Mohon tunggu...
echon.angpora
echon.angpora Mohon Tunggu... Penulis - penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kemiskinan Manggarai Timur: Refleksi dari Sudut Pandang Econ Angpora

10 September 2024   22:35 Diperbarui: 10 September 2024   22:36 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemiskinan di Manggarai Timur, salah satu  masalah yang telah lama mencekik kehidupan banyak warganya. Berdasarkan data terbaru, Manggarai Timur masih berada dalam kategori kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi di NTT. Sebagai seseorang yang tumbuh di wilayah ini, saya, Econ Angpora, merasakan langsung bagaimana kehidupan dalam keterbatasan ekonomi bisa membentuk mentalitas, budaya, dan pandangan hidup masyarakat.

Manggarai Timur adalah tempat yang penuh potensi. Keindahan alamnya, mulai dari perbukitan hingga ladang-ladang subur, menunjukkan seolah kemiskinan tak seharusnya ada di sini. Namun, realitasnya jauh berbeda. Terlepas dari kekayaan alam yang dimiliki, banyak masyarakat masih berjuang sekadar untuk bertahan hidup.

Sebagian besar masyarakat di Manggarai Timur mengandalkan sektor pertanian dan peternakan sebagai sumber utama penghasilan. Tetapi, akses terhadap pasar, teknologi, dan pelatihan sangat terbatas. Saya sendiri, tumbuh dalam keluarga petani, melihat bagaimana upaya orang tua saya dalam menggarap lahan sering kali tak berbuah manis. Bukan karena mereka malas atau tidak kompeten, melainkan karena sistem yang tidak mendukung. Ketergantungan pada cuaca, harga jual yang rendah, dan biaya produksi yang tinggi menjadi tantangan yang terus menerus.

Di sisi lain, infrastruktur yang minim turut memperparah kondisi ini. Jalan-jalan yang rusak, akses air bersih yang sulit, dan minimnya fasilitas kesehatan serta pendidikan membuat masyarakat sulit untuk berkembang. Saya ingat, di masa kecil, harus berjalan jauh untuk bersekolah, dan sering kali, anak-anak yang lebih tua memilih untuk bekerja membantu orang tua di ladang daripada melanjutkan pendidikan. Kemiskinan bukan hanya soal kurangnya uang, tetapi juga tentang terbatasnya pilihan dan peluang.

Di balik semua ini, ada rasa kebersamaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas Manggarai Timur. Namun, semangat ini tak cukup untuk mengatasi akar masalah yang lebih dalam. Peran pemerintah sangat dibutuhkan. Program-program bantuan sosial atau subsidi yang sering kali diklaim sebagai solusi sementara tidak akan banyak membantu jika tidak dibarengi dengan upaya serius untuk membangun infrastruktur, pendidikan, dan pelatihan keterampilan bagi masyarakat.

Kemiskinan di Manggarai Timur bukan hanya angka dalam laporan statistik, melainkan kenyataan yang dihadapi sehari-hari oleh banyak keluarga, termasuk keluarga saya dahulu. Harapannya adalah bahwa perhatian terhadap Manggarai Timur lebih dari sekadar agenda politik atau formalitas belaka. Masyarakat butuh dukungan nyata, bukan janji-janji kosong.

Bagi saya, kemiskinan bukanlah sesuatu yang harus diabaikan atau dianggap sebagai takdir. Ini adalah hasil dari ketidakadilan struktural yang perlu diubah.

Menjelang pilkada, memang tak jarang kita mendengar berbagai janji politik dari para bakal calon yang berusaha menarik simpati masyarakat. Dari pengalaman saya sebagai anak Manggarai Timur, ini bukan hal yang baru. Setiap musim pemilu tiba, janji-janji seperti perbaikan infrastruktur, peningkatan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan selalu digaungkan. Namun, setelah pemilu berlalu, realisasinya sering kali jauh dari harapan.

Sebagai seseorang yang tumbuh dalam lingkungan penuh keterbatasan, saya, Econ Angpora, sangat memahami betapa masyarakat di Manggarai Timur begitu mendambakan perubahan. Ketika para calon pemimpin datang membawa janji-janji manis, mereka berbicara langsung ke hati rakyat yang telah lama terpinggirkan oleh ketidakadilan dan minimnya perhatian. Tetapi, yang perlu dipertanyakan adalah, sejauh mana janji-janji ini benar-benar untuk kepentingan rakyat, dan bukan sekadar alat untuk meraih kekuasaan?

Sudah saatnya masyarakat lebih kritis dalam menghadapi janji-janji politik. Kita harus bisa melihat rekam jejak para calon pemimpin ini, apakah mereka benar-benar peduli dengan persoalan kemiskinan dan kesenjangan di Manggarai Timur, atau hanya menjadikan masalah ini sebagai komoditas politik. Janji saja tidak cukup, yang kita butuhkan adalah pemimpin yang memiliki integritas, komitmen, dan kemampuan untuk membawa perubahan nyata. Pemimpin yang tidak hanya muncul saat pilkada, tetapi tetap hadir dan bekerja untuk rakyat setelah mereka terpilih.

Saya berharap, dalam pilkada yang akan datang, masyarakat Manggarai Timur tidak lagi mudah terpancing oleh janji-janji yang menguap begitu saja. Kita harus memastikan bahwa suara kita digunakan dengan bijak, memilih pemimpin yang memang memiliki visi dan misi jelas untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun