Mohon tunggu...
Fajar Perada
Fajar Perada Mohon Tunggu... Jurnalis - seorang jurnalis independen
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pernah bekerja di perusahaan surat kabar di Semarang, Jawa Tengah

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Fakta di Balik Penurunan Harga BBM Bersubsidi/Penugasan

28 Januari 2016   10:59 Diperbarui: 28 Januari 2016   14:12 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Faisal Basri tawarkan BBM 1 liter Rp 3500"][/caption]

 

Langkah pemerintah RI menurunkan harga BBM Bersubsidi/penugasan pada awal Januari 2016, masih ditanggapi sinis oleh beberapa pengamat di Tanah Air. Mereka mendesak agar penurunan harga terus dilakukan atau disesuaikan dengan kondisi harga minyak dunia.

Pengamat ekonomi Faisal Basri mempertanyakan, kebijakan penetapan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah yang dijalankan PT Pertamina (Persero). Pasalnya, harga BBM jenis Premium di Indonesia lebih mahal jika dibandingkan harga BBM RON 95 (setara Pertamax Plus) di Malaysia.

Premium adalah bensin dengan kadar research octane number (RON) 88. Tetapi, harga jual Premium di Indonesia sebesar Rp7.050 per liter, sedangkan BBM RON 95 di Malaysia hanya Rp5.916 per liter. Faisal Basri sah-sah mengemukakan pendapatnya. Namun perlu diketahui ada beberapa hal yang membuat penetapan harga BBM bersubsidi/Penugasan seperti solar dan premium, seperti yang dilakukan oleh pemerintah saat ini.

Penjelasan Menteri ESDM Sudirman said, dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR pertengahan Januari, seharusnya bisa menjelaskan kenapa harga premium di Indonesia ditentukan pada angka Rp7050 dan solar pada 5650.

Sudirman Said dalam kesempatan tersebut juga menjelaskan alasan mengapa pemerintah tak mau buru-buru dalam menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM), meski harga minyak dunia merosot, bahkan hingga di bawah US$ 30/barel.

Menurut Sudirman Said, pemerintah sudah menetapkan jika harga BBM ditinjau 3 bulan sekali. Review terakhir baru saja dilakukan pada awal Januari ini. Maka perubahan harga BBM paling cepat ditetapkan pada April 2015.

Faktor kedua, harga BBM ditetapkan tidak semata-mata berdasarkan harga minyak dunia. Ada faktor-faktor pembentuk harga lain seperti kurs rupiah, mata rantai pasokan, pajak BBM dan lain-lain. Hal inilah yang membuat perbedaan harga di Malaysia dan Indonesia atau di negara lainnya.

Pendapat ini didukung oleh pengamat kebijakan energi nasional, Sofyano Zakaria. Ia menjelaskan kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau, maka distribusi dan penyaluran BBM di Indonesia sangat rumit dan tidak segampang yang terjadi di Malaysia.

Kondisi ini yang menyebabkan harga BBM di Indonesia lebih mahal dari negara tetangga, Malaysia. Apalagi harga BBM di Indonesia masih dibebani dengan PBBKB (5 persen) dan Iuran BPH Migas (0,3 persen). Selain itu, nilai Rupiah yang lemah dibanding ringgit Malaysia juga menyebabkan harga minyak di Indonesia akan tetap terlihat lebih mahal dari Malaysia.

Sofyano menambahkan, terlebih lagi ongkos angkut BBM di Malaysia pasti jauh lebih murah dari ongkos angkut di wilayah Indonesia. Selisih ongkos angkut di Malaysia dengan Indonesia ada pada nilai rata-rata sekitar Rp1.500 per liter.

Menurut Sofyano jika di Malaysia jual BBM dengan harga Rp5.700 per liter maka di Indonesia harga itu bisa jadi sekitar Rp7.000 harga di Indonesia termasuk beban PBBKB dan Iuran BPH Migas.

Yang lebih penting lagi adalah faktor ketiga. Sudirman Said khawatir penurunan harga BBM akan menjadi bumerang di kemudian hari. Ingat, penurunan harga BBM tak pernah diikuti oleh penurunan harga bahan pokok. Sebaliknya, harga bahan pokok selalu naik ketika harga BBM naik.

Selain itu pengusaha, terutama kecil dan menengah. selalu mengeluhkan perubahan harga BBM yang terlalu cepat, misalnya sebulan sekali terjadi perubahan. Hal ini mengakibatkan hitungan mereka terhadap ongkos produksi atau transportasi yang selalu berubah-ubah.

Bayangkan, pemerintah menurunkan harga BBM akhir Januari ini, lalu menetapkan kenaikan di kemudian hari, misalnya enam bulan ke depan, saat harga minyak dunia kembali naik, maka ujung-ujungnya harga bahan pokok akan naik berkali-kali. Masyarakat dengan daya beli rendah akan sangat tertekan.
Jika dilihat dalam dua kali penurunan Solar yang dilakukan pemerintah sejak Oktober hingga Januari ini, yang penurunannya mencapai sekitar 15%, tarif moda angkutan yang menggunakan solar, tak mengoreksi tarif transportasi mereka.

Pemerintah tentunya memiliki dilema, karena jika harga BBM bersubsidi/Penugasan diturunkan terlalu besar, maka masyarakat kecil akan menjadi korban saat harga minyak dunia kembali normal. Pasalnya saat harga turun, harga bahan pokok tidak turun semua. Sementara jika harga BBM naik, maka bisa dipastikan harga kebutuhan pokok akan selalu naik.

Pertamina Nombokin BBM Bersubsidi 

Selain itu, perlu diketahui masyarakat bahwa BBM Bersubsidi/penugasan yang disubsidi hanya solar Rp. 1000,-/liter (flat) sedangkan premium sudah tidak disubsidi lagi oleh Pemerintah. Ingat subsidi tersebut untuk masyarakat, bukan untuk Pertamina.

Hitung-hitungannya, ketika harga BBM di dunia naik sekitar awal tahun 2015 –sampai dengan bulan Juni 2015, harga BBM bersubsidi/Penugasan di Indonesia, tidak dinaikkan.  Saat itu masyarakat tidak mau harga naik dan pemerintah memutuskan untuk tidak dinaikan juga. Pada masa tersebut, Pertamina telah menomboki (mensubsidi) masyarakat, terutama masyarakat yang memiliki kendaraan bermotor. Subsidi saat itu sekitar Rp 15 Triliun. Ini jumlah yang harus dikeluarkan  Pertamina untuk nombok dalam hal memuaskan keinginan masyarakat agar harga Premium dan Solar tidak naik.

Memang kala itu banyak pula yang berkomentar Pertamina selalu mengakui rugi. Mereka tidak sadar atau persisnya tidak mengetahui jika maksud Pertamina rugi di sini adalah, Pertamina rugi dalam menjual BBM untuk yang penugasan /bersubsidi. Pertamina harus nombok BBM Penugasan/bersubsidi.
Namun secara bisnis perusahaan, lewat konsolidasi manajemen yang rapi, termasuk dengan anak perusahaan, secara keseluruhan Pertamina tahun 2015 selalu meraih keuntungan sekitar 1,3-1,6 Miliar USD atau di atas 16 triliun Rupiah. 

Nah bisa dibayangkan kalau Pertamina 2015 tidak nombok dalam penjualan BBM bersubsidi/Penugasan dalam jumlah besar, maka Pertamina bisa lebih berbuat banyak untuk mengamankan energi bagi negeri ini.

Ingat Pertamina adalah perusahaan milik negara yang berarti juga milik rakyat. Jika Pertamina rugi, pastilah negara rugi, rakyat ikut rugi. Namun jika Pertamina untung, pastilah negara untung, rakyat ikut untung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun