Mohon tunggu...
Epa  Mustopa
Epa Mustopa Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Pendidik Yang Tersesat Menjadi Tenaga Kependidikan

Saya sangat suka menulis. Menulis apa yang saya ingin tulis. Dari tulisan kita bisa lebih meningkatkan kemampuan. Baik kognitif, afektif, emosional dan spiritual

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan adalah Hadiah Terbaik dari Ibu

1 Januari 2018   22:23 Diperbarui: 2 Januari 2018   23:29 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pepatah mengatakan "Surga di telapak kaki ibu". Saya sangat setuju, dan menginterpretasikan kata surga adalah kesuksesan, baik kesuksesan hidup di dunia maupun di akhirat. 

Hal yang mendasari interpretasi tersebut adalah hasil pengamatan saya secara peribadi. Banyak diantara kisah orang sukses di dunia, tidak terlepas dari perbuatan baiknya kepada orang tua, khususnya ibu.

Masih terbayang dalam benak, semasa saya usia anak-anak. Ibu membanting tulang membantu ayah dalam mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan hidup. Tak luput kebutuhan akan pendidikan bagi saya dan saudara.

Sampai saya usia tiga puluh lima tahun saat ini, saya tidak pernah bosan mendengarkan cerita dari ibu mengenai perjuangan dalam membesarkan Kami. Sembari memijit punggung beliau, tatkala berkunjung seminggu sekali ke rumah ibu. 

Beliau selalu antusias dan bersemangat dalam bercerita, menandakan semangat perjuangan dalam memberikan kasih sayang tak pernah henti.

Ibuku seorang ibu rumah tangga yang bekerja sampingan sebagai buruh tani di sawah. Semangat tinggi dalam membantu suami yang bekerja sebagai caraka (pesuruh) di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung. 

Saya sangat berkesan dengan kemampuan ibu, yang dapat memanfaatkan gaji seorang PNS golongan 1a yang diangkat pada tahun 1975 ditambah penghasilan beliau sebagai buruh tani di sawah.

Saat bercerita, ibu meneteskan air mata. Saat itu beliau sedang hamil mengandung anak pertama yang baru berusia 6 bulan. Saat berjalan menyusuri galengan sawah yang konturnya berbentuk sengkedan, beliau jatuh terpeleset hingga menyebabkan sakit dan keguguran.

Demi membiayai pendidikan 6 anak pada jaman dulu yang masih tergolong mahal, ibu tak menyerah dengan kejadian tragis yang pernah menimpanya. Beliau sangat rajin menanam palawija dan tanaman lainnya yang bisa dikonsumsi. 

Beliau suka memanfaatkan singkong, jagung, biji nangka, dan hasil lainya dari kebun sebelah rumah untuk dijadikan tambahan lauk pauk seadanya. Dengan cara demikian biaya konsumsi untuk kebutuhan sehari-hari bisa lebih irit dan dimanfaatkan untuk biaya sekolah.

Cara unik lainnya ibu menanam enam buah pohon jambu yang dinamai untuk masing-masing anak. Beliau selalu berpesan, "tiap kali bangun tidur di pagi hari kalian harus menyiramkan air pipis kalian pada pohon jambu tersebut agar tumbuh subur". 

Dan, ternyata dari tahun ke tahun pohon jambu tersebut memang tumbuh dengan baik sampai berbuah. Setiap anak tatkala pulang sekolah selalu memanjat pohon jambu masing-masing untuk menikmati buahnya. Beliau mengatakan, "Daripada jajan, lebih baik kalian cari buah jambu yang matang ! Kan, uang jajannya ibu tabung untuk biaya sekolah".

Memang, pendidikan di tempat saya tinggal pada masa itu masih menjadi sesuatu yang langka dan mahal, bahkan tidak diminati. Di lingkungan tempat Kami tinggal, pendidikan dianggap sebagai suatu hal yang menghamburkan uang. 

Masyarakat masih sangat jarang menyekolahkan anak sampai pendidikan SMA, apalagi tingkat perguruan tinggi. Rata-rata mereka bersekolah sampai tamat SD, kemudian bekerja dan untuk anak perempuan ada juga yang dinikahkan oleh orang tuanya.

Celotehan teman-teman mengaji masih terngiang di telinga keluarga Kami, mereka mengatakan, "buat apa sekolah tinggi-tinggi, presiden sudah ada, menteri ada, pengusaha ada? Hanya menghamburkan uang saja !"

Mereka mengatakan itu sambil tertawa terbahak-bahak. Sepulang mengaji, saya langsung menceritakannya pada ibu. Beliau hanya tersenyum dan berkata, "Kelak, kamu akan merasakan hasil dari sekolah yang tinggi Naak!"

Saya merasakan pendidikan di rumah yang diberikan oleh ayah dan ibu sungguh luar biasa, disamping pendidikan yang kami terima di bangku sekolah. Ibu selalu mengajarkan pola hidup sederhana, mandiri, kerjasama dan tolong-menolong.

Pernah suatu saat, saya dijauhi teman karena masalah perbedaan dalam pendidikan. Teman-teman bermain di saat SD mulai menjauhi saya karena saya terus melanjutkan sekolah ke tingkat SMP. Budaya mengaji ke madrasah sampai usia SMA di kampung adalah hal biasa.

Ibu selalu memotivasi saya untuk terus mengaji ke madrasah. Bahkan setelah belajar mengaji, sesekali saya tidur di madrasah sebagai kebiasaan yang diajarkan guru ngaji sepulang dari undangan syukuran salah satu warga. Karena pulang ke rumah terlalu larut, saya dengan berat hati harus tidur di madrasah.

Kebiasaan sepulang dari undangan syukuran, semua tamu undangan di kasih bingkisan yang terbuat dari "besek" (semacam wadah nasi dari bambu, kalau jaman now menggunakan stereoform). Termasuk saya dan teman-teman sangat riang gembira pulang ke madrasah membawa makanan.

Sebelum tidur, saya seperti biasa mengerjakan PR atau belajar bila esok harinya akan ada ulangan di sekolah. Teman-teman sudah pada tidur pulas sehabis menyantap makanan. Ketika saya ketiduran, ada diantara teman yang jahil melahap bingkisan makanan saya. Ditambah, pas bangun tidur jam 4 shubuh perut terasa sangat lapar. Saya pun tidak mempedulikannya.

Pengalaman seperti itu sering saya ceritakan kepada ibu, bukan untuk mengadu. Tapi, saya ingin tahu apa yang harus saya lakukan ketikan menghadapi teman yang demikian. Ibuku selalu menjawab dengan tenang dan positif thingking. 

Beliau mengatakan, "tidak apa-apa, mungkin teman kamu merasa lebih lapar dari kamu, yang penting kita jangan berbuat demikian kepada orang lain".

Singkat cerita, saya beres menyelesaikan pendidikan SMA. Saat itu, kakak saya sudah pada bekerja. Mereka semua menamatkan pendidikan sampai Sarjana dengan menempuh pendidikan S-1 kelas karyawan. Demikian pula dengan saya, Alhamdulillah saya sudah menamatkan pendidikan S-1 dan bekerja di intansi pemerintah.

Ibu selalu memotivasi anak-anak untuk terus belajar dan sekolah. Bahkan, untuk saudara yang kurang mampu dalam pembiayaan selalu dibantu oleh saudara yang lain atas dasar saran dari ibu. Sungguh pendidikan kerja sama dan gotong royong yang diajarkan oleh ibu sangat melekat dalam kehidupan Kami.

Terima Kasih Ibu ! Pendidikan adalah #HadiahDariIbu yang terbaik bagi Kami

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun