Sepiring nasi goreng putih tak pernah bisa dilupa. Sebagai tanda kerelaannya, menghantar aku menyertai demo reformasi '98. Spesial karena buah semalaman merayu dan bernegosiasi agar Mak memberi izin. Begitulah Mak, meski bukan aktifis, tingkat dukungannya sangat terasa. Tak pernah menolak, rumah kami dijadikan tempat berkumpul untuk kebaikan, majelis ilmu anak-anaknya atau rapat- rapat untuk urusan umat. Tak heran , Mak banyak kenal dengan teman- teman anak-anaknya. Ini terbukti sekali saat kematiannya rumah tak berhenti dikunjungi dalam beberapa hari berkabung.
Mak orang baik, tukang rujak, tukang bubur dan pedagang- pedagang kecil yang berkeliling di perumahan memberi kesaksian. Beberapa waktu sebelum kematiannya, Mak meminta maaf pada mereka sambil memberi makanan ala kadarnya, kebiasaan Mak selama ini. Tetangga satu gang bertutur, dua hari sebelum Mak wafat, mereka disambangi Mak satu persatu sambil minta maaf dan berbagi pesmol ikan mas hasil olahan Mak sendiri.
Mak sosok yang kuat. Selama bersama, hampir tidak pernah aku melihat Mak sakit. Pun ketika kematian menjemput. Kabar yang kuterima selepas shalat isya Mak masih sempet menyiram tanaman kesukaannya. Baru di jam 24 .00 Wib Mak muntah- muntah, segera di bawa ke rumah sakit. Namun jam 03.30 WIB Malaikat maut menjemputnya, di bangsal UGD.
Aah, banyak kisah tentangmu Mak, tak cukup tinta mengisahkan perjuangan Mak, cukup kurasai, kuresapi dan kujadikan hikmah perjalanan hidup.
Semoga Mak bahagia, Allah membahagiakan, karena Mak orang baik. Anak Mak tak pernah mampu membalas kebaikan Mak, meski air mata darah tertumpah ruah. Selantun do'a, Menebus budi tak berbatas buat Mak🤲🏻
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H