Kita ketahui, dari pemberitaan sejauh ini, tokoh-tokoh yang akan bertarung di Pilpres 2025 adalah Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta yang akan habis masa kerjanya pada Oktober 2022 mendatang. Lalu, Ridwan Kamil, Gubernur Jabar, yang masa pengabdiannya berakhir pada 2023, serupa dengan 17 gubernur lainnya, termasuk Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng, dan Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jatim. Selain tiga kepala daerah tingkat I itu, kandidat capres lainnya berasal dari kalangan pimpinan parpol. Yang nama-namanya sudah ramai disebut-sebut adalah Prabowo Subianto (Gerindra), Muhaimin Iskandar (PKB), Agus Harimurti Yudhoyono (Demokrat), serta Airlangga Hartarto (Golkar) dan Puan Maharani (PDIP).
Di luar itu, ada beberapa nama dari kalangan eksekutif, yang paling mencolok adalah Erick Thohir (Menteri BUMN). Juga, Luhut Binsar Panjaitan (Menko Marves, kemaritiman dan investasi) yang namanya ramai beredar beredar di media sosial. LBP, sebutan Luhut, di kalangan terbatas bahkan sudah santer disebut-sebut akan berkoalisi dengan Anies Baswedan.
STRATEGI KAMPANYE
Dari pandangan penulis Dari kesemua nama para kandidat capres yang disebutkan di atas, sementara sinonim capres dan cawapres belum resmi ada karena belum ada kolaborasi yang resmi, kandidat yang terkesan paling "cool" adalah Airlangga Hartarto. Ketum Partai Golkar yang sangat santun serta berkesan tenang dan menghanyutkan ini tidak seperti kandidat lainnya yang sudah masiv berkampanye. Airlangga tampaknya masih menghemat tenaga, juga sumber daya dan dana.
Airlangga masih memilih untuk fokus menjalankan pengabdiannya sebagai Menko Perekonomian sekaligus Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN). Airlangga terkesan menghindari timbulnya "conflict of interest" jika sedari dini sudah melakukan kampanye secara masiv, sekaligus menjauhi kesan "abuse of power", penyalahgunaan kekuasaan.
Kondisi tersebut memang sangat rentan mengingat tugasnya sebagai Menko Perekonomian dan Ketua KPCPEN. Kampanye yang dilakukan Airlangga sejauh ini tampaknya lebih berupa konsolidasi dengan daerah.
Merujuk dari pengalaman, ada dua strategi dalam kampanye pemilu di Indonesia. Yaitu, strategi menarik simpati rakyat dan satu lagi strategi membuat rakyat merasa marah dengan intrik-intrik yang ada dalam persaingan politik. Masa kampanye akan dipenuhi dengan kata-kata indah dan juga kata-kata yang membangkitkan amarah. Hanya dua strategi itu yang paling dominan di tahun-tahun menuju kontestasi politik akbar: menarik simpati rakyat, dan membuat rakyat marah.
Hal-hal yang terjadi di Indonesia dalam menghadapi kontestasi politik tidak berbeda dengan yang terjadi dalam pemilu di belahan dunia lainnya, tak terkecuali Amerika Serikat. kedua strategi tersebut digunakan masing-masing calon presiden dengan karakter yang berbeda. Contoh terbaru, perseteruan panas dalam memperebutkan kursi presiden AS ke-46, untuk masa jabatan 2021-2025. Donald Trump diungguli oleh mantan wapresnya di era 2017-2021, Joe Biden.
Joe Biden mampu membuktikan kehebatannya untuk bertahan di bawah tekanan dan ia tidak kehilangan langkah karena usianya yang sudah lanjut. Biden menunjukkan ketenangannya dalam menerima cacian dan hinaan dari rivalnya, Donald Trump. Â
Indonesia juga membutuhkan pemimpin yang mampu bersikap tenang dalam menghadapi masalah, tidak bombastis. Apalagi, Pilpres, Pileg maupun Pilkada serentak 2024 sangat mungkin terlaksana di era endemi Covid-19. Saat itu, Indonesia diperhitungkan tidak lagi dalam deraan masalah ekonomi, kesehatan dan sosial, akibat pandemi Covid-19 yang menghantam sejak kuartal pertama tahun 2020.
Dengan adanya dua strategi tersebut di Indonesia menjelang Pilpres 2024, berdasarkan contoh Pemilu Amerika Serikat, calon yang berhasil merebut simpati rakyat dan menggunakan data dan fakta tidak akan mendapatkan jaminan berhasil memenangi kontestasi. Itu merujuk pada kegagalan Hillary Clinton, kandidat lain dari Partai Demokrat selain Joe Biden. Hillary, ibu negara di era 1993 hingga 2001, sebelumnya dinyatakan menang oleh berbagai lembaga survei.
Menuju 2024 Indonesia bersinggungan langsung dalam menghadapi perkembangan serta kemajuan dari teknologi yang terus menggeliat dan berubah. Oleh karena itu ada kecenderungan bahwa saat ini semua negara semakin mementingkan ekonominya sendiri. Masing-masing negara tidak lagi melihat arus globalisasi dan lingkungan. Dalam kondisi yang demikian bangsa Indonesia tentunya diharapkan mampu mengembangkan optimisme yang harus dipupuk dari waktu ke waktu.