Mohon tunggu...
Fajar Perada
Fajar Perada Mohon Tunggu... Jurnalis - seorang jurnalis independen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pernah bekerja di perusahaan surat kabar di Semarang, Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Airlangga Hartarto, Tenang dan Menghanyutkan

19 April 2022   10:56 Diperbarui: 19 April 2022   11:02 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Airlangga Hartarto, Ketua Umum DPP Partai Golkar (foto: Golkar)

DUA tahun lagi, tepatnya 2024, Indonesia akan menghadapi kontestasi akbar politik yakni Pemilihan Presiden (Pilpres), Pemilihan Legislatif (Pileg), dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. Sebagaimana pemilu-pemilu di masa lalu, misalnya 2019, mendekati ke saat kontestasi tersebut suhu berpotensi terus memanas. 

Menuju 2024, suhu panas menjelang tahun politik tersebut sudah mulai terasa sejak 2022 ini. Masing-masing kubu pendukung calon presiden kian masiv dalam menerapkan strategi pemenangan kontestasi.

Saat menghadapi Pemilu 2019, tensi politik menggelegak dengan kemunculan berbagai sebutan yang diindikasikan menyerang kubu lawan. Ada sekelompok orang yang menyerang lawan politik dengan sebutan kecebong, dan lawannya membalas dengan sebutan kampret. Belakangan muncul pula kadrun", yang ternyata singkatan dari kadal gurun. Kadrun ini diidentifikasikan sebagai kaum yang berpikiran sempit dan sektarian.

Istilah-istilah tersebut, yang oleh banyak kalangan dikatakan sebagai sinisme politik, merujuk pada militansi dari masing-masing kelompok pendukung. Padahal pada galibnya, dua atau tiga "perumpamaan" itu secara subtansial justru mengandung kesan memecah-belah, karena terkesan terus saling menjatuhkan.

Kecebong adalah sebutan untuk pendukung Joko Widodo, sementara pendukung tokoh selain Jokowi kerap disebut kampret dan belakangan kadrun. Fenomena tersebut sebenarnya terjadi sejak Jokowi bertarung dengan Prabowo Subianto pada Pilpres 2014. 

Sinisme kecebong versus kampret dan belakangan kadrun terus menguat karena memang cenderung dibangun oleh kedua kubu yang berlawanan. 

Setelah Jokowi menunjuk Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan pada Kabinet Indonesia Maju jilid 2, sinisme kecebong vs kampret/kadrun memang relatif tak lagi memanas, walau tak sepenuhnya benar-benar mencair, apalagi sudah guyub.

Menuju 2024, sangat mungkin sinisme politik dalam bentuk lain akan muncul. Istilah kecebong sangat mungkin sangat mungkin tidak akan dimunculkan lagi, mengingat Jokowi sudah dipastikan tidak akan bertarung lagi. Namun, istilah kampret atau kadrun bisa jadi kembali mengemuka, karena Prabowo Subianto berpotensi kembali maju untuk memperebutkan kursi RI-1.

secara umum, menuju kontestasi akbar politik pada 2024 tersebut tensi persaingan sudah menghangat. Sinisme politik baru menuju Pilpres 2024 sudah diwarnai dengan perseteruan kelompok celeng versus banteng. Perbedaannya, cebong vs kampret dan kadrun merujuk dua kubu berbeda. Sementara celeng vs banteng muncul di tengah polemik internal PDIP yang mendorong Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, maju menjadi Presiden.

Sebutan celeng hingga bebek muncul sebagai buntut deklarasi dukungan beberapa simpatisan PDIP kepada Ganjar Pranowo. Kelompok banteng, bisa dengan mudah dipahami, merujuk pada calon kuat dari PDIP lainnya, yang dalam hal ini tampaknya adalah Puan Maharani, Ketua DPR yang juga putri sulung ketum abadi PDIP Megawati Soekarnoputri.

Secara berseloroh sejumlah pengamat menyatakan bahwa mungkin saja semakin mendekati ke 2024 akan muncul istilah-istilah lain yang mengindentifikasikan calon-calon yang bersaing. Di samping istilah kampret atau kadrun yang menjadi "trademark" untuk kelompok pendukung Prabowo Subianto yang militan.

Kita ketahui, dari pemberitaan sejauh ini, tokoh-tokoh yang akan bertarung di Pilpres 2025 adalah Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta yang akan habis masa kerjanya pada Oktober 2022 mendatang. Lalu, Ridwan Kamil, Gubernur Jabar, yang masa pengabdiannya berakhir pada 2023, serupa dengan 17 gubernur lainnya, termasuk Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng, dan Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jatim. Selain tiga kepala daerah tingkat I itu, kandidat capres lainnya berasal dari kalangan pimpinan parpol. Yang nama-namanya sudah ramai disebut-sebut adalah Prabowo Subianto (Gerindra), Muhaimin Iskandar (PKB), Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat), serta Airlangga Hartarto (Golkar) dan Puan Maharani (PDIP).

Di luar itu, ada beberapa nama dari kalangan eksekutif, yang paling mencolok adalah Erick Thohir (Menteri BUMN). Juga, Luhut Binsar Panjaitan (Menko Marves, kemaritiman dan investasi) yang namanya ramai beredar beredar di media sosial. LBP, sebutan Luhut, di kalangan terbatas bahkan sudah santer disebut-sebut akan berkoalisi dengan Anies Baswedan.

STRATEGI KAMPANYE

Dari pandangan penulis Dari kesemua nama para kandidat capres yang disebutkan di atas, sementara sinonim capres dan cawapres belum resmi ada karena belum ada kolaborasi yang resmi, kandidat yang terkesan paling "cool" adalah Airlangga Hartarto. Ketum Partai Golkar yang sangat santun serta berkesan tenang dan menghanyutkan ini tidak seperti kandidat lainnya yang sudah masiv berkampanye. Airlangga tampaknya masih menghemat tenaga, juga sumber daya dan dana.

Airlangga masih memilih untuk fokus menjalankan pengabdiannya sebagai Menko Perekonomian sekaligus Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN). Airlangga terkesan menghindari timbulnya "conflict of interest" jika sedari dini sudah melakukan kampanye secara masiv, sekaligus menjauhi kesan "abuse of power", penyalahgunaan kekuasaan.

Kondisi tersebut memang sangat rentan mengingat tugasnya sebagai Menko Perekonomian dan Ketua KPCPEN. Kampanye yang dilakukan Airlangga sejauh ini tampaknya lebih berupa konsolidasi dengan daerah.

Merujuk dari pengalaman, ada dua strategi dalam kampanye pemilu di Indonesia. Yaitu, strategi menarik simpati rakyat dan satu lagi strategi membuat rakyat merasa marah dengan intrik-intrik yang ada dalam persaingan politik. Masa kampanye akan dipenuhi dengan kata-kata indah dan juga kata-kata yang membangkitkan amarah. Hanya dua strategi itu yang paling dominan di tahun-tahun menuju kontestasi politik akbar: menarik simpati rakyat, dan membuat rakyat marah.

Hal-hal yang terjadi di Indonesia dalam menghadapi kontestasi politik tidak berbeda dengan yang terjadi dalam pemilu di belahan dunia lainnya, tak terkecuali Amerika Serikat. kedua strategi tersebut digunakan masing-masing calon presiden dengan karakter yang berbeda. Contoh terbaru, perseteruan panas dalam memperebutkan kursi presiden AS ke-46, untuk masa jabatan 2021-2025. Donald Trump diungguli oleh mantan wapresnya di era 2017-2021, Joe Biden.

Joe Biden mampu membuktikan kehebatannya untuk bertahan di bawah tekanan dan ia tidak kehilangan langkah karena usianya yang sudah lanjut. Biden menunjukkan ketenangannya dalam menerima cacian dan hinaan dari rivalnya, Donald Trump.  

Indonesia juga membutuhkan pemimpin yang mampu bersikap tenang dalam menghadapi masalah, tidak bombastis. Apalagi, Pilpres, Pileg maupun Pilkada serentak 2024 sangat mungkin terlaksana di era endemi Covid-19. Saat itu, Indonesia diperhitungkan tidak lagi dalam deraan masalah ekonomi, kesehatan dan sosial, akibat pandemi Covid-19 yang menghantam sejak kuartal pertama tahun 2020.

Dengan adanya dua strategi tersebut di Indonesia menjelang Pilpres 2024, berdasarkan contoh Pemilu Amerika Serikat, calon yang berhasil merebut simpati rakyat dan menggunakan data dan fakta tidak akan mendapatkan jaminan berhasil memenangi kontestasi. Itu merujuk pada kegagalan Hillary Clinton, kandidat lain dari Partai Demokrat selain Joe Biden. Hillary, ibu negara di era 1993 hingga 2001, sebelumnya dinyatakan menang oleh berbagai lembaga survei.

Menuju 2024 Indonesia bersinggungan langsung dalam menghadapi perkembangan serta kemajuan dari teknologi yang terus menggeliat dan berubah. Oleh karena itu ada kecenderungan bahwa saat ini semua negara semakin mementingkan ekonominya sendiri. Masing-masing negara tidak lagi melihat arus globalisasi dan lingkungan. Dalam kondisi yang demikian bangsa Indonesia tentunya diharapkan mampu mengembangkan optimisme yang harus dipupuk dari waktu ke waktu.

Bangsa Indonesia adalah bangsa besar. Kita menjadi bangsa yang menjadi bagian dari ekonomi ASEAN. Selama 20 tahun reformasi, Indonesia juga menjadi kunci dari stabilitas politik di Asia Tenggara.

Itulah yang menjadi "concern" dari seorang Airlangga Hartarto. Dia memang terkesan tidak terlalu masiv "berkampanye", tidak seperti beberapa kandidat lainnya yang sudah mengemas penampilannya sedemikian rupa, demi menarik simpati rakyat. Airlangga lebih banyak melakukan konsolidasi dengan jajaran pimpinan Golkar daerah. Tidak mengherankan jika baliho bergambar dirinya banyak terpampang di sisi jalan, di berbagai daerah. Dari arah mana pun menuju Bandara Soetta. Di Jabar, mulai dari Bogor menuju Cianjur. Menembus Garut hingga Tasikmalaya. Jalur selatan Jawa juga dihiasi foto Airlangga. Berkemeja putih dengan tulisan "Kerja untuk Indonesia".

Ada ciri khas baliho Airlangga. Bagian bawah fotonya terdapat tulisan 'presented by'. Iklan ini dibuat para pengurus Golkar di daerah. Seperti dilihat di baliho Airlangga di kawasan Klaten, Jawa Tengah. Di sudut kiri bawah iklan terdapat tulisan dipersembahkan oleh DPD II Golkar Klaten.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun