Sejarah menjadi bukti perjuangan perempuan untuk memperoleh kesetaraan dan keadilan yang dapat memberikan  pengaruh terhadap keputusan dan kebijakan dalam pemerintahan. Perempuan telah lama menghadapi ketidaksetaraan dalam akses ke kekuasaan, baik di sektor publik maupun privat.Â
Sejarah memperlihatkan bagaimana struktur patriarkal mendominasi banyak masyarakat, membatasi partisipasi perempuan dalam politik, ekonomi, dan pengambilan keputusan. Contoh di masa lalu termasuk banyak negara yang tidak memberikan hak suara kepada perempuan hingga awal abad ke-20, menunjukkan bagaimana akses mereka terhadap kekuasaan formal sangat terbatas.
Perempuan seringkali tidak dianggap dan menjadi pemeran figuran dibalik layar dan selalu  terabaikan dalam narasi yang mendominasi tentang kekuasaan dan kepemimpinan. Budaya patriarki menjadi faktor penghambat yang memengaruhi emansipasi perempuan. Namun, di tengah struktur patriarkal yang kuat, peran perempuan dalam dinasti politik tidak dapat diabaikan. Mereka bukan hanya sekadar pendukung, tetapi sering kali berfungsi sebagai penggerak utama di balik keputusan penting, baik sebagai pewaris maupun sebagai pemimpin yang inovatif.Â
Pentingnya  representasi yang  seimbang adalah  untuk  memastikan  bahwa  pandangan,  kepentingan,  dan  pengalaman  perempuan diakui dan diwakili dalam proses pembuatan keputusan politik, serta untuk menciptakan masyarakat yang lebih  inklusif  dan  responsif  terhadap  kebutuhan  seluruh  warga  negara,  tanpa memandang  jenis  kelamin mereka.
saat ini, meskipun ada peningkatan partisipasi perempuan dalam politik di banyak negara, mereka tetap underrepresented dalam posisi kepemimpinan. Data menunjukan  bahwa jumlah perempuan di parlemen, sebagai kepala negara, atau posisi eksekutif lainnya masih jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki. Beberapa negara telah menerapkan kebijakan kuota gender untuk memperbaiki ketimpangan ini termasuk indonesia, dengan kuota representasi perempuan 30% dalam partai politik ditingkat pusat. Namun tantangan lain, seperti stereotip gender, diskriminasi, dan beban peran ganda sebagai ibu dan pekerja, masih membatasi partisipasi perempuan secara penuh dalam perannya diruang publik.
Stereotip tradisional tentang maskulinitas dan femininitas seringkali memengaruhi persepsi publik tentang siapa yang "layak" memegang kekuasaan. Laki-laki sering dikaitkan dengan kekuatan, ketegasan, dan kemampuan mengambil keputusan, sementara perempuan lebih sering diasosiasikan dengan kelembutan, kepedulian, dan emosi. Stereotip ini tidak hanya menempatkan perempuan dalam posisi yang kurang menguntungkan secara politik, tetapi juga sering kali membatasi mereka dalam karier lain di mana kekuasaan dan otoritas diperlukan, seperti dalam manajemen perusahaan atau militer.
Lalu, bagaimana pengaruh dinasti politik terhadap partisipasi perempuan dalam memperoleh kekuasaan ? Dinasti politik merupakan fenomena yang umum. Keluarga-keluarga tertentu memiliki pengaruh politik yang kuat dan sering kali menggunakan kekuasaan mereka untuk mempertahankan posisi strategis di dalam pemerintahan. Dinasti politik muncul dalam berbagai bentuk, dari pemimpin keluarga yang menjalankan kekuasaan langsung hingga anggota keluarga yang ditempatkan di posisi kunci. Dinasti politik ini sering terjadi di negara-negara yang sistem demokrasinya masih lemah atau di mana jaringan patronase dan kekuasaan lokal sangat menentukan.Dinasti politik dapat menjadi pedang bermata dua, dalam kaitannya dengan gender. Di satu sisi, dinasti politik bisa membuka peluang bagi perempuan untuk menduduki jabatan politik tertentu yang biasanya didominasi laki-laki, terutama dalam masyarakat di mana perempuan menghadapi hambatan sistemik untuk masuk ke dunia politik. Namun, di sisi lain, partisipasi perempuan dalam dinasti politik sering kali dilihat sebagai representasi simbolis atau hanya menjadi "perpanjangan tangan" dari kekuasaan keluarga, bukan karena meritokrasi atau keahlian politik mereka sendiri.
      Contoh konkretnya saat ini adalah di negara Indonesia ada beberapa partai yang dengan sangat jelas menunjukan bagaimana istri, anak perempuan, atau kerabat perempuan dari pemimpin laki-laki sering kali mewarisi posisi politik setelah pemimpin laki-laki meninggal atau mundur. Ini sering dilihat sebagai langkah untuk melindungi atau melanjutkan kekuasaan keluarga, bukan sebagai tanda dari pergeseran besar menuju partisipasi politik yang lebih inklusif bagi perempuan.
Beberapa contoh perempuan yang menjadi bagian dari dinasti politik termasuk Megawati Soekarno Putri,Paun Maharani, Titiek Soeharto,Tutut Soeharto,Airin Rachmi Diany, Angela Tanoesoedibjo, dan masih banyak yang lainnya dari tingkat lokal-hingga pusat.
      Di Indonesia, banyak perempuan yang mendapatkan akses ke dunia politik melalui dinasti politik keluarga. Meskipun beberapa di antaranya berhasil membangun karier politik independen, warisan keluarga dan jaringan politik sering memainkan peran penting dalam kesuksesan mereka. Dinasti politik ini memperlihatkan bagaimana kekuasaan di Indonesia bisa diwariskan dan dipertahankan dalam lingkup keluarga.
Dinasti politik sering kali memberikan perempuan akses ke kekuasaan politik, tetapi akses ini sering kali terbatas oleh dinamika keluarga dan tidak selalu mencerminkan peningkatan kesetaraan gender secara luas. Meskipun perempuan dalam dinasti politik bisa menjadi model bagi perempuan lain, kesuksesan jangka panjang dalam mendorong kesetaraan gender dalam politik memerlukan perubahan struktural yang lebih mendasar dan menciptakan ruang bagi perempuan untuk meraih kekuasaan atas dasar kemampuan mereka sendiri, bukan hanya karena hubungan keluarga mereka