TIBA-tiba beredar kembali foto-foto pertemuan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dengan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Momen-momen dari peristiwa bersejarah pada 25 Juni 2020 tersebut, menjelang Pilkada serentak 9 Desember 2020, mengemuka kembali seiring dengan munculnya isu kemungkinan AH berkoalisi dengan AHY menjelang Pilpres 2024. Pada Pilkada 2020, di sejumlah daerah, Golkar berkolaborasi dengan Partai Demokrat.
Menuju Pilpres 2024, AH dan AHY sudah lama sama-sama melakukan safari politik. AH sudah menemui para pimpinan partai politik sesama pendukung pemerintah. Prabowo Subianto (Gerindra) ditemui pertama kali, kemudian Muhaimin Iskandar (PKB), dan terakhir Surya Paloh (Nasdem). Demikian juga dengan AHY. Putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini terakhir bersilaturahmi ke Surya Paloh di Nasdem Tower, tak berselang lama setelah kunjungan AH ke sana.
AH dan AHY sama-sama menjadi calon presiden dari partainya masing-masing. Nama keduanya sudah lama diperbincangkan, dan dari hari ke hari terus mencuat. Dari aspek popularitas dan elektabilitas, tingkat keterpilihan, nama keduanya juga kejar mengejar. Masyarakat sudah semakin memahami kinerja keduanya. Ini bisa dikesankan dari hasil survei. Bahkan, beberapa lembaga survei menyimpulkan bahwa jika Pilpres dilaksanakan sekarang, bisa jadi AH dan AHY bisa bersaing ketat.
Masyarakat bisa bersikap rasional terhadap isu-isu politik terkait capres, termasuk nama-nama kandidat. Masyarakat bahkan semakin cerdas untuk memahami bahwa dalam politik tidak ada cinta buta atau benci buta. Politik dengan sendirinya mengikuti kondisi.
Itu juga yang terjadi saat menyikapi isu persandingan AH dengan AHY. Kemungkinan berduetnya AH dengan AHY termasuk menjadi isu panas yang meningkahi persaingan ketat keduanya dalam memperebutkan tingkat kepopuleran dan keberpihakan dari masyarakat. Siapa yang lebih layak menjadi presiden, dan siapa yang wapres. Dari aspek perolehan kursi di parlemen, perolehan suara Golkar di atas Demokrat. Golkar hanya butuh satu suara saja dalam melambungkan nama AH sebagai capres untuk kontestasi 2024 tersebut.
Dari perspektif pertemuan 2020, menjelang Pillada serentak 2020, Golkar dan Demokrat memiliki visi yang sama. Kedua partai sudah membuka diri untuk berkoalisi di Pilpres 2024. Golkar maupun Demokrat memiliki garis-garis ideologi dan juga visi jangka panjang yang serupa. Kolaborasi bisa dimulai dari situ.
AHY bisa menjadi calon pendamping yang ideal bagi AH, yang saat ini masih terus berjuang meningkatkan elektabilitasnya. AH sudah pasti menjadi capres yang tak tergantikan dari Golkar, meski dalam sejarahnya ada kecenderungan penggantian calon yang layak diusung di Golkar. Ini karena soliditas pemilih Golkar lebih kepada partai, bukan tokoh internalnya. Kendati demikian, dalam hal pencapres AH, pendukung fanatik Golkar sangat solid, terus menunjukkan komitmennya untuk tidak ke lain hati.
Dari adanya dukungan yang luar biasa itu maka AH diyakini masih bisa meningkatkan elektabilitasnya hingga rentang waktu sampai 2024. Apalagi, sudah terbukti bahwa mesin Partai Golkar sangat bagus dalam kompetisi pemilu dengan logistik yang kuat. Pendamping yang bisa mengangkat elektabilitas atau tingkat keterpilihannya adalah AHY.
AHY termasuk yang sudah lama disebut-sebut sebagai salah satu calon wacapres yang patut diperhitungkan untuk AH. Salah satu faktor yang bisa memuluskan langkah AH merebut kursi RI 1 pada kontestasi 2024 adalah dengan menggaet pendamping yang bisa bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Jika hanya mengekor, apalagi terlalu memuji, bahkan ikutan bersuara untuk menunda pemilu atau mendukung perpanjangan masa jabatan presiden, itu malah bertendensi mengurangi simpati publik.
Â
Masalahnya, tidak sedikit pengamat yang menyatakan bahwa duet AH dengan AHY tidak masuk akal. Halu. Mereka yang bersikap seperti ini mengkaitkannya dengan elektablitas AHY yang juga menjadi ulasan berbagai lembaga survei. Tingkat popularitas dan elektabilitas AHY secara keseluruhan masih lebih baik dari AH. Hal itu yang membuat persandingan AH dengan AHY dinyatakan tidak masuk akal, bahkan halusinasi.
Walau demikian, masih lebib banyak yang berpendapat bahwa tidak tepat untuk membandingkan kondisi AHY sekarang dengan ketika SBY berduet dengan wakil Golkar, Jusuf Kalla, pada Pilpres 2004. Kolaborasi SBY dengan JK pada 2004 tidak bisa dikomparasi dengan AHY dengan AH untuk 2024. Pasalnya, elektabilitas AHY sekarang ini jauh berbeda dengan elektabilitas SBY jelang 2004, yang melambung tinggi dan jauh di atas kandidat lainnya.
Kondisi yang dialami SBY menjelang 20004 berbeda dengan situasi menuju 2024, di mana popularitas dan elektabilitas AHY sendiri secara umum bisa dibilang tanggung. Oleh karena itu, peluang menang AHY sangat berat. AHY lebih berpotensi mendapat respon yang baik dari masyarakat jika ia dipersandingkan dengan calon dari partai yang memiliki basis pendukung yang kuat dan fanatik. Dalam konteks ini memasangkannya dengan AH sebagai sebuah pilihan yang tepat, masuk akal, jauh dari kesan halu.