Mohon tunggu...
Erasmus Balle
Erasmus Balle Mohon Tunggu... -

I'm Nothing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Prahara Cinta di Ujung Hola

16 Juni 2013   22:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:55 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13713980221884019196

Pasola. Menyebut kata ini, terlintas dalam benak kita, satria berkuda dengan lembing di tangan. Memacu kuda dalam kecepatan tinggi, sembari melesatkan lembing ke arah lawan. Di saat yang sama harus berupaya menghindari lemparan lembing dari pihak sebelah. Lawan bukanlah musuh, tapi teman sepermainan. Tidak ada dendam, walau darah tumpah. Itulah pasola yang punya pesona hampir ke seantero bumi. Pasola berasal dari kata sola atau hola yang berarti kayu lembing. Bagi masyarakat Sumba Barat, pasola dimaknai sebagai sebuah tradisi perang adat antara dua kelompok berkuda yang gagah berani. Saling berhadap-hadapan, tidak sembunyi-sembunyi. Saling kejar, seraya melempar lembing kayu ke arah teman sepermainan. Bisa berdarah. Tapi bukan masalah. Darah yang tumpah diyakini memberikan kontribusi kesuburan, karena mendapat restu dewa bumi. Itulah pasola. Ritual adat dalam tradisi budaya Orang Sumba yang sampai kini masih dilakoni. Pasola diselenggarakan sekali dalam setahun. Biasanya di permulaan musim tanam. Bulan Febuary di Kecamatan Lamboya dan Bulan Maret di Kecamatan Wanukaka dan Laboya Barat tepatnya Gaura. Tanggal pelaksanaan pasola tidak sama setiap tahun. Karena ditentukan para Rato (pimpinan spiritual Merapu,red), berdasarkan hitung-hitungan bulan terang-bulan gelap serta melihat tanda-tanda alam. Kenapa ritual tradisional ini dilakoni? Prahara Cinta Cinta kuat seperti maut. Gairah dan gigihnya cinta bagaikan dunia orang mati. Bahkan nyala api cinta disamakan dengan nyala api Tuhan. Cinta selalu punya cerita. Cinta senantiasa miliki kisah. Alkisah, ada tiga orang bersaudara, Ngongu Tau Matutu, Yagi Waikeri dan Ubu Dulla. Bertiga, hidup dan tinggal di Kampung Weiwuang. Sang Bungsu, Ubu Dulla, memiliki istri bernama Rabu Kabba. Kecantikan Rabu Kabba bagaikan titisan Dewi Amor dari Yunani. Body bagaikan gitar spanyol. Wajah oriental klasik. Tinggi semampai. Laki-laki normal, pasti terkesima tatkala bertemu Rabu Kabba. Konon kabarnya, dewa pun sempat terguncang ke-dewa-annya tatkala memandang Rabu Kabba. Apalagi saat Rabu Kabba membiarkan rambutnya terurai menyusuri pundak sampai ke bagian bawah. Sayangnya, kecantikan wajah dan kemolekan tubuh Rabu Kabba tercoreng saat kesetiaannya sebagai seorang istri diuji. Rabu Kabba lebih memilih kawin lari dengan Teda Gaiparona seorang pemuda dari Kodi. Jalinan cinta terlarang Rabu Kabba dan Teda Gaiparona bermula saat, Ubu Dulla bersama dua orang kakaknya pergi melaut. Dalam pelayaran ke Muhu Karera, sebuah negeri yang terkenal sangat makmur, Ubu Dulla dan saudara-saudaranya hilang kabar. Berita soal keberadaan Ubu Dulla, bak ditelan gelombang laut Wanukaka. Hari demi hari, Rabu Kabba terus berada dalam penantian. Penantian tanpa kepastian. Untuk membunuh waktu, sambil melepas galau dalam bathin. Rabu Kabba selalu duduk di bibir pantai. Memandang jauh ke ujung cakrawala, sembari berharap, datangnya sang suami. Apa lacur yang terjadi, tiba-tiba muncul sebuah perahu. Hati Rabu Kabba berbunga-bunga. Ternyata penantiannya tak sia-sia. "Rasa kangen kepada sang suami bisa terobati," gumamnya dalam hati. Setelah perahu merapat di bibir pantai, bukan Ubu Dulla sang suami bersama kakak iparnya yang ditemui, tapi seorang pemuda. Rabu Kabba kaget bukan kepalang. Namun pesona sang pemuda, membuat Rabu Kabba terkesima. Cinta dalam pandangan pertama, mengawali kisah Rabu Kabba dengan sang pemuda Kodi yang bernama Teda Gaiporana. Api cinta dan gairah telah merasuk dua insan berlainan jenis kelamin ini. Walau terhalang karena adat-istiadat, dua orang anak manusia yang sedang dilanda asamara nekat melawan badai. Kawin lari, jadi pilihan. Selang beberapa waktu, muncullah Ubu Dulla bersama dua orang kakaknya. Warga Weiwuang gempar. Karena cinta terlarang antara Rabu Kabba dengan Teda sudah menjadi buah bibir. Ada yang mahfum. Tapi ada yang menyomel. Pro dan kontra menyeruak. Rasa pedih berkecamuk dalam bathin Ubu Dulla. Perih akibat ditinggal sang pujaan hati terus bergelora dalam rasio. "Apa yang harus saya lakukan," tanya Ubu Dulla dalam hati. Apalagi peristiwa ini sangat menyentuh keegoisan seorang laki-laki. Masalah ini terkait dengan harkat dan martabat sebagai laki-laki. Cara laki-laki harus dipakai untuk selesaikan soal ini. Maka berangkatlah Ubu Dulla ke tempat Teda Gaiporana yang telah membawa istrinya. Pasukan berkuda lengkap dengan peralatan perang disiapkan. Setelah bertemu dengan keluarga Teda dan meminta kembali istrinya. Rabu Kabba ternyata tidak mau kembali. Rabu Kabba memilih hidup bersama Teda. Karena cintanya tulus, Ubu Dulla merestui permintaan Rabu Kabba dengan syarat, Teda harus menikahi Rabu Kabba secara resmi. Pernikahan resmi itu ditandai dengan pembayaran mas kawin (belis,red) dari keluarga Teda kepada Ubu Dulla. akhir cerita, prahara cinta terlarang ini disepakati penyelesaiannya. Walau perih terasa, Ubu Dulla merelakan orang yang dicintainya menjadi milik orang lain. Penyelesaian masalah tanpa pertumpahan darah. Salut dengan sikap bathin Ubu Dulla, keluarga Teda yang merasa bersalah, tidak hanya membayar belis tapi menghadiahkan Uba Dulla sebungkus nyale hidup. Nyale atau cacing warna-warni ini diyakini sebagai pembawa kemakmuran saat kemunculannya. Kedua pihak juga sepakat menyelenggarakan ritual pasola untuk mengenang peristiwa ini. Karena campur tangan para dewa, darah yang tercurah saat pasola, diyakini memberikan kesuburan bagi bumi. Karena itu, saat ini, sebelum dilakoni tradisi pasola Wanukaka, selalu diawali dengan ritual Madidi Nyale (memanggil nyale) yang dilakukan di bibir pantai menjelang fajar. Jika nyale muncul banyak, pertanda hasil panen akan melimpah. Sebaliknya, jika yang muncul sedikit, hasil panen pun demikian. Karena itu, masyarakat harus siap-siap menghadapi hasil panen yang kurang. Ternyata prahara cinta di ujung sola, menyimpan nilai-nilai kehidupan yang hakiki. Setiap masalah dapat diselesaikan tanpa pertumpahan darah. Pertikaian antar suku bisa diselesaikan dengan perang damai. Selain itu, keselarasan hidup dengan alam, akan terwujud dalam kehidupan manusia yang manusiawi. Karena alam memberikan pelajaran kehidupan yang tidak diperoleh di bangku pendidikan formal. Sayangnya, para pelaku ritual tradisional ini belum sepenuhnya diperhatikan Pemkab Sumba Barat. Walau menjadi event tahunan yang menyedot perhatian banyak orang, tapi para pelakunya tidak mendapat keuntungan apa-apa. Padahal, ada pengorbanan yang diberikan ketika berada di arena pasola. [caption id="attachment_268338" align="aligncenter" width="300" caption="Pasola Wanukaka"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun