Oleh: Econ Angpora
Dalam perjalanan politiknya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membawa perubahan besar bagi Indonesia. Namun, di balik pencapaiannya, ada satu hal yang mengkhawatirkan: berkembangnya dinasti politik yang terpusat pada keluarganya. Fenomena ini mengundang kritik pedas, karena tidak hanya mencerminkan kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan dalam lingkaran sempit, tetapi juga berpotensi merusak fondasi demokrasi yang telah kita bangun dengan susah payah.
Dinasti politik, yang sebelumnya lebih kita lihat di negara-negara dengan tradisi politik oligarki yang kuat, kini mulai menjalar di Indonesia. Dalam hal ini, Jokowi, yang awalnya dikenal sebagai sosok yang merakyat dan antitesis dari elit politik lama, justru terperosok ke dalam jebakan kekuasaan yang sama. Penunjukan anak dan menantu dalam berbagai posisi strategis, baik di pemerintahan maupun dalam partai politik, adalah indikasi jelas bahwa dinasti politik sedang dibangun, dan ini bukanlah hal yang bisa dianggap sepele.
Saya merasa sangat perlu untuk mengkritisi langkah ini dengan tajam. Dinasti politik bukan hanya tentang mempertahankan kekuasaan dalam satu keluarga, tetapi juga menandai melemahnya meritokrasi dan demokrasi itu sendiri. Ketika jabatan dan posisi strategis tidak lagi ditentukan oleh kemampuan dan integritas, melainkan oleh hubungan keluarga, kita sedang menuju pada politik yang korup dan disfungsional.
Jokowi, dengan segala kekuatannya sebagai presiden, seharusnya menjadi contoh dalam mempromosikan politik yang sehat dan bersih. Namun, dengan membangun dinasti politik, dia justru memberikan sinyal yang sangat berbahaya: bahwa kekuasaan adalah milik mereka yang berada dalam lingkaran terdekat, bukan milik rakyat yang memilih. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi fondasi negara kita.
Lebih jauh, dinasti politik Jokowi menimbulkan pertanyaan serius tentang masa depan politik Indonesia. Apakah kita akan melihat kekuasaan yang terus terpusat pada segelintir orang yang memiliki hubungan darah dengan presiden? Apakah partai politik dan birokrasi kita akan menjadi alat bagi dinasti ini untuk terus mengamankan kekuasaannya? Jika ya, maka kita sedang menyaksikan awal dari akhir demokrasi yang kita kenal.
Saya mengajak masyarakat untuk waspada dan kritis terhadap perkembangan ini. Dinasti politik tidak boleh dibiarkan berkembang tanpa perlawanan. Kita harus terus menuntut transparansi, akuntabilitas, dan meritokrasi dalam setiap aspek pemerintahan. Jika tidak, maka kita sedang menyerahkan nasib negara ini kepada segelintir orang yang lebih peduli pada kekuasaan daripada pada kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
Jokowi, sebagai presiden yang dipilih oleh rakyat, seharusnya menyadari bahwa kekuasaan yang dimilikinya adalah amanah, bukan warisan yang bisa diberikan kepada siapa pun yang dia inginkan. Jika dia benar-benar peduli pada masa depan Indonesia, dia harus menghentikan upaya untuk membangun dinasti politik dan mulai memfokuskan diri pada penguatan demokrasi yang inklusif dan berbasis meritokrasi.
Dalam demokrasi, tidak ada tempat untuk dinasti politik. Jika kita ingin Indonesia tetap menjadi negara yang demokratis, kita harus berani berdiri melawan setiap upaya yang bertujuan untuk mengonsolidasikan kekuasaan dalam satu keluarga. Kritik ini bukan hanya untuk Jokowi, tetapi juga untuk kita semua yang peduli dengan masa depan demokrasi di Indonesia. Mari kita jaga demokrasi kita dari ancaman dinasti politik, sebelum terlambat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H