“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya" (Kutipan kalimat "Andai Aku Seorang Belanda", karya Ki Hadjar Dewantara)
Â
Seorang meneer Belanda baru saja pulang dari kantornya sore itu. Diliriknya sebuah surat kabar di meja depan, tempat ia biasa merebahkan kakinya selepas memeras tenaga seharian. Dibukanya beberapa lembar surat kabar itu dengan malas. Matanya tiba-tiba tertuju pada judul sebuah artikel. Ia membacanya sekilas, lantas membuang koran tersebut ke tanah. Berbagai umpatan dalam bahasa Belanda melompat keluar dari mulutnya. "Siapa yang membuat artikel keparat ini?!"
[caption caption="Surat Kabar De Express"][/caption]
**
Judul artikel yang membuat sang meneer marah-marah adalah "Als ik een Nederlander was" yang dimuat di surat kabar De Express, 13 Juli 1913 silam. Suwardi Suryaningrat (a.k.a Ki Hadjar Dewantara), sang penulis, bahkan sampai diasingkan ke Pulau Bangka akibat artikel pendek tersebut. Memang apa isi artikel tersebut?
[caption caption="Ki Hadjar Dewantara"]
Pada tahun 1913, Belanda, yang pada saat itu hendak merayakan kemerdekaan ke-100 tahun mereka (yang diberikan oleh Prancis), akan menggalang suatu pesta besar di bumi pertiwi. Pesta besar itu mungkin akan menjadi pesta terbesar yang pernah dilihat oleh para pribumi dan warga Belanda sendiri. Dananya dari mana? Nah, itu. Tak hanya warga Belanda saja, masalahnya pribumi pun juga diajak (atau dipaksa) menyumbang. Loh, warga jajahan kok disuruh mendanai pesta Belanda?
Inilah yang membuat Suwardi muda bergolak hatinya. Wartawan muda tersebut tentu tak bisa melihat orang-orang Belanda tertawa ria dalam pesta sementara negerinya melarat. Apa yang dapat ia lakukan untuk melawannya? Cerdik, ia menulis sebuah artikel provokatif yang dimuat oleh surat kabar temannya, Douwes Dekker. Ia mencoba membuktikan bahwa pena lebih tajam dari pada pedang.
Karena kritik pedasnya, ia akhirnya diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri) oleh Gubernur Jenderal Idenburg. Teman-temannya, Douwes Dekker dan Dr.Tjipto Mangunkusumo mencoba memprotes pada Belanda akan nasib sahabat mereka itu. Naas, mereka bertiga malah diasingkan ke Belanda pada tahun itu juga. Ya, mereka toh tetap bersama saat di pengasingan.
***
Apa yang dilakukan oleh K.H. Dewantara juga kita lakukan di masa sekarang. Dalam Kompasiana (ataupun berbagai media massa dan sosial), kita beraspirasi, mencoba melawan tirani yang sewenang-wenang di negeri ini. Kita sadar mereka sedang bergembira dan tertawa ria saat di berbagai sudut Indonesia diliputi duka dan nestapa kemiskinan. Kita sadar kita tak punya kekuasaan yang besar dalam melawan mereka. Hanya pena yang kita punya, yang menjadi alat perlawanan paling ampuh tuk melawan ketidakadilan.
Â
Namun, beranikah kita menanggung konsekuensinya? Tegarkah kita seperti Suwardi muda yang rela diasingkan ke Pulau Bangka, bahkan jauh ke negeri Belanda? Sanggupkah kita menerima segala teror yang ada karena suara kita terlalu tajam di telinga penguasa? Bahkan, relakah kita memberikannya nyawa kita demi menegakkan keadilan, macam Munir dkk?
Ah, rasanya sangat sulit.
Gresik, 13 Juli 2015
Saat melihat artikel Wikipedia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H