Mohon tunggu...
Erald David Sibatuara
Erald David Sibatuara Mohon Tunggu... Pelajar -

Pengais Hikmah dalam Setiap Kata; Pelajar SMA yang masih kekanak-kanakkan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Desa, Keluarga Berencana dan Kontrasepsi Alami

24 Juli 2015   15:37 Diperbarui: 24 Juli 2015   15:37 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak Slamet, seorang petani tua yang berasal dari desa di pinggiran kota Gresik. Dari sosoknya yang sederhana dan bersahaja, saya mampu memandang permasalahan di Indonesia dengan lebih jelas. Melalui beliau jugalah, timbul gagasan di benak saya, yang mungkin bisa menjadi solusi dalam memecahkan masalah kependudukan di Indonesia. Apa gagasannya?

***

[caption caption="Kenampakan Desa"][/caption]

Di sebuah desa yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar inilah tempat beliau bermukim. Saya menemuinya ketika ia sedang bekerja di sepetak sawah kecil miliknya. Tubuhnya yang hitam legam karena terbakar sang surya, menjadi bukti kerja kerasnya demi keluarga, selama ini.

Ia tersenyum melihat kedatangan saya. Ayah saya merupakan kawan dekat Pak Slamet, jadi dia tidak heran melihat seorang anak muda tiba-tiba datang ke sawahnya. Ditemani sebungkus kacang tanah dan beberapa lemper, kami berdua bercakap-cakap, di gubuk pinggir sawah miliknya.

Pak Slamet telah berusia lebih dari 70 tahun. Beliau memiliki 8 orang anak, 5 orang putra dan 3 orang putri, dan semuanya telah mengecap bangku sekolah hingga SMA. Untuk seorang petani seperti Pak Slamet, menyekolahkan anak bukanlah perkara mudah. Walau begitu, 8 orang anak bagi desa itu termasuk jumlah yang “sedikit”. Untuk orang tua seumuran pak Slamet, rata-rata mereka memiliki anak sebanyak 10 orang. Wow, edan tenan!

Itulah mengapa, pada tahun 80-an, desa ini dikunjungi oleh para kader BKKBN beserta akademisi. Mereka mengadakan penyuluhan kepada para petani desa ini, agar mereka mampu mengontrol jumlah anak di masing-masing keluarga. Bagaimana hasil awalnya? Nihil. Para warga masih belum sadar akan pengaruh kepadatan penduduk yang disebabkan oleh tingginya angka kelahiran dan korelasinya dengan pembangunan negara. Mereka juga sangat apatis terhadap penjelasan para akademisi, yang ujug-ujug datang ke desanya melarang mereka untuk punya banyak anak. Bahasa kasarnya, emang loe siape?

Faktor budaya serta agama juga ikut mendukung para warga untuk memperbanyak keturunan. Desa Pak Slamet mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani, sehingga membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar. Para petani ini juga tidak mau memperkerjakan buruh tani. Selain upah yang harus dibayar, terkadang para buruh juga tak bisa dipercaya. Lalu, dari mana tenaga kerja ini didapatkan? Ya tentu, anak jadi solusinya. Pepatah “Banyak anak banyak rejeki” ditelan bulat-bulat oleh mereka.

Para tetua adat serta tokoh agama desa juga mendukung untuk banyak anak. Dalam banyak ceramah di surau desa, para ustad berkata bahwa nabi sangat menganjurkan untuk memiliki banyak anak (saya tidak mau memberikan rujukan ayat mana, takut salah. Mohon maaf, hehe). Bahkan, menurut keterangan Pak Slamet, justru beberapa ustadlah yang mempelopori agar memiliki keturunan yang "melimpah".

Saya teringat bahwa jumlah desa tertinggal di Indonesia masih sebesar 32 ribu, dari total 74 ribu desa (Republika Online, 2013). Okelah, kalau BKKBN mampu menyukseskan program KB di kota-kota dan desa-desa yang maju. Namun, bagaimana dengan limpahan tenaga kerja baru dari 32 ribu desa tersebut? Apakah pemerintah kuat menanggungnya? Akan percuma, bila BKKBN mampu menahan laju pertumbuhan penduduk dengan hanya dua anak masing-masing KK di kota besar, sedangkan pada nantinya kota itu juga akan dibanjiri oleh (misalnya) enam orang anak baru dari desa. Harus ada solusi yang tepat yang diterapkan. Namun, apa?

[caption caption="BKKBN berperan penting"]

[/caption]

 

Pak Slamet tertawa saat saya menanyakan perihal kawin muda (kawin enom bahasa Jawanya) di desa itu. Ia teringat akan satu peristiwa unik yang pernah terjadi di tempat ini. Dan menurut beliau, dari situlah masyarakat mulai “melek” akan masalah perkawinan dan kelahiran.

Pernikahan dini sangatlah wajar di desa tersebut. Mereka tak tahu dan tak mau tahu bahwa usia yang dilegalkan oleh pemerintah bagi perempuan adalah minimal 16 tahun, dan lelaki minimal 19 tahun (UU Perkawinan No.1 Tahun 1974). Bagi mereka, laki-laki atau perempuan yang telah memasuki akil baligh, telah boleh untuk dinikahkan. Dan lagi-lagi, tetua adat dan ustad-lah yang berperan besar dalam mengijinkan hal ini.

Pada tahun 90-an, desa kecil itu dikejutkan oleh talak yang dilakukan oleh seorang suami berusia muda. Sangat disayangkan, talak tersebut dijatuhkan pada istrinya setelah hanya 4 bulan masa pernikahan mereka. Perceraian merupakan hal yang tidak wajar dan jarang sekali terjadi di kampung kecil itu. Otomatis, para warga banyak yang bertanya-tanya akan penyebabnya. Namun, tetua & ulama setempat waktu itu belum bisa memberikan jawaban yang pas.

Satu bulan berikutnya, kader BKKBN dari kota datang. Mendengar adanya perceraian dini disitu, para kader segera turun ke lapangan. Penduduk desa yang masih penasaran, lantas bertanya pada para kader. Apa jawabnya?

Makane, Buk, Pak. Putra-putrine ora oleh rabi sek, lek umure durung jangkep 20 tahun. Nah, lek wes ngono iku, kepiye?”[1], begitulah jawaban dari seorang kader yang masih diingat oleh Pak Slamet.

Semenjak saat itu, penduduk desa lebih perhatian akan penyuluhan yang disampaikan lagi oleh BKKBN. Hasilnya? Menggembirakan. Jumlah kelahiran di desa itu menurun dari tahun ke tahun. Angka pernikahan dini pun turun drastis. Para orang tua juga mulai mengikis budaya pernikahan dini, dan berangsur-angsur meninggalkannya. Sekarang, kata Pak Slamet, sangat jarang dijumpai pernikahan di bawah usia 20 tahun.

Para kader BKKBN ini juga telah merangkul pemuka agama dan para tetua di desa. Dengan dirangkulnya para ustad dan tetua, diharapkan masing-masing pihak bahu-membahu untuk menyukseskan program KB dan mencegah pernikahan dini.

SOLUSI DENGAN MERANGKUL KAUM AGAMA DAN ADAT, ADA LAGI?

Banyak pengamat dan akademisi masih berseteru akan batas minimal perkawinan. Mereka lebih suka memperdebatkan angka diatas kertas dari pada merancang praktik jitu di lapangan. Saya memanglah bukan seorang akademisi, namun bukankah setiap gagasan harus dipertimbangkan?

Presiden Soeharto sukses menekan jumlah kelahiran penduduk pada masanya. Selain memberikan sosialisasi yang intens di masing-masing daerah, Bapak Pembangunan ini juga menggandeng sejumlah tokoh agama di bumi pertiwi. Hasilnya, Total Fertility Rate yang semula 5,6 pada tahun 1970-2000, menurun menjadi 2,8 pada tahun 2000 lebih[2].

Maka dari itu, sangat dianjurkan bagi Presiden Jokowi untuk meniru Presiden Soeharto, dengan merangkul para tokoh-tokoh agama di Indonesia. Jikalau bapak presiden memang ingin menyukseskan program KB, perannya yang vital sebagai kepala negara harap digunakan semaksimal mungkin.

[caption caption="KB sukses Era Soeharto via Google Images"]

[/caption]

Bapak Presiden juga harus berkoordinasi dengan para pemerintah daerah agar meningkatkan kepedulian di desa-desa kecil daerahnya. Kunci sukses Orde Baru dalam menjalankan program KB adalah sistemnya yang terpusat saat itu. Namun, sejak era desentralisasi (Reformasi) hingga sekarang, banyak pemerintah daerah yang kurang mendukung program KB. Mereka lebih bersemangat untuk membangun infrastruktur ketimbang berinvestasi jangka panjang dalam program ini.

Padahal, masyarakat desa di pedalaman dan pinggiran Indonesia-lah yang menjadi prioritas untuk dibina. Di kota-kota besar, sangatlah mudah untuk mendapatkan alat-alat kontrasepsi (seperti Pil KB, kondom, dll) dari berbagai apotek. Ditambah lagi, biaya hidup yang tinggi di perkotaan membuat orang tua akan berpikir dua kali dalam memperbanyak keturunan. Lain halnya dengan di desa-desa terpecil. Darimana para ibu-ibu di desa mendapatkan pil KB? Untuk mendapatkan pil-pil kecil ini, mungkin mereka harus menempuh ribuan kilometer untuk sampai ke kota. Juga, faktor biaya hidup di desa tidak semahal biaya hidup di kota. Untuk apa berpikir dua kali dalam memperbanyak keturunan, kalau anak sangatlah dibutuhkan bagi mereka?

***

Ada satu pertanyaan yang masih mengganjal di benak saya perihal desa ini. Mengapa tanaman pare dan kencur saya lihat ada dimana-mana? Apa itu memang menjadi tanaman wajib desa ini? Atau apa?

Pak Slamet tersenyum mendengar pertanyaan saya. Ia bertutur bahwa tanaman pare dan kencur memang banyak ditanam di desa ini, atas saran seorang dokter yang dibawa BKKBN. Loh-loh, apa hubungannya dokter sama tanaman pare?

[caption caption="Tanaman Pare via Google Images"]

[/caption]

Ternyata, itu merupakan solusi yang dikembangkan oleh para masyarakat desa soal pencegahan keturunan. Mereka meminta kepada para kader BKKBN untuk membawa seorang dokter ahli ke desa ini, sehingga dokter tersebut dapat diminta nasehatnya mengenai tanaman kontrasepsi alami. Maklum, jarak desa ini yang jauh dari kota (mempersulit pengambilan kontrasepsi) dan banyaknya warga yang mengeluh karena mengonsumsi pil KB, membuat para tetua berpikir keras. Alhasil, sang dokter menyebutkan pare dan kencur dapat dijadikan ramuan yang kegunaannya hampir sama seperti pil KB. Maka, masyarakat mulai berbondong-bondong menanam pare dan kencur, di pekarangan dan sepanjang jalan desa. Para dokter itu juga membuat semacam ramuan obat bagi mereka, yang hingga kini masih dilestarikan dan digunakan penduduk.

Sebuah ide melintas di benak saya. Bukankah ini dapat menjadi solusi sederhana untuk Indonesia? Pendekatan semacam inilah yang bisa menjadi jurus ampuh bagi pemerintah. Idealnya, BKKBN dan Kementerian Kesehatan mampu bekerja sama dalam mencari tanaman alternatif pengganti pil KB, lalu menanamnya di desa itu. Inovasi ini akan mengatasi permasalahan jarak bagi desa-desa yang masih terpencil. Para dokter dan akademisi pun bisa mengajari para penduduk dalam membuat ramuan pencegah kehamilan sebelum berhubungan intim, agar tak perlu datang terus-menerus ke desa tersebut. Para tetua juga bisa digandeng, sehingga ada pengawasan langsung.

Apakah ini merupakan sebuah solusi yang ampuh, dalam meningkatkan program Keluarga Bencana di Indonesia? Saya hanya berharap ide kecil ini mampu dikembangkan oleh pihak yang lebih mumpuni. Toh, masyarakat kita-lah yang akan menikmati hasilnya. Dan, saya juga bermimpi, bahwa penduduk Indonesia bukan hanya berlimpah, namun juga berkualitas.

Ah, rasanya mimpi saya berlebihan. Namun, bukankah mimpi merupakan sumber pengharapan?

Gresik, 24 Juli 2015

[1] Makanya, Buk, Pak. Putra-putrinya belum boleh nikah dulu, kalau umurnya belum mencapai 20 tahun. Nah, kalau sudah begitu, bagaimana?

[2] Jurnal USU, diunduh dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31984/5/Chapter%20I.pdf

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun