Menjelang Musyawarah Nasional PB PBSI tahun 2020 yang akan digelar akhir Oktober atau November ini, di Jakarta, muncul nama Agung Firman Sampurna. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI ini dijagokan untuk menggantikan Jenderal (purn) Wiranto, Ketum PBSI saat ini.
Terlepas dari pengalamannya yang minim tentang dunia dan organisasi bulutangkis nasional, munculnya Firman Agung sebenarnya tidak etis. Pasalnya sebagai ketua BPK, dia memiliki tugas utama untuk melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK.
Dalam UU No 15 tahun 2006 tentang BPK tahun Pasal 6 Â (1) berbunyi "BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara."Â (https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/40184/uu-no-15-tahun-2006)
Sementara PBSI sendiri adalah sebuah organisasi olahraga yang selama ini menerima dana bantuan pelatnas dari Kemenpora sebesar Rp18,6 miliar untuk persiapan Olimpiade 2020. (https://www.beritasatu.com/jayanty-nada-shofa/nasional/599851/dana-pelatnas-olimpiade-cair-tiga-cabor-terima-total-rp-318-m). Meski konon dana itu masih dirasakan kurang oleh organisasi tepok bulu angsa ini, namun yang namanya uang negara tentu harus dipertanggungjawabkan.
Konflik Kepentingan Agung
Kondisi tersebut tentu saja akan membuat Agung memiliki konflik kepentingan jika dirinya menjadi Ketua Umum PBSI ke depan. Â Masa sih, nantinya Agung sebagai Ketua BPK yang harus memeriksa laporan keuangan dana negara menerima laporan dari Agung sebagai Ketua Umum PBSI.
Tentu dari sisi tersebut, tidak etis bagi seorang Agung merangkap jabatan dari organisasi yang juga menggunakan uang negara.  Terlebih dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2018 Tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan, pasal 5 (2)  menyebutkan  (2)     Setiap Anggota BPK dilarang:
o.     terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan objek Pemeriksaan, seperti memberikan  jasa  asistensi,  jasa  konsultasi,  jasa pengembangan sistem, jasa penyusunan dan/atau review laporan keuangan objek Pemeriksaan; dan
p.     memerintahkan dan/atau mempengaruhi dan/atau mengubah temuan Pemeriksaan, opini, kesimpulan, dan rekomendasi Hasil Pemeriksaan yang tidak sesuai  dengan  fakta  dan/atau   bukti-bukti yang diperoleh pada saat Pemeriksaan, sehingga mengakibatkan temuan Pemeriksaan, opini, kesimpulan, dan rekomendasi Hasil Pemeriksaan menjadi tidak objektif. (https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/101834/peraturan-bpk-no-4-tahun-2018)
Temuan BPK dalam Anggaran Pelatnas
Sebagai seorang Ketua BPK, Â Agung tentu harus bisa menempatkan dirinya sebagai seorang yang tidak membantu penyusunan laporan keuangan objek pemeriksaan. Namun bagaimana bisa, karena sebagai Ketua Umum PBSI, ia harus menandatangani laporan keuangan organisasi bulutangkis itu.
Salah satu contoh sudah terjadi saat Menpora Zainudin Amali harus menjelaskan mengenai hasil pemeriksaan BPK Semester 1 tahun 2019 nomor Laporan 335/HL/XVI/12/2019 tanggal 31 Desember 2019.
BPK memberikan status wajar dengan pengecualian (WDP) kepada Kemenpora karena adanya temuan dalam dana pelatnas. BPK juga memberikan 18 rekomendasi untuk segera ditindaklanjuti tentang dana pelatnas itu.
"Kami sampai sekarang belum bisa membantu KONI, salah satu rekomendasi BPK, kami tidak bisa membantu. Harus diselesaikan 16 rekomendasi yang belum selesai," kata Menpora, saat rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR RI, April 2020.
Untuk menindaklanjuti temuan BPK, Zainudin bahkan harus mengundang cabang olahraga yang bermasalah untuk bisa dipandu menyelesaikan laporan keuangan dana Pelatnas 2018 dan 2019.
"Itulah sebabnya mulai periode sekarang, pemberian hibah kepada cabor kami lakukan terbuka. Kami maksudkan supaya kita bisa menjaga akuntabilitas," ujar dia.  Apalagi  telah ditemukan ada penyimpangan dalam penggunaannya oleh BPK. "Itu pun oleh BPK tidak dibenarkan," kata Menpora seperti dikutip oleh Tempo.Co (https://sport.tempo.co/read/1331621/menpora-dan-dpr-bahas-temuan-bpk-soal-dana-pelatnas).
Demi menghindari silang sengkarut yang tidak perlu dan justru berbahaya bagi posisi dan tugasnya sebagai Ketua BPK RI, Agung harus menolak pencalonan dirinya sebagai ketua umum di Munas PBSI nanti.
Pasti tidak elok, apabila anggota BPK apalagi sebagai Ketua BPK, terlibat dalam sebuah organisasi yang menggunakan dana dari negara yang harus dipertanggungjawabkan.  Konflik kepentingan, sebagai Ketua BPK dan Ketua Umum PBSI, pasti bisa terjadi. Lalu apa kata dunia, jika Agung membuat laporan untuk  Agung?
Lebih baik, Agung memberikan jalan kepada figur lain yang tidak memiliki konflik kepentingan untuk menduduki kursi PBSI 1. Apalagi dia juga tak memiliki pengalaman yang cukup untuk mengambil tugas dan tanggung jawab sebagai orang nomor satu di organisasi bulutangkis Tanah Air.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H