[caption caption="Just Joke. Nothing Serious :D (via Google Images)"][/caption]
Sejatinya, dalam sebuah organisasi apapun, apalagi yang bersifat akademis, haruslah nihil dari segala bentuk perseteruan atau konflik yang menjangkiti anggotanya. Nyatanya, masih ada saja sebuah perselisihan (yang tidak berguna), yang selalu menimbulkan pertentangan secara fisik maupun rohani. Konflik apa gerangan?
Bagi semua pelajar baru SMA, tentu beberapa bulan ke depan akan menghadapi suatu tes "kedua" yang sangat penting, yakni ujian untuk menentukan jurusan. Dalam beberapa tahun sebelumnya, ujian jurusan ini dilaksanakan saat kenaikan dari kelas 10 menuju kelas 11. Entahlah, mengapa pada 2 tahun ini langsung diadakan tes pada kelas 10. Para pelajar kelas 10 yang belum tahu apa saja yang ingin dia pelajari, tentunya akan sangat bingung jikalau tiba-tiba dihadapkan pada tes yang juga menentukan masa depan mereka.
Para orangtua lebih memilih anaknya untuk masuk ke jurusan IPA daripada jurusan yang lain. Stigma jurusan selain IPA sebagai jurusan "buangan" tampaknya masih melekat di mindset para orangtua. Sayangnya, justru dari inilah sebuah konflik antar pelajar menjadi begitu mengakar kuat dan terus menjadi duri dalam daging pendidikan Indonesia. Ya, perang saudara antar IPA dan IPS terlahir dari cara pandang orang tua yang salah. IPA memandang anak IPS sebagai "kumpulan anak bengal yang tak niat sekolah", dan IPS melihat pelajar IPA "para anak-anak cupu yang sombong". Wah, parah juga ya.
[caption caption="Just Joke. Nothing Serious (via Google Images)"]
Â
Â
Di banyak sekolah di ibu pertiwi, para pelajar SMA memanglah sangat mudah untuk dicerai-beraikan dalam isu IPA vs IPS, yang menjadi semacam rival dari zaman bahulak. Layaknya Barcelona dan Real Madrid, kedua kubu juga diliputi kebanggaan masing-masing serta kebencian yang mendarah daging. Seperti FC Schalke dan Borussia Dortmund, para pelajar itu sangatlah identik, sebagai sebuah manusia yang ingin menimba ilmu lebih banyak di institusi yang di tempatinya. Namun, nampaknya persamaan itu dilupakan begitu saja, dan perbedaan dipupuk sedemikian rupa sehingga menjadi bertambah besar.
Ibu pertiwi sekarang sudah kenyang melihat banyaknya perseteruan antar para pelajar beda jurusan ini. Ibu pertiwi juga sudah bosan melihat banyaknya ceceran darah dan luka-luka yang melekat akibat pertengkaran para pelajar badung itu. Bahkan, mungkin ibu pertiwi tidak lagi iba dengan jeritan dan rintihan kesakitan dari para pemuda yang menyesal telah ikut dalam lingkaran setan perseteruan yang tak kunjung padam. Huft!
Lho, emang saya tidak mendukung jurusan saya? Sejujurnya, jurusan merupakan sebuah kata yang menyeramkan. Dari kata itu, saya melihat kebencian diumbar kemana-kemana. Lewat kata itu, sebuah persaudaraan dalam sekolah beralih menjadi geng-geng yang saling mencaci dan memaki. Dan oleh kata itulah, para pelajar kita terlibat perseteruan yang tak akan pernah lekang, menjadi budaya sepanjang zaman.
Amatlah pendek akalnya seorang yang memandang sesuatu dari sebuah kacamata jurusan. Kita adalah murid di sekolah yang sama, dan memiliki tujuan yang sama. Kita berkumpul demi mendapat bibit-bibit pengetahuan, yang akan kita tanam dan kita rasakan buahnya kelak saat kita dewasa. Pun, dalam kehidupan nyata nanti, tak ada yang memandang ada berdasarkan jurusan mana anda nanti. Anda akan dipandang, seberapa berilmunya anda dan seberapa bijak anda menyikapi segala permasalahan hidup.
Adakah solusi mengatasi masalah ini? Agaknya, cara pandang kitalah yang harus diubah. Toh, tak ada salahnya memilihÂ
PRAY FOR IPA, IPS, AND EDUCATION IN INDONESIA!
Gresik, 1 Agustus 2015
Â
Baca Juga :
Kingdom Of Heaven dan Refleksi Perdamaian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H