Risau bukan untuk tanah tumpah darahku. Kempis lengkung tapi untuk kerut muka. Selanjutnya renta bukan bau badannya. Dewan karena di dalam istana negeriku. Raksi aroma wangi saling beradu. Terhenti masing berbeda rasa berbagai odoran. Mencicip pewangi kerap dipromosi. Basi keringat jadi wangi bunga gandapura.
Mendekati dan mencapai tiba waktunya. Semesta tercipta karena keinginan. Rencana saat inginku seakan tak bias. Perihal tak sanggup meraih nan jauh. Mencatat harapku agar kalian pahami ini. Hamba belum menginginkan kalian saat ini. Begitu kalian pasti tahu maka aku melihat. Renung longok menengok jangan nasib.
Sobatku lupakah aku akan segalanya. Ketika terjaga dalam sorotan terik mentari. Memaknai harfiah realitas kepudaran. Keredupan senja sisipkan senyap. Hening kemungkinan malam mulai mengalun. Mengusik guguran daun ditepi jalan. Sembiran batas bunyi gending berjengket. Takkan pernah kembali lagi jangan kalian sesali diriku.
(Pondok Petir, 01 Nopember 2019)
Puisi : Edy Priyatna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H