DARI KURSI SENAYAN-Di tengah hiruk-pikuk suasana yang dipengaruhi oleh eforia aksi unjuk-rasa dari mahasiswa dan kalangan pelajar, yang belakangan menimbulkan korban jiwa dengan tewasnya dua mahasiswa dari demo mahasiswa di Kendari, Sulawesi Tenggara, Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) periode 2014-2019 menggelar sidang terakhirnya pada Jumat (27/9/2019).
Peristiwa politik di Senayan ini tersaji hanya selang beberapa hari pasca 'penyerbuan' kompleks parlemen oleh kalangan mahasiswa yang kemudian disusul oleh pelajar STM dan pramuka, sesuatu yang tak pernah terjadi dari gunjang-ganjing perpolitikan di tanah air.
Aksi unjuk rasa di Jakarta memang sudah terhenti, tetapi di sejumlah daerah masih terjadi, diwarnai tewasnya dua mahasiswa dari demo di Kendari, Sultra, itu.
Mungkin karena masih dipengaruhi kekhawatiran akan terjadinya aksi unjuk rasa susulan dari mahasiswa, pelajar dan bahkan demo buruh seperti ramai diisukan, disadari atau tidak atmosfir menjelang sidang terakhir MPR 2014-2019 melalui Rapat Paripurna tersebut terkesan menegangkan.
Jalanan seputar kompleks perlemen disterilkan. Akses jalan menuju "rumah besar' dari para wakil rakyat yang terhormat ditutup.
Pengamanan ketat dilakukan, termasuk tentunya untuk mengantisipasi kemungkinan adanya 'serbuan' susulan melalui berbagai aksi yang tidak dikehendaki. Walau demikian, sidang akbar MPR masa bakti 2014-2019 yang dihelat di Ruang Rapat Paripurna I Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI ini hanya diikuti 285 orang dari total 692 anggota MPR, meski tetap kuorum.
Merujuk dari relatif sedikitnya jumlah anggota MPR yang mengikuti Rapat Paripurna terakhir ini, sejumlah tanda tanya bisa diketengahkan.
Mengenyampingkan adanya aksi-aksi unjuk rasa dadakan dan mengejutkan dari mahasiswa dan pelajar, Rapat Paripurna pamungkas MPR masa bakti 2014-2019 ini bisa dikesankan tidak begitu menarik perhatian dari mayoritas anggota MPR. Mengapa bisa demikian?
Memang tidak ada keputusan-keputusan penting atau strategis dari Rapat Paripurna MPR 2014-2019 ini, karena secara subtansi tidak dimungkinkan. Rapat Paripurna terakhir ini utamanya mengesahkan perubahan tata tertib (tatib) tentang pimpinan MPR, yang semula berjumlah 8 menjadi 10 orang. Satu orang Ketua dan sembilan wakil ketua.
Namun terkait pengesahan tersebut, Fraksi Partai Golkar, Demokrat, dan PKS memberi catatan agar selain dituangkan dalam Ketetapan MPR juga terbuka kemungkinan untuk diputuskan melalui Undang-undang.
Di sisi lain, dengan tatib yang baru, MPR masa jabatan 2019-2024 dapat langsung menggunakannya sebagai pedoman dalam pelaksanaan wewenang dan tugasnya. Disamping itu, bakal calon pimpinan MPR diusulkan oleh fraksi dan DPD melalui sidang paripurna.