Komik
;kelamin ganda dalam seni bercerita
Salah satu tantangan seorang pencerita dalam berbahasa adalah penyampaian maksud, karena kemampuan setiap orang dalam menyerap suatu bahasa berbeda-beda. Kadang sang pencerita terjebak dalam dunianya sendiri, sehingga bahasa yang muncul dari sang pencerita adalah bahasa yang sulit dimengerti oleh pembaca.
Munculnya beragam variasi berbahasa kadang justru membuat sang pencerita terlalu asyik dengan eksperimen-eksperimen penceritaan yang membuat bingung pembaca-Supernova misalnya. Oleh sebagian pembaca, bahasa yang dipergunakan Dewi Lestari terlalu eksperimen. Pram bahkan menganggap Dewi Lestari hanya ingin menyombongkan kepandaiannya tentang teknologi. Lantas bagaimana dengan pencerita yang menggunakan komik sebagai pilihan “bahasa” nya?
Penggunaan komik sebagai media bercerita selama ini dianggap sebagai suatu hal yang kurang adiluhung. Mengingat komik sampai saat ini masih saja dianggap sebagai karya yang hanya menjual kelucuan, dengan bahasa ringan dan tidak berbobot. Bahkan, seorang Profesor dengan serta merta memasukkan komik dalam genre sastra anak.
Membedah bahasa komik menggiring kita untuk mengenal terlebih dahulu, apa itu komik. Seseorang bernama Scoot McCloud dalam bukunya, Understanding Comics, mencoba mendefinisikan komik sebagai berikut, “juxtaposed pictorial and other image in deliberate sequences, intented to convey information and/or to produce an aestethic response in the viewer.” Komik, menurut dia adalah imaji-imaji gambar atau imaji lainnya, yang disejajarkan dalam urutan yang disengaja untuk menyampaikan informasi untuk menimbulkan tanggapan estetis dari pembaca. Definisi McCloud tersebut secara tidak langsung mengungkap bahasa komik. Penekanan bahasa komik terletak kalimat “pictorial and other image in deliberate sequences..” (imaji-imaji gambar atau imaji lainnya yang disejajarkan). Ada dua hal utama dalam bahasa komik, yaitu imaji gambar dan imaji lainnya. Imaji gambar menurut saya cukup mudah diterima. Yaitu gambar dan bentuk visual lainnya yang ada dalam komik. Sedangkan imaji lainnya, lebih mengarah ke tulisan yang ada dalam komik.
Anggapan komik sebagai media bercerita yang kurang adiluhung bisa dipatahkan dengan melihat respon dunia tentang komik. Jepang memandang komik sebagai hal yang serius, mengingat efek komik yang cukup hebat. Sebagai contoh, pada tahun 80an, Jepang gencar memproduksi komik sepak bola yang bercerita tentang kehebatan sepak bola Jepang. Padahal pada masa itu sepak bola Jepang kurang baik. Efeknya, tahun 1994, Jepang mampu lolos ke Piala Dunia dan banyak pemain Jepang yang merumput di Eropa. Di Perancis komik untuk kalangan dewasa berkembang pesat. Survey tahun 1993, 4 dari 10 orang Perancis usia 25-44 th membaca komik. Sepertiga dari 675 judul yang dipublikasikan di Perancis th 1992 ditujukan untuk kalangan dewasa. Bahkan akhir-akhir ini muncul istilah “ Graphic Novel “, komik dengan tema-tema yang lebih berat, dengan penggarapan lebih nyeni, dan dilihat dari temanya jelas target sasarannya adalah orang dewasa
Dalam menggunakan komik sebagai medium bercerita, seorang pencerita harus dengan rela menjadikandua hal tersebut (imaji gambar/visual dan imaji tulisan) menjadi satu. Karena berbicara komik sama juga berbicara tentang seni rupa sekaligus berbicara sastra. Ambillah kasus seperti ini; sebuah komik akan kesulitan berbahasa jika gambar yang ada di dalamnya dihilangkan. Pun sebaliknya, jika tulisan dalam sebuah komik dihilangkan, maka kita pun akan menerima informasi secara tidak utuh.
Jadi apalagi yang kita tunggu? Komik dengan kelebihannya yang memiliki medium dua bahasa, telah menunggu untuk dipergunakan sebagai variasi bercerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H