Mohon tunggu...
Fajar Perada
Fajar Perada Mohon Tunggu... Jurnalis - seorang jurnalis independen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pernah bekerja di perusahaan surat kabar di Semarang, Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Nature

Sangat Serius, Penanganan Kebakaran Gambut Era Jokowi

23 Januari 2019   11:54 Diperbarui: 23 Januari 2019   11:57 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembukaan hutan lahan gambut, meningkatkan kerentanan terjadinya kebakaran. Material penyusun gambut berupa seresah daun dan kayu yang sebelumnya selalu basah. Namun pembukaan lahan gambut yang diikuti pembuatan kanal-kanal air lalu mengeringkan material gambut. Pada musim kering, hanya cukup dengan sebatang puntung rokok menyala, lalu dilempar ke lahan gambut kering sambil naik motor, maka kebakaran lahan gambut akan tercipta.

Akibat langsung dari kebakaran ini, masyarakat atau penduduk di sekitar lahan gambut, sangat dirugikan. Hal ini pernah dialami oleh seorang korban bernama Pak Sus yang tinggal di daerah yang dekat dengan lahan gambut. Ia sempat menceritakan kisah pilunya akibat kebakaran itu.

Sudah lebih dari sebulan Pak Sus tidak melihat matahari dengan jelas di sekitar rumahnya di Sumatera Selatan. Sinarnya hanya samar-samar terlihat, itupun hanya sesekali. Padahal siang hari itu seharusnya terik. Namun ini bukan karena matanya yang renta atau memiliki masalah dengan penglihatan.

Nafasnya pun tak lega menghirup udara yang masuk ke hidungnya. Bahkan sesekali saat udara memasuki tenggorokannya, batuk mendesak keluar. Dadanya terasa panas. Bukan karena ia punya penyakit pernafasan atau paru-paru. Bukan pula karena ia tinggal di kota besar dengan polusi udara yang pekat. Sementara apabila masker di depan wajahnya dilepas, hidungnya harus sering dibersihkan. Maklum banyak abu terbawa angin masuk ke lobang hidungnya.

Pertengahan tahun 2015, asap telah menutupi langit sekitar desa Pak Sus. Begitu pula desa-desa tetangganya, hingga ke kecamatan di sekitarnya. Kejadian ini selalu berulang setiap tahun akibat kebakaran hutan dan lahan, terlebih pada area gambut. Asap pekat menutupi lapisan udara di atas sehingga cahaya matahari selama berhari-hari tak mampu menembus ke permukaan tanah. Meskipun saat itu musim kemarau yang biasanya sangat terik.

Kebakaran gambut memang menciptakan kepulan asap sangat pekat. Warnanya putih, sesekali kecoklatan bila muncul api dari bawah lapisan gambut yang mengering. Ditambah kencangnya hembusan angin, penyebarannya sangat cepat, lalu menjadi sangat sulit dikendalikan. Kalaupun api sudah tidak menyala besar, bara yang tercipta di bawah permukaan menimbulkan kepulan asap sangat pekat. Asap itu melebihi kepekatan asap kebakaran di permukaan tanah.

Ini layaknya membakar tumpukan sampah di halaman rumah, lalu menutup bagian atasnya dengan tumpukan sampah baru. Selanjutnya akan muncul asap sangat pekat. Kira-kira seperti itu juga yang terjadi pada lahan gambut. Lebih parah lagi, banyak gambut dari kedalaman hanya beberapa centimeter, hingga belasan meter. Maka dapat dibayangkan sulitnya memadamkan bara api di bawah, yang terus menerus mengeluarkan kepulaan asap pekat.

Tak tahan dengan tebalnya asap yang mengganggunya dan keluarga, Pak Sus memutuskan ikut membantu pemadaman kebakaran lahan gambut sekitar rumahnya. Ia tahu, bencana asap kali ini banyak dilakukan oleh mereka yang hanya ingin cara mudah dan murah mendapatkan lahan garapan baru. Begitu pula yang ingin lahan lama yang diolah beralih dengan komoditas baru. Ia tahu bahwa si pembakar lahan gambut akan pergi begitu saja setelah tahu api tak lagi bisa dikendalikan. Apalagi  setelah asap begitu pekatnya.

Kerugiaan Besar 

Kemalangan yang menimpa Pak Sus dan keluarganya, masih belum seberapa. Kerugian akibat kebakaran lahan gambut bisa mencapai triliunan rupiah. Misalnya pada kebakaran hutan, lahan, dan gambut terjadi sangat hebat di tahun 2015. Kebakaran kala itu, mencakup wilayah hampir seluruh Indonesia. Catatan BNPB (badan Nasional Penanggulangan Bencana), pada jangka waktu 1 Juli -- 30 Oktober 2015, tercatat luas kebakaran mencapai 2.089.911 ha, yang terdiri dari 618.574 kawasan gambut dan 1.471.337 ha kawasan non gambut. Luas tersebut setara dengan 1.935.103 x luas lapangan sepakbola, atau 32 x luas DKI Jakarta, atau 4 x luas Pulau Bali.

Bank Dunia mencatat total kerugian yang dialami Indonesia dari bencana kabut asap itu mencapai Rp 221 triliun. Beberapa daerah bahkan mengalami perlambatan ekonomi pada triwulan III tahun 2015. Daerah tersebut antara lain; Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Papua. Tak hanya itu, Singapura dan Malaysia khususnya, mengirim protes khusus ke Pemerintah Indonesia.

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia tak lepas dari fenomena alam yang terjadi, sebagai bagian dari perubahan iklim global, yaitu kekeringan yang semakin meluas dari tahun ke tahun.

https://brg.go.id
https://brg.go.id
Catatan National Oceanic and Atmosphere Administration (NOAA) tahun 2015, muncul fenomena el nino (kekeringan) cukup luas. Fenomena ini kemudian dimanfaatkan banyak pihak untuk memperoleh lahan garapan baru dengan membuka kawasan hutan, termasuk tipe lahan gambut. Cara paling mudah dan murah mengolahnya adalah membakarnya.

Praktek ini sangat lazim dilakukan masyarakat Indonesia secara turun temurun, sebagai bagian dari kearifan lokal. Oleh karena itu, membakar lahan pertanian/perkebunan diakomodir dalam Pasal 69 UU No 32 Tahun 2009, untuk luas maksimal dua hektare dengan membuat sekat bakar, dan tidak diperkenankan meluas. Hanya kemudian, implementasinya mengundang pro dan kontra di banyak kalangan.

Praktek yang terjadi kemudian adalah membakar lahan, tanpa membuat sekat bakar, kemudian ditinggal begitu saja. Akibatnya sangat mudah ditebak, kebakaran merembet ke areal lain, hingga mencakup kawasan sangat luas. Bencana asap terjadi merata semua wilayah, khususnya di Sumatera dan Kalimantan.

Tak tanggung-tanggung, Polisi dan Tentara dikerahkan. Bantuan pemadaman melalui pesawat juga dibantu Pemerintah Rusia dan beberapa negara lain. Biaya yang harus dikeluarkan untuk menanggulanginya mencapai puluhan milyar. Dan pasca kebakaran, bila ditambahkan dengan biaya rehabilitasi hutan, lahan, dan ekosistem gambut, nilainya menjadi berlipat-lipat.

Atas kejadian tersebut, yang tidak serius diselesaikan oleh Pemerintah sebelumnya, Presiden Jokowi pada 6 Januari 2016 mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG). BRG adalah lembaga nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Secara khusus, BRG diharapkan bekerja sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh untuk mempercepat pemulihan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut yang rusak terutama akibat kebakaran dan pengeringan (https://brg.go.id/).

Dari tujuannya, BRG bekerja cepat menata kawasan (ekosistem) gambut, baik pada kawasan hutan, maupun kawasan non hutan. Koordinasi lintas Kementerian/Badan, instansi Pemerintah lain dan Pemda dilakukan, perusahaan/industri yang menggunakan kawasan gambut dipertemukan. Termasuk kunjungan lapangan untuk melihat langsung praktek pengelolaannya. Demikian pula pertemuan dengan masyarakat yang memanfaatkan lahan gambut sebagai lahan usahanya, atau secara turun temurun bergantung pada keberadaan gambut.

Dari berbagai pertemuan, koordinasi, kunjungan lapangan, penelusuran laporan penelitian, dan banyak upaya lainnya, BRG menetapkan rencana kerja dengan visi "Terwujudnya kondisi ekosistem gambut yang mampu mendukung pembangunan berkelanjutan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong".

Pembenahan dilakukan melalui serangkaian revisi aturan perundang-undangan terkait gambut, pemetaan detil kawasan gambut, pembuatan beragam modul pengelolaan gambut, memfasilitasi pengelolaan gambut berkelanjutan di tingkat masyarakat, dan banyak lainnya.

Hasilnya? Laporan dari Sistem Monitoring Kebakaran Hutan dan lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas kebakaran pada tahun 2016 hanya terjadi seluas 14.604,84 ha, pada tahun 2017 hanya terjadi seluas 11.127,49 ha dan tahun 2018 hanya terjadi pada kawasan seluas 4.666,39 ha.

Sumber bacaan:

disasterchannel.co

worldbank.org

katadata.co.id

tirto.id

.dw.com

tempo.co

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun