"Nah, jelas, kan? Mana ada orang kerja dengan tangggung jawab sebesar itu tanpa dibayar?! Kita sudah lama merdeka, Mas! Zaman penjajahan sudah jauh lewat."
"Ah, berlebihan, kamu Nin."
"Untuk diketahui, ya, RT RW itu warisan zaman Pendudukan Jepang. Namanya Tonarigumi. Mirip seperti RT sekarang, mereka menjadi alat kontrol dan mobilisasi lingkungannya---harta ataupun tenaga---untuk  kepentingan pemerintah."
Nin memang suka membaca buku sejarah. Baru kali ini aku mendengar semuanya itu. "Jadi, aku harus bagaimana?"
"Ada dua pilihan. Mas Anwar mundur atau aku akan tulis keberatan kepada Pak Kadus."
Demi ketenteraman keluarga, aku mundur. Dalam pertemuan warga minggu berikutnya kukatakan bahwa menjabat sebagai Ketua RT selama dua periode itu sudah cukup bagiku. Lagi pula dalam peraturan menteri dinyatakan bahwa jabatan Ketua RT paling lama hanya bisa dijabat oleh orang yang sama selama dua periode. Aku mengutip aturan itu untuk memperkuat penolakanku meskipun, aku tahu, aturan ini sering dilanggar karena memang nyaris tidak ada yang mau menjadi ketua RT.
Banyak warga yang tetap mendaulat aku menjadi ketua RT. Aku bersikeras mundur. Dan usaha memunculkan calon baru pun tidak berhasil. Seperti yang sudah-sudah semua nama yang dimunculkan menolaknya dengan alasan masing-masing. Musyawarah menemui jalan buntu. Total.
Aku menulis surat kepada Pemerintah Desa. Kukabarkan bahwa RT kami gagal mendapatkan ketua yang baru. Tidak ada kepengurusan di RT kami. Aku, para mantan pengurus RT lain merasa malu dengan hal itu. Pasti kami menjadi bahan pembicaraan di kampung. Saat bertemu warga RT lain di masjid, di warung atau di jalan, aku sering ditanyai tentang masalah itu. Mau apa lagi, kujawab saja apa adanya.
Bagaimanapun masalah ini menjadi beban pikiranku. Kerap kali terngiang kembali kata-kata ayah mertuaku, "Berjamaah itu memerlukan imam. Hidup bertetangga perlu aturan main, perlu pemimpin yang sanggup memberi arah, menjadi penengah yang menjamin tegak dan adilnya aturan main. Jika kalian tidak mau bersungguh-sungguh mengurusi kehidupan berjamaah, maka berdiri di atas apa kalian saat menuntut kenyamanan hidup bersama? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H