Mohon tunggu...
Rois Arios
Rois Arios Mohon Tunggu... -

peneliti di bpsnt padang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tindak Kekerasan pada Konflik Pilkada: Sebuah Analisis Teori Konstruksi Sosial

18 Maret 2012   05:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:53 3173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rois Leonard Arios

Konflik Pilkada[1]

Pada hari minggu, 31 Juli 2011 lalu, proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Puncak Jaya Papua berlangsung ricuh. Hingga kini tercatat 23 orang tewas dalam tragedi pilkada tersebut. Bentrok yang semula hanya dipicu oleh ketidakpuasan pendukung salah satu calon pasangan bupati ini kemudian meluas hingga memakan korban nyawa. Proses demokrasi tadinya diharapkan dapat melahirkan pemerintahan yang tangguh, mengawal Papua sejajar dengan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Calon bupati Simon Alom mendaftarkan diri mereka ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Puncak pada Sabtu (30/7), tetapi mereka ditolak oleh KPUD karena menggunakan partai yang sama dengan calon bupati lainnya, yang juga mengaku menggandeng Partai Gerindra, calon bupati Elvis Tabuni. KPUD mengaku menolak pendaftaran bupati Simon Alom dengan alasan ada dualisme partai pengusung Cabup, yaitu Gerindra. Massa Elvis Tabuni dan massa Simon Alom-Yosian Tenbak terlibat bentrok di Ilaga, ibu kota Kabupaten Puncak, yang mengakibatkan adanya korban jiwa dan materiil. Thomas Tabuni, Ketua DPC Partai Gerindra, yang semula mendukung Simon Alom ternyata mencabut dukungannya. Akibatnya, Minggu (31/7) massa pendukung Simon Alom yang merupakan mantan Penjabat Sementara Bupati Puncak Jaya pun marah dan menyerang massa Thomas Tabuni sehingga terjadi bentrok. Akibat bentrokan tersebut, dari kelompok Thomas Tabuni jatuh 13 korban dan kelompok Simon Alom yang tewas empat orang. Tak kuasa membendung amarah warga yang kala itu siap berperang dengan menggunakan panah dan batu, Pasukan Brimob Bawah Komando Operasi (BKO) dan anggota Polsek Ilaga justru menjadi keganasan kelompok yang tengah beradu. Satu anggota Brimob bernama Bripda Frans terkena anak panah. Dua orang meninggal dan satu orang luka-luka.

KPU dan Gerindra sama-sama tidak ingin disalahkan saat masing-masing dikonfirmasi tentang kegagalan Pemilu tersebut. KPU sejak awal telah membela diri, terjadi dualisme pencalonan yang dilakukan Gerindra, yaitu Simon-Yosian dan Elvis-Heri. Tetapi Gerindra kemudian berkilah, dan mengatakan justru KPUD-lah yang tidak netral dalam pencalonan tersebut. Wakil Ketua Partai Gerindra Provinsi Papua, yang juga ketua DPC Gerindra Kabupaten Puncak, Amir Mahmud Madubun mengatakan, sejak semula Gerindra hanya mendukung satu pasangan calon yaitu Simon Alom dan ia sudah mendapatkan secara resmi rekomendasi dari DPP Gerindra. Adapun calon bupati lainnya, yaitu Elvis Tabuni tidak diwakili oleh Gerindra. DPC Gerindra Kabupaten Puncak di bawah pimpinan Thomas Tabuni yang dikatakan telah merekomendasikan Elvis Tabuni, sudah diganti dari jabatannya sejak 28 juli. Kerusuhan berdarah yang terjadi akibat Pilkada tersebut tidak serta merta berhenti pada titik dimana para atasan yang bertikai dapat didamaikan. Bagaikan memerciki api dengan minyak tanah, kerusuhan tersebut kemudian meluas disejumlah tempat. Insiden berdarah juga terjadi di Jayapura. Tiga orang penduduk Jayapura dan satu anggota TNI tewas ditembak dan dibacok oleh sekelompok orang tak dikenal, selain itu tujuh orang lainnya juga menderita luka parah. Kejadian itu terjadi di sekitar Kampung Nafri pada Senin dini hari sekitar 03.15 WIT.

Gambaran tersebut hanyalah salah satu konflik yang terjadi dengan latar belakang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sejak sistem pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, tidak sedikit yang melalui proses konflik baik vertical maupun horizontal antar sesama pendukung elit politik (calon kepala daerah). Konflik tersebut berakibat pada hilangnya nyawa, pengrusakan rumah penduduk, fasilitas publik, fasilitas pemerintah, dan tindakan anarkis lainnya.

Mungkin kita sering bertanya, kenapa massa begitu mudahnya melakukan tindakan kekerasan yang anarkis dan brutal tersebut? Tidak sedikit orang-orang menyalahkan massa atas tindakannya. Namun pada kesempatan ini saya mencoba mengurai permasalahan tersebut dengan menggunakan analisis teori Konstruksi Sosial yang dikembangkan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckman (2012).

Teori Konstruksi Sosial

Secara umum, konsep pemikiran Berger dan Luckmann mengenai realitas sosial pada masyarakat adalah bahwa institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.

Bagi Berger dan Luckmann masyarakat merupakan kenyataan objektif, dan sekaligus kenyataan subjektif. Sebagai kenyataan objektif, individu berada di luar diri manusia dan berhadap-hadapan dengannya; sedangkan sebagai kenyataan subjektif, individu berada di dalam masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Individu adalah pembentuk masyarakat; dan masyarakat adalah pembentuk individu. Maka itu, kenyataan sosial bersifat ganda dan bukan tunggal, yaitu kenyataan objektif dan sekaligus subjektif.

Pemikiran Berger dan Luckmann tersebut terpengaruh oleh pemikiran Schutzian tentang fenomenologi, Weberian tentang “makna-makna subyeyektif”, Durkheimian-Parsonian tentang “struktur” Marxian tentang “dialektika” serta Mead tentang “interaksi simbolik”. Sedangkan Margareth M, Poloma menyimpulkan pembentukan realitas secara sosial sebagai sintesis antara strukturalisme dan interaksionisme (Poloma, 1994).Berger dan Luckmann sendiri mengakui adanya pengaruh Marx dalam sosiologi pengetahuan terutama pandangan bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh keberadaan sosialnya (Berger dan Luckmann, 2012:7).

Adapun asumsi-asumsi dasar dari teori konstruksi sosial adalah:

a.Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunai sosial di sekelilingnya

b.Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan

c.Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus

d.Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.

Mengikuti pemikiran Hegel mengenai tesis-antitesis-sintesis, Berger menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan objektif melalui konsep dialektika, yaitu:[2]

1.Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. “Society is a human product”. (Berger dan Luckmann, 2012:83)

2.Objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality” (Berger dan Luckmann, 2012:83).

3.Internalisasi ialah individu mengidentifikasidiri di tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product. Artinya individu mengambil realitas sosial yang ada dalam masyarakat menjadi bagian dari dirinya. Dalam hal ini Berger dan Luckman (2012: 176) menyebut manusia sebagai kenyataan subjektif.

Pelembagaan dan legitimasi merupakan proses antara pada proses eksternalisasidan objektivasi.Pelembagaan, yaitu proses pembiasaan (habitualisasi),artinya tindakan yang sering diulang akhirnya diterima sebagai pola dan bisa direproduksi sebagaipola yang dimaksudkan (Berger dan Luckmann, 2012:72). Sedangkan legitimasi merupakan konseppenting dalam analisis konstruksi sosial. Melalui legitimasi akan menghasilkanmakna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat obyektivasiyang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan masuk akal secara subyektif.Hal ini mengacu kepada dua tingkat, pertama keseluruhan tatanan kelembagaan harus bisa dimengerti secara bersamaan oleh para pesertanya dalam proses-proses kelembagaan yang berbeda. Kedua keseluruhan individu (termasuk di dalam media), yang secara berturut-turut melalui berbagai tatanan dalam tatanan kelembagaan harus diberi makna subyektif.Masalah legitimasi tidak perlu dalam tahap pelembagaan yang pertama, dimana lembaga itu sekedar fakta yang tidak memerlukan dukungan lebih lanjut . Tapi menjadi tak terelakan apabila berbagai obyektivasi tatanan kelembagaan akan dialihkan kepada generasi baru. Di sini legitimasi tidak hanya sekedar soal “nilai-nilai” ia juga selalu mengimplikasikan “pengetahuan”. Secara sederhana dapat dikatakan, legitimasi adalah pengakuan terhadap realitas sosial yang terbentuk tersebut sehingga menjadi objektif. (Berger dan Luckmann, 2012: 126-127).

Analisis Penyebab Tindak Kekerasan

Berkaitan dengan tindak kekerasan pada konflik Pilkada di Kabupaten Puncak dapat kita analisis berdasarkan proses terbentuknya realitas sosial dalam masyarakat. Konflik merupakan sebuah realitas sosial yang pada skala kecil dianggap hal yang wajar dan diakui sebagai sebuah proses sosial yang dapat mengakibatkan perubahan sosial. Namun bila telah sampai pada tingkat kekerasan dianggap sebagai yang tidak wajar. Pengalaman terhadap konflik-konflik yang terjadi menjadi pengetahuan dan realitas sosial mereka yang bisa direproduksi ataupun sebagai cadangan pengetahuan. Semua tindakan kekerasan (konflik) tersebut diyakini oleh Berger dan Luckmann sebagai akibat dari konstruksi sosial.

Karena kenyataan bersifat plural (adanya kenyataan dan pengetahuan), dinamis, dan dialektika, maka sebuah tindakan kekerasan tidak pernah terjadi dengan sendirinya dan bersifat final (terus berdialektika). Pada kasus di Kabupaten Puncak tersebut menurut analisis Berger berawal dari proses sosial yang dialektis dalam kelompok-kelompok masyarakat dengan melibatkan penguasaan faktor ekonomi dan politik. Dalam setiap kelompok masyarakat sendiri memiliki para tokoh (elit)berpengaruh dan memiliki kekuasaan dalam mengarahkan tindakan individu-individu. Merekaadalah para elit kekuasaan yang sering membangun opini publik dalam proses perjuangan kepentingan mereka dengan memanfaatkan elit adat sebagai penguatan pembenaran opini para elit tersebut. Dalam hal ini dilakukan oleh para calon bupati dan wakil bupati (sebagai elit kekuasaan) terhadap para pendukungnya. Para calon bupati dan wakil bupati beserta tim suksesnya melakukan upaya pelembagaan melalui opini-opini publik dan interaksi yang terus menerus dilancarkan kepada masyarakat sehingga akhirnya masyarakat menerima opini tersebut sebagai sebuah kebenaran yang harus dilakukan atau diikuti. Hal ini ditandai dengan legitimasi oleh anggota masyarakat.

Opini yang telah diterima tersebut mengalami eksternalisasi sehingga menjadi bagian dari kelompoknya (masyarakat) dan akan menjadi pola dalam melakukan tindakan sesuai dengan opini yang dibentuk oleh para calon bupati dan wakil bupati. Kelompok/masyarakat yang tidak mengikuti norma-norma atau ketentuan dalam bertindak berkaitan dengan pilkada tersebut (sesuai opini yang dibangun) maka akan dianggap bukan anggota kelompoknya dan sehingga harus diperlakukan lain. Pada tahap inilah telah berlangsung proses objektivasi. Pengetahuan suatu kelompok pendukungcalon tentang kelompok pendukung lainnya dan tentang tindakannya, akan menciptakan pemahaman tersendiri antaranggota kelompok dalam berinteraksi tatap muka dan juga membentuk pemahaman tentang pola interaksi tatap muka maupun tak langsung. Pemahaman tersebut akan menentukan apakah interaksi akan berjalan dengan lancar atau tidak.

Kepala suku pada beberapa suku bangsa di Papua merupakan individu yang sangat berpengaruh dalam struktur sosial. Biasanya proses konstruksi sosial akan lebih gampang tercapai jika ada legitimasi dari kepala suku. Ketika seorang calon bupati dan calon wakil bupati berhasil mendekati dan mempengaruhi kepala suku, maka anggota sebuah suku akan dengan mudah mengikuti proses sosialisasi sekunder yang dilakukan oleh para elit dalam kelompok yang telah terbentuk tersebut. Sosialisasi sekunder yang diterima oleh individu walau tidak sejalan dengan sosialisasi primer yang diterima dalam keluarganya, tetap bisa diterima karena realitas sosial dianggap dialektis yang akan terus berproses. Pada tahap ini proses internalissi dianggap berhasil jika semakin banyak pendukung (massa) salah satu calon bupati/wakil bupati.

Opini-opini yang dibangun para calon bupati/wakil bupati berkaitan dengan kepentingan kekuasaan politik sebagai pemimpin pemerintahan. Padahal dalam sistem pemerintahan tradisional orang Papua (suku Dani misalnya) tidak mengenal sistem pemilihan langsung melalui pemungutan suara tetapi berdasarkan kriteria pada kekuatan dan kemampuan mengalahkan musuh pada perang suku yang mereka ciptakan sendiri. Realitas sosial yang mereka hadapi saat ini melalui sistem politik Indonesia sangat berbeda dengan pengetahuan mereka yang diperoleh melalui sosialisasi primer maupun sosialisasi sekunder di kelompok sukunya.

Pengalaman hidup dan proses internalisasi membentuk sistem makna dalam pikiran individu. Makna yang muncul dari pengetahuan yang sudah mapan tersebut sangat menentukan bagaimana sikap dan tindakan yang dimunculkan dalam kehidupan sehari-hari. Para calon bupati/wakil bupati dianggap sebagai elit yang memiliki kekuasaan atas kelompoknya (massa pendukungnya).Dalam sebuah kelompok masyarakat maupun negara, kekuasaan menjadi sangat penting karena mampu menciptakan realitas sosial.

Untuk menguasai realitas sosial melalui pemenangan sebagai bupati dan wakil bupati, dilakukan dalam bentuk pembelaan dan pembenaran terhadap salah satu calon yang mereka dukung. Segala tindakan yang dianggap merugikan calonnya akan dianggap merugikan dirinya dan kelompoknya sehingga mereka harus menentukan tindakan apa yang akan lakukan. Posisi penting elit dalam masyarakat mempengaruhi opini publik dan mengarahkan tindakan sosial massa menjadi lebih mudah dilakukan karena mimiliki akses ekonomi, politik (akses ke penguasa), dan akses internal kelompoknya yang telah mengalami eksternalisasi.

Kemampuan para calon bupati/calon wakil bupati beserta tim suksesnya mengarahkan situasi dan kepentingan mereka dalam pemilihan kepala daerah tersebut tidak hanya melibatkan mereka, tetapi melibatkan masyarakat pendukungnya dalam merebut dominasi realitas sosial tersebut. Pada kasus ini adalah apa yang dilakukan oleh pendukung calon bupati/wakil bupati Simon Alom-Yosian Tenbak.

Pengetahuan masyarakat yang telah dibangun oleh para elit untuk mendominasi hasil pemilihan kepada daerah di Kabupaten Puncak, sehingga dengan pengetahuannya pula akan membela kepentingan dari elit tersebut. Para elit menekankan kepentingannya dengan mengelola masyarakat sebagai kekuatan politisnya melalui pembentukan opini, membangun wacana dalam publik, dan melakukan pengorgasiran kelompok-kelompok militan yang mendukungnya. Ketika elit kekuasaan menyatakan kepentingannya, masyarakat merasa itu juga sebagai kepentingannya sendiri. Posisi dominan kelompok elit di dalam masyarakat melakukan komunikasi politik, dan kemudian terbentuklah suatu pola hubungan memberi dan menerima, artinya bagaimana elit masyarakat menggunakan kekuasaannya kepada kelompok masyarakat, dan bagaimana masyarakat itu menanggapi serta menerima keinginan-keinginan kelompok politik. Hal itu tercermin dari keberhasilan elit masyarakat membangun opini melalui proses konstruksi sosial.

Keberhasilan tersebut terlihat pada diri individu yang menjadi pendukung elit tersebut dalam interaksi sehari-hari yang berani memberikan pendapatnya kepada orang lain yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Kepentingan elit masyarakat telah dibenarkan oleh masyarakat sebagai kepentingannya juga. Sehingga bisa kita lihat bahwa pengetahuan masyarakattelah terhegemoni oleh opini para elit. Dengan demikian masyarakat akan melakukan tindakan-tindakan apapun sesuai dengan keinginan para elitnya termasuk pada tindakan kekerasan. Seperti yang dilakukan oleh kelompok pendukung Simon Alom-Yosian Tenbak dan ternyata juga terjadi pada pendukung Elvis Tabuni.

Dengan penjelasan tersebut, Teori Konstruksi Sosial tidak melihat penyebab tindakan kekerasan pada konflik pilkada di Kabupaten Puncak Jaya sebagai persoalan administrative atau dualism calon dari partai Gerindra dan tidak pula kekerasan yang terjadi tersebut sebagai peristiwa yang spontan. Berger melihat peristiwa tersebut sebagai sebuah realitas sosial hasil dari konstruksi sosial para elit dalam masyarakat.



Daftar Pustaka

“Pilkada Papua, Potret Demokratisasi Politik Indonesia?” Suara Merdeka, 27 Desember 2011

Berger. Peter L dan Thomas Luckmann. 2012. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES

Narwoko, J. Dwi. dan Bagong Suyanto (ed). 2010. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana.

Poloma, Margaret. 1994. Sosiologi Kontemporer.Jakarta: Raja Grafindo Persada

[1] Dikutip dari “Pilkada Papua, Potret Demokratisasi Politik Indonesia ?” Suara Merdeka, 27 Desember 2011

[2] Ulasan teori Konstruksti Sosial ini dapat juga dibaca di J. Dwi Narwoko,. dan Bagong Suyanto (ed). 2010. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana. Hal. 390 – 393.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun