Mohon tunggu...
Rahmad Widada
Rahmad Widada Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis, penyunting buku. Publikasi: 1. Saussure untuk Sastra (metode kritik sastra). 2. Gadis-gadis Amangkurat (novel) 3. Jangan Kautulis Obituari Cinta (novel). 4. Guru Patriot: Biografi Ki Sarmidi Mangunsarkoro.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Haiku Tengah Hujan

13 Oktober 2022   18:19 Diperbarui: 13 Oktober 2022   18:56 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit malam bermendung tebal. Udara panas. Dengan hentakan keras, Ben membuka  pintu kamar kosnya. Terdengar sesuatu terbentur daun pintu, disusul  suara menguik keras. Pintu terbuka separo. Seekor pudel terguling di depan pintu, kedua kaki depannya meraih-raih udara sebelum akhirnya ia berhasil kembali tegak di atas keempat kakinya yang penuh lumpur.

"Hai ada 'anak' tersesat rupanya?" Ben menyapa anjing itu. "Kecebur di selokan ya Bung!" Si pudel bergidik, maka mencipratlah  lumpur ke mana-mana dari rambut gimbalnya. Sebutir pasir mampir ke mata Ben."Dasar anjing!" serta-merta Ben mengambil sapu lalu mengayunkannya ke arah perut si pudel. Namun, ayunan sapu itu terhenti demi dilihat oleh Ben rambut gimbal si pudel di sekitar kupingnya. Bercak-bercak di situ bukan lumpur semata. Ada campuran warna merah kecoklatan di sana.

"Kenapa dengan kupingmu Nak? Habis berkelahi dengan preman pasar ya?" Ben membungkuk dan memeriksa kepala si pudel. "Ya Tuhan, apakah anjing-anjing pasar itu suka makan kuping?" Telinga pudel itu  ternyata tinggal yang kiri. "Dengar kawan, meski kamu telah berlaku kurang ajar dengan lumpur dan rambut gimbalmu itu, bukanlah tabiatku untuk membalas orang yang sedang terluka. Oke, tunggu sebentar."

Ben masuk kamar dan kembali dengan membawa kapas, rivanol, dan iodin. Lalu ia mulai membersihkan luka-luka anjing. Disibakkannya rambut gimbal anjing itu, "Kamu pasti penggemar berat Bob Marley!" Tanpa sadar Ben kemudian menyanyi-nyanyi kecil, "No women no cry...,   tapi perempuan bisa bikin kamu nangis Bung! Tanpa perempuan, kamu akan merana! Tapi, sudahlah. Aku tak mau omong tentang perempuan."

Ben berhenti menyanyi-nyanyi. Sunyi memenuhi udara; dan tambah sunyi oleh dentingan genta-genta di depan pintu yang diayunkan angin. Ben menghela nafas panjang. Genta-genta itu hadiah dari Naida setelah Naida menamatkan studinya di Jepang. Dan dentingan genta-genta itu ternyata kemudian tak lebih dari lonceng kematian cinta Naida untuk Ben. Yukio San menyusul Naida ke Indonesia, dia bilang  tak kuat menahan rindu.

Apakah cinta memang keparat tak kepalang tanggung? Naida bilang, "Yukio San adalah pria lembut. Di taksi menuju bandara Narita, ia titikkan airmata dan bilang ingin menikahiku. Ben, sayangku, aku mencintai dua pria sekaligus. Dosakah aku?" Ben yang selalu ingin menjunjung tinggi kejujuran sungguh-sungguh harus menghargai pengakuan Naida. Dan itu pahit benar .

Ben memberi kebebasan kepada Naida untuk memilih: Ben atau Yukio. Dan si Jepang lebih beruntung. Apakah itu tersebab Yukio adalah seorang dosen, seorang doktor sejarah Asia yang cemerlang, sedangkan Ben 'cuma' pelukis yang baru mencari identitas? Ben tidak tahu. Yang jelas kini Naida tinggal di Tokyo sebagai istri Yukio San.  Naida, aku ingin melukismu dalam kimono, begitu Ben sering melamun.

"Tahan sedikit Bung, hanya perih sebentar. Kalau sudah sembuh nanti, kamu pasti tampak lebih gagah dengan sebelah telinga saja. Kamu bisa ceritakan pada teman-teman kecilmu, betapa sengitnya kamu berkelahi dengan anjing-anjing pasar itu." Si pudel mendengus dan menguik senang. "He, he, apa? Kamu pikir cewek-cewek akan kagum dengan telingamu. Dasar anjing buaya!"

 Setelah membubuhi kuping si pudel dengan iodin, Ben menyodorkan air dalam cawan plastik pada si pudel. "Sorry cuma air putih dan aku nggak punya makanan kecil. Lagi pula apakah bedanya kopi dan air ledeng bagimu?" (Dulu Naida selalu membawakan makanan kecil, rokok, atau sebungkus kopi tumbuk asli kesukaan Ben jika ia mengunjungi Ben). Si pudel dengan rakus segera minum sampai puas.

"Nah, kamu kini sudah mendingan. Kamu boleh pergi. Terus terang aku tak suka anjing. Lagi pula, pasti tuanmu akan mencari-carimu. Hus, hus, sana pergi sebelum aku jengkel!" Ben menyorong si pudel dengan sapu, namun si anjing malah mendekam bersitahan sambil menatap Ben dan menjulur-julurkan lidahnya. Lalu ia mulai mengendus-ngendus lantai, dan  akhirnya mengendus keranjang sampah di depan teras lalu menumpahkan isinya.

 "Apa lagi, Nak? Lapar? Baiklah, aku tidak akan kepalang tanggung menolongmu." Ben masuk lagi ke kamar dan kembali dengan sebungkus mie instan di tangan. "Dengar, ini jatah sarapanku besok pagi. Aku malas memasak untukmu. Makan saja mentah-mentah; ini tak terlalu buruk bagi seekor anjing, bukan?" Ben membagi mie keringnya lalu menyodorkan sebagian pada si pudel. Anjing itu segera mengendus, menjilat, dan memakannya sedikit. Lalu ia meninggalkan mie itu dan kembali mengendus-endus mengitari teras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun