Dalam pendahuluan ceritanya, Boccaccio menggambarkan bagaimana orang-orang Florentina siang malam jatuh dan mati di jalan-jalan. Banyak pula yang sekarat lalu mati sendirian di rumah sebab anggota keluarga yang lain sudah pergi atau mati lebih dahulu. Para tetangga biasanya mengetahui kematian orang-orang malang itu setelah mencium bau bangkainya. Â Ikatan darah dan sosial hancur akibat teror wabah yang mengerikan ini.
Agar selamat dari wabah maut tersebut, sepuluh anak muda (tujuh perempuan dan tiga laki-laki) keluar dari kota menuju daerah pedesaan yang jauh. Di sana mereka mengkarantina diri di sebuah vila selama sepuluh hari.
Guna mengisi hari-hari yang luang, mereka bersepakat untuk berbagi cerita di samping kegiatan rekreatif lain. Satu hari masing-masing orang menuturkan sebuah cerita. Jadi, ada seratus cerita selama sepuluh hari karantina yang mereka jalani. Dari angka seratus inilah rupanya Boccaccio kemudian mendapatkan judul Decameron untuk karyanya.
Seratus cerita yang saling mereka bagikan itu mempunyai tema beragam. Namun, ada suatu aturan yang wajib disepakati, yakni cerita-cerita itu harus membawakan kesenangan. Cerita yang menimbulkan stres dan pikiran buruk harus dihindari. Ini penting untuk menjaga semangat hidup. Dengan kekuatan cerita-cerita itu mereka melindungi diri dari tekanan psikologis yang ditebarkan Wabah Maut Hitam. Maka berbagai anekdot, kisah konyol, satire, mereka ceritakan secara bergiliran.
Salah satu cerita itu, misalnya, adalah kisah asal-usul orang kudus Santo Ciappelletto. Konon Tuan Ciappelletto dikenal sebagai orang yang luar biasa jahat dan suka menipu. Suatu saat ia jatuh sakit. Kondisinya parah dan dia merasa ajalnya sudah dekat. Oleh karena itu, ia menyesal dan melakukan pengakuan dosa kepada seorang biarawan.
Mendengar pertobatan itu, sang biarawan tersentuh hatinya. Tuan Ciappelletto lalu meminta agar bokeh dimakamkan di dekat biara jika ia mati. Karena penyakitnya yang makin memburuk dan tak teratasi, Tuan Ciappelletto akhirnya mati. Dia lalu dimakamkan di dekat biara dengan prosesi yang khidmat.
Dalam pidato pemakaman itu sang biarawan menyatakan kekagumannya atas pertobatan Tuan Ciappellatto sehingga lelaki tua ini pantas diangkat menjadi orang kudus. Karena mempercayai sang biarawan, orang-orang ikut mengglorifikasi pertobatan Ciappelletto di akhir hidupnya itu. Maka dia pun digelari sebagai Santo Ciappelletto setelah kematiannya. Namun, ada sesuatu yang tidak diketahui oleh orang-orang, bahwa Tuan Ciappelletto telah menipu sang biarawan. Semua pengakuan dosanya itu palsu belaka.
Begitulah, melalui Decameron, Boccaccio menawarkan seratus cerita guna melindungi diri saat wabah berjangkit. Usaha itu  boleh kita sebut sebagai suatu "profilaksis naratif", yakni upaya menjaga kesehatan dan mencegah penularan penyakit melalui narasi.
Bukan Saran Asal-asalan
Resep Boccaccio dalam Decameron tidaklah asal-asalan. Tomasso del Garbo (1305-1370), seorang dokter dari Florentina yang paling menonjol saat itu, memang menyatakan bahwa ketika wabah melanda, orang-orang harus menghindarkan diri dari pikiran-pikiran tentang kematian. Mereka disarankan untuk berkumpul di taman dan melakukan hal-hal yang menyenangkan tetapi tidak melelahkan. Mereka bisa bernyanyi, bermain, dan berbagi kisah lucu atau hal-hal lain lain.
Nasihat yang serupa datang sekitar dua abad kemudian dari seorang teolog Italia, Nicolas dari Burgo (1517-1537). Ia merekomendasikan agar selama wabah berjangkit kita harus menghindari rasa takut, kemarahan, kesedihan, dan pikiran-pikiran yang berat. Kita harus saling menjaga agar tetap berbahagia. Melalui campuran isolasi sosial dengan kegiatan yang menyenangkan itu, kita membuat kemungkinan untuk selamat dari hari-hari terburuk selama berjangkitnya wabah.