JAKARTA-Sudah hampir sepekan ini Bambang Soesatyo menduduki jabatan barunya sebagai ketua Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR), terhitung sejak Kamis (3/10/2019) lalu. Tugas memimpin sebanyak 711 anggota MPR, yang merupakan gabungan antara 575 anggota DPR dan 136 anggota DPD, pastinya menjadi tantangan baru bagi mantan ketua DPR tersebut. Tugasnya kini bahkan lebih berat, mengingat adanya semacam tugas yang diamanahkan Partai Golkar kepadanya.
Apa itu? Bamsoet harus 'mengamankan' rencana amandemen dari sebagian Pasal 2 dan 3 Undang Undang Dasar (UUD) 1945 tidak kebablasan. Jika kita mengikuti perkembangan dinamika politik nasional pastilah kita mengetahui banyak pemberitaan di media massa mengenai pro kontra adanya wacana amandemen UUD 1945 dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang akan kembali di hidupkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara.
Ada kekhawatiran bahwa dengan menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan, maka Indonesia kembali ke masa lalu. Tidak berlebihan jika wacana tersebut mendapat tentangan dari Presiden Joko Widodo. Dari partai politik, Golkar yang paling tidak sependapat. Kondisi politik tanah air secara umum stabil, dinamis dengan perkembangan suasana.
Para politisi Partai Golkar termasuk yang paling vokal menyuarakan tidak perlunya dihidupkan kembali GBHN melalui MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Di tengah eskalasi dari tingginya pro-kontra mengenai rencana dihidupkannya kembali GBHN melalui ketetapan MPR tersebut, Bamsoet menjadi ketua MPR.
Wajar jika Partai Golkar menaruh harapan besar pada Bamsoet dalam mengendalikan roda pergerakan MPR. Harapan besar yang pastinya juga diberikan oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto kepadanya. Bamsoet mestinya tidak akan lupa pada Airlangga Hartarto yang berperan besar dalam mendorongnya maju ke perebutan kursi ketua MPR. Tidak mengherankan jika pada salah satu momen pelantikannya ia langsung mengucapkan terima kasih kepada Airlangga Hartarto.
Peran Airlangga Hartarto dalam membantu pencapaian karir politik Bamsoet tidak hanya dalam mendorongnya sebagai ketua MPR. Adalah Airlangga Hartarto pula yang lebih dari setahun silam mengumumkan penunjukkan Bamsoet menjadi Ketua DPR hingga 2019 sebagai pengganti Setya Novanto.
Bamsoet bukan politisi yang tidak tahu etika berpolitik dan balas budi. Ia kini fokus menjalani pengabdiannya sebagai ketua MPR. Ia sadar telah berjanji untuk mendinginkan suasana dan menyampingkan kontestasi untuk kepentingan konsolidasi di tengah memanasnya tensi politik, menuju kontestasi pemilihan ketua umum Partai Golkar pada Desember mendatang. Ia tentunya belum lupa pernah mengatakan bahwa antara dirinya dan Airlangga Hartarto sekarang tidak ada lagi persaingan. Bamsoet berulangkali menegaskan, mereka sudah bersatu.
Munas Partai Golkar yang sudah diagendakan pada Desember 2019 mestinya akan berlangsung lancar-lancar saja seandainya Bamsoet menepati janjinya untuk tidak maju memperebutkan kursi ketua umum yang diduduki Airlangga Hartarto itu.
Dalam konteks ini Bamsoet juga harus mampu mendinginkan hati dari para pendukungnya. Sebagian dari pendukungnya mungkin saja ada yang belum legowo untuk mengikuti langkah-langkah kompromistis yang ditempuhnnya. Sebab ada yang menilai bahwa pernyataan Bamsoet terkait tidak adanya lagi persaingan dengan Airlangga Hartarto, hanya sebagai langkah untuk menurunkan tensi politik yang memanas jelang pelantikan Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober mendatang.
Mungkinkah Bamsoet akan goyah? Politik memang selalu dinamis, tetapi memperkirakan pemikiran Bamsoet akan goyah sepertinya sama saja dengan mengatakan bahwa Bamsoet tidak bisa dipegang.
Publik tentunya tidak menginginkan terjadinya instabilitas suasana menjelang Munas Golkar nanti. Instabilitas yang disebabkan adanya ketidakpastian dari janji-janji yang diucapkan Bamsoet. Â