Oleh: Econ Angpora
Sebagai seseorang yang pernah merasakan pahitnya menjadi korban bullying sejak duduk di bangku sekolah dasar, saya, Econ Angpora, ingin membagikan pandangan saya tentang bagaimana bullying bisa memberikan dampak yang mendalam dan berkepanjangan terhadap kesehatan mental siswa. Bullying bukan hanya tentang kata-kata atau tindakan yang menyakitkan; itu adalah luka yang tertinggal di dalam diri korban, seringkali tak terlihat oleh orang lain, tapi nyata dan menyakitkan bagi mereka yang mengalaminya.
Saat saya masih SD, saya sering dijadikan  target bullying karena saya berbeda---baik dalam penampilan, cara berbicara, atau bahkan karena nilai saya yang lebih baik dari mereka. Setiap hari di sekolah adalah perjuangan untuk bertahan, untuk tetap tersenyum meski hati terasa hancur.
Di tingkat SMP, bullying berubah menjadi sesuatu yang lebih kompleks. Bukan hanya ejekan, tetapi juga tindakan pengucilan dan kekerasan fisik. Saya merasa sendirian, tidak memiliki tempat berlindung. Teman-teman yang saya kira dapat diandalkan malah ikut menjauh karena takut mereka juga akan menjadi korban. Kepercayaan diri saya semakin terkikis, dan rasa tidak aman mulai menjadi bagian dari identitas saya.
Ketika saya mencapai SMA, dampak dari bertahun-tahun bullying itu semakin jelas terlihat. Saya mulai mengalami kecemasan yang luar biasa setiap kali harus berinteraksi dengan orang lain. Saya selalu merasa bahwa setiap orang yang saya temui akan menilai dan menghina saya, sama seperti yang dilakukan oleh teman-teman sekolah saya dulu. Rasa takut ini sangat mempengaruhi kehidupan sosial dan akademik saya. Saya sering merasa tidak layak, bahkan ketika meraih prestasi yang sebenarnya membanggakan.
Bullying tidak hanya mencederai fisik, tetapi juga menghancurkan mental dan emosional seorang anak. Efeknya tidak langsung hilang ketika korban meninggalkan lingkungan sekolah; sebaliknya, ia terbawa hingga dewasa, mempengaruhi cara mereka memandang diri sendiri dan dunia di sekitar mereka. Anak-anak yang dibully cenderung mengalami masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan dalam kasus yang lebih parah, keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau bahkan bunuh diri.
Sebagai masyarakat, kita harus lebih sadar akan dampak serius dari bullying dan bertindak lebih tegas untuk mencegahnya. Sekolah harus menjadi tempat yang aman bagi semua siswa, di mana mereka bisa belajar dan berkembang tanpa takut dihina atau disakiti. Setiap anak berhak merasa aman dan dihargai, tanpa terkecuali. Dan bagi mereka yang saat ini sedang mengalami apa yang saya alami dulu, ketahuilah bahwa kalian tidak sendirian. Ada harapan, dan ada cara untuk sembuh dari luka ini. Mari kita bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik, di mana tidak ada lagi anak yang harus tumbuh dengan luka di hati mereka karena bullying.
 biodata penulis :
Echon Angpora adalah seorang penulis dan konten kreator berbakat yang berasal dari Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ia menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Hukum di Bali, dan sejak lulus, ia aktif menulis sejak tahun 2018. Sebagai seorang penulis, Echon dikenal dengan karyanya yang menggali budaya Flores dan isu-isu hukum yang penting bagi masyarakat. Pada tahun 2019, Echon memperluas kiprahnya dengan menjadi konten kreator, membagikan pandangannya tentang hukum, budaya, dan kehidupan sehari-hari melalui platform digital. Dalam setiap karya dan kontennya, Echon selalu menyajikan perspektif yang mendalam dan autentik, mencerminkan kecintaannya pada budaya asalnya serta komitmennya untuk membawa perubahan positif dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H