Mohon tunggu...
Erald David Sibatuara
Erald David Sibatuara Mohon Tunggu... Pelajar -

Pengais Hikmah dalam Setiap Kata; Pelajar SMA yang masih kekanak-kanakkan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ayahku Seorang Pendongeng (Membangun Karakter Lewat Dongeng, Harganas 2015)

12 Juli 2015   14:58 Diperbarui: 13 Juli 2015   21:03 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan kita mulai perjalanan kita ke masa silam, waktu semuanya dimulai.

**

Ayahku dilahirkan di sebuah dusun kecil di puncak Pulau Samosir, tepatnya di desa Gumba, Kecamatan Nainggolan, Kabupaten Samosir. Sebagai anak seorang petani, pekerjaan sehari-harinya hanyalah berladang dan menggembala kerbau milik ayahnya (opung[1] saya). Tak ada kenangan yang penuh dengan gemerlap mainan dan gadget, masa kecilnya dihabiskan di tengah sawah dan hutan nan luas, ditemani kerbau dan kicau riang burung-burung.

Tibalah saat ia telah cukup umurnya untuk pergi bersekolah. Sekolah di desa tersebut hanya sebatas sekolah dasar, dengan atapnya yang reyot dan bangku-bangku kayu yang lapuk dimakan rayap. Terlepas dari semua itu, ia toh tetap bersemangat mengejar ilmu, walaupun saat itu ia tidak tahu apa tujuannya mencari “barang mahal” itu.

Ia masih ingat ketika ia mendapat buku dongeng pertamanya. Sebuah buku dongeng murahan yang ia beli di toko loak sewaktu ia singgah di kota. Bentuknya tak karuan, kertasnya kusut, cover-nya tak kelihatan warnanya, juga ia tak tahu siapa pengarang buku dongeng itu. Awalnya ia hanya iseng-iseng membaca demi menambah koleksi legenda dan cerita rakyat dari percakapa orangtuanya. Siapa sangka, justru buku itu yang mampu mengubah hidupnya.

Semenjak saat itu, ia mengalami sensasi belajar “learning is fun”, seperti yang sering diistilahkan kaum cendekiawan. Ia membawa buku itu kemanapun ia pergi. Saat menggembala kerbau, ia akan duduk di bawah pohon untuk membaca buku itu (persis kayak di dongeng, yah. Awalnya juga saya tak percaya, sampai ayah saya bersumpah bahwa itu asli bin nyata, bukan rekayasa). Saat ia pergi berladang, ia akan menyempatkan untuk rehat sejenak di tengah terik matahari demi membaca barang satu-dua paragraf, sebelum melanjutkan bekerja. Sebelum tidur, ia akan menyempatkan untuk menuntaskan satu cerita yang telah dibacanya, lalu akan ditaruhnya buku itu di bawah tikar goni saat ia mulai mengantuk. Ternyata, kutu buku juga bisa menjangkiti anak desa macam ayah saya.

Tahun demi tahun berlalu. Ayah saya mulai bertumbuh dewasa. Ia melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang semakin tinggi, dari SD ke SLTP (SMP), dari SLTP lalu ke SMEA[2] (SLTP dan SMEA ada di ibukota kabupaten). Tak lupa, buku dongeng yang lusuh itu (yang telah ia tamatkan berulang kali) dibawanya pula. Pada masa itu, seorang anak dari desa akan sangat sulit untuk membaur dengan kawan-kawan kota yang lebih modern. Namun hal itu tidak berlaku bagi ayahku. Wawasannya yang cukup luas serta sikapnya yang supel merupakan bukti anak desa tak seperti yang dibayangkan orang.

Ayah saya hanya mampu mengecap pendidikan sampai bangku SMA, tak lebih. Keluarganya yang berlatar belakang petani menuntutnya untuk segera mencari kerja agar tak menyusahkan orang tua. Ia berkelana, melompat dari satu kabupaten ke kabupaten lain, provinsi ke provinsi untuk mencari kerja. Berbagai lika-liku hidup mempertemukannya dengan ibu saya di kota kecil Gresik, tempat mereka membuat bahtera rumah tangga untuk mengarungi lautan kehidupan yang luas ini.

**

[caption caption="Bersama Ayah dan Adik di Danau Toba"]

[/caption]

Pendongeng, kata ayah saya, merupakan pekerjaan yang unik. Pendongeng adalah seorang yang mampu menyimpan berbagai cerita di memorinya, lantas mengeluarkannya dalam wujud kata-kata disertai berbagai intonasi, mimik dan gerak untuk membuatnya nyata. Pendongeng adalah seorang yang mampu mengais kembali legenda lokal yang mulai tenggelam ditelan zaman, dan membawanya kembali ke daratan fikir dalam otak anak-anak. Pendongeng adalah pengajar moral dan budi pekerti, sesuatu yang amat jarang hadir di masa sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun