Puisi : Edy Priyatna
Prahara malam ini damai membilas jasad. Batang tubuh berpeluh wajah pasi terbaring. Kampai berbaris tanpa topi berbantalkan. Semangat pada kasur dan bantalnya. Alas daerah pengumpulan tonggak sejarah. Riwayat nan melahirkan darah kita ini. Cermin melihat luka tempat untuk sirna. Lenyap dalam resah saksi dari semua. Permasalahan arena pertarungan supermasi. Wibawa merebut kekuasaan sumber mata air.
Larutan kala ini aku berdiri dipematang. Batas sawah luasnya sudah mulai berkurang. Akan tetapi masih melihat indahnya gunung. Bukit hijau lukisan sempurna pencipta. Pembina sekarang terdiam seribu bahasa. Lumayan dengan wajah masih muram mengusap. Keringat air mata kiri dan kanan mengeja rute. Antara jarak dalam melukai hati mencincang. Membunuh kataku anggap merdeka dari hidup. Terbit dulu jauh sesudah perang berhenti.
Mengindahkan suara lantang dengan pekau. Samar udara malam ini terus menelusuri. Mencabik arang dalam bahasa misterius. Arung jalan darah memasuki tulang akhir. Selesai telaga semua tulang memuncratkan. Pancur sumsum alam satu saat damai. Salam tempat kita selalu berpijak dimana. Berdiri tonggak menegakkan bilakah kita. Hamba ingat tanah ini bila kita sedang sarit. Selama kesusahan diatas kebahagiaan.
(Pondok Petir, 28 September 2019)