satu syarat yang dimaksud adalah setiap pelamar harus melampirkan ijazah yang telah terakreditasi minimal predikat B yang dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh BAN-PT yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang. Terobosan tersebut merupakan hal yang positif demi kemajuan pendidikan di Indonesia  sekaligus cambuk dan stimulus bagi penyelenggara perguruan tinggi untuk senantiasa meningkatkan dan mempertahankan predikat yang dimaksud dan berlomba-lomba meningkatkan kualitas perguruan tingginya.
Tetapi disisi lain tujuan Pemerintah tersebut di bidang pendidikan terdapat 'Musibah' bagi sebagian yang lainnya, setidaknya dua musibah yang ditimbulkan adalah :
Pertama, musibah bagi Alumni. Bagi alumni yang telah menamatkan pendidikannya tetapi tidak/belum mempunyai predikat baik akan menjadi 'kayu bakar' untuk mematangkan sewajan air minum/makanan. Â kayu bakar akan menjadi abu yang tak berharga sedangkan air minum/makanan tersebut menjadi hidangan dan dinikmati.
Kedua, musibah bagi Universitas. Bagi universitas yang belum mempunyai akreditasi layak syarat. akan menjadi musibah atas kebijakan Pemerintah tersebut, disebabkan tidak ada lagi calon mahasiswa yang akan mendaftar di universitas tersebut karena kredibilitasnya, dan berdampak pada layunya universitas tersebut sebelum berkembang dan berujung penutupan.
Sedangkan salah satu fungsi dari 'induk' perguruan tinggi (menristekdikti) adalah melakukan pembinaan dan peningkatan kualitas kepada perguruan tinggi kecil dan turut andil membesarkannya. Alih-alih melakukan pembinaan yang terjadi  malah terkesan terjadi 'penindasan' dan pemangkasan kuantitas, utamanya pada perguruan tinggi kecil.
Pemerintah seharusnya dalam mengeluarkan kebijakannya bukan hanya berimplikasi pada peningkatan mutu secara menyeluruh tetapi juga dapat dinikmati semua pihak yang terkait. Sebagai contoh pemberian akreditasi dan penyematannya yang hanya berlaku pada lulusan setelah akreditasi itu dikeluarkan, bagi lulusan pra akeditasi dikeluarkan dinyatakan tidak berlaku (mengikut status akreditasi sebelumnya) kebijakan ini menjadikan anak tiri kepada alumni. Entah dasar pertimbangan apa kebijakan itu dikeluarkan.
Sebagai pertimbangan dan rekomendasi, pemberian akreditasi kepada suatu institusi juga seharusnya melekat kepada seluruh alumni, sebab alumnilah yang turut mengantarkan sebuah institusi mendapatkan akreditas terbaiknya. Tanpa peran alumni sebagai 'pahlawan' akreditasi tersebut sangat tidak mungkin institusi/fakultas/prodi tersebut mendapatkan akreditasi. Dengan dasar demikian selayaknya alumni mendapatkan posisi yang layak (tanpa merugikan siapapun) atas perannya dan tidak merasa terintimidasi atas kebijakan tersebut.
Dalam kasus ini Kemenristek Dikti sebagai induk perguruan tinggi harusnya berempati kepada alumni yang terdzolimi dengan kebijakan Pemerintah mengenai status akreditasi yang hanya terbatas pada alumni pasca akreditasi, menjembatani dan memperjuangkan hak-hak anak bangsa  terhadap kebijakan Pemerintah yang dikeluarkan agar terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dibidang pendidikan.
Wallahu a'lam  bishawab.
Tks.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H