Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia tak lepas dari fenomena alam yang terjadi, sebagai bagian dari perubahan iklim global, yaitu kekeringan yang semakin meluas dari tahun ke tahun.
Praktek ini sangat lazim dilakukan masyarakat Indonesia secara turun temurun, sebagai bagian dari kearifan lokal. Oleh karena itu, membakar lahan pertanian/perkebunan diakomodir dalam Pasal 69 UU No 32 Tahun 2009, untuk luas maksimal dua hektare dengan membuat sekat bakar, dan tidak diperkenankan meluas. Hanya kemudian, implementasinya mengundang pro dan kontra di banyak kalangan.
Praktek yang terjadi kemudian adalah membakar lahan, tanpa membuat sekat bakar, kemudian ditinggal begitu saja. Akibatnya sangat mudah ditebak, kebakaran merembet ke areal lain, hingga mencakup kawasan sangat luas. Bencana asap terjadi merata semua wilayah, khususnya di Sumatera dan Kalimantan.
Tak tanggung-tanggung, Polisi dan Tentara dikerahkan. Bantuan pemadaman melalui pesawat juga dibantu Pemerintah Rusia dan beberapa negara lain. Biaya yang harus dikeluarkan untuk menanggulanginya mencapai puluhan milyar. Dan pasca kebakaran, bila ditambahkan dengan biaya rehabilitasi hutan, lahan, dan ekosistem gambut, nilainya menjadi berlipat-lipat.
Atas kejadian tersebut, yang tidak serius diselesaikan oleh Pemerintah sebelumnya, Presiden Jokowi pada 6 Januari 2016 mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG). BRG adalah lembaga nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Secara khusus, BRG diharapkan bekerja sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh untuk mempercepat pemulihan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut yang rusak terutama akibat kebakaran dan pengeringan (https://brg.go.id/).
Dari tujuannya, BRG bekerja cepat menata kawasan (ekosistem) gambut, baik pada kawasan hutan, maupun kawasan non hutan. Koordinasi lintas Kementerian/Badan, instansi Pemerintah lain dan Pemda dilakukan, perusahaan/industri yang menggunakan kawasan gambut dipertemukan. Termasuk kunjungan lapangan untuk melihat langsung praktek pengelolaannya. Demikian pula pertemuan dengan masyarakat yang memanfaatkan lahan gambut sebagai lahan usahanya, atau secara turun temurun bergantung pada keberadaan gambut.
Dari berbagai pertemuan, koordinasi, kunjungan lapangan, penelusuran laporan penelitian, dan banyak upaya lainnya, BRG menetapkan rencana kerja dengan visi "Terwujudnya kondisi ekosistem gambut yang mampu mendukung pembangunan berkelanjutan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong".
Pembenahan dilakukan melalui serangkaian revisi aturan perundang-undangan terkait gambut, pemetaan detil kawasan gambut, pembuatan beragam modul pengelolaan gambut, memfasilitasi pengelolaan gambut berkelanjutan di tingkat masyarakat, dan banyak lainnya.
Hasilnya? Laporan dari Sistem Monitoring Kebakaran Hutan dan lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas kebakaran pada tahun 2016 hanya terjadi seluas 14.604,84 ha, pada tahun 2017 hanya terjadi seluas 11.127,49 ha dan tahun 2018 hanya terjadi pada kawasan seluas 4.666,39 ha.
Sumber bacaan: