Dia menghentikan mobil di sebuah restoran bercorak Jawa di daerah Surabaya. Begitu masuk, lalu lalang pelayan berdialog dengan bahasa Jawa halus dan berpakaian batik. Pengunjung juga diiringi gending-gending dan gamelan khas lagu-lagu wayang dan perabotan restoran seperti piring, tempt cuci tangan, meja, dan kursi, mengingatkanku pada Keraton Jogjakarta. Kita berdua memilih tempat di dekat jendela yang berteralis kayu, berhadap-hadapan dan saling merekomendasikan menu yang tepat untuk disantap malam. Aku memilih mie goreng jawa, sedangkan kau lebih suka soto kambing. Setelah makanan disepakati dan dipesan, kita melanjutkan obrolan-obrolan kecil yang merenyahkan suasana.
“Menjadi janda di masyarakat kita adalah kesalahan Mba, tekanan sosial yang dirasakan sangat menyakitkan. Seolah-olah segala kesalahan dilakukan oleh perempuan, yang membuatnya layak dilecehkan dan disepelekan”, kataku
“Bener dek, aku udah merasakannya sendiri, sangat menyakitkan berada di posisi janda”
“Merasakan sendiri Mba?”, aku memastikan.
Di depanku adalah perempuan Jawa-Sunda berumur 27 tahun, yang pertama kali kukenal di London satu tahun yang lalu. Masih muda dan cantik. Di usianya yang sekarang dia sudah berhasil menempuh gelar S2-nya dari University College London.
Dia bercerita, bahwa Ayahnya memiliki calon suami untuknya. Seorang tokoh di lingkungan, hafal Al Qur’an, bekerja yang tenuritasnya terjamin, lebih tua, dan pastinya mapan secara sosial dan finansial. Orang tuanya tidak menyetujui hubungannya dengan laki-laki yang telah dipacarinya sejak SMA, mereka masih seumuran, demikian alasan utamanya. Padahal sang laki-laki ini sudah bersiap melamarnya seusai kuliah. Bekerja sebagai PNS yang baru saja diangkat, sekalipun di bawah Kementerian Keuangan belum membuat sang laki-laki ini menampakan kematangan finansialnya. Semakin cacat laki-laki ini dibandingkan dengan calon yang dijagokan ayahnya.
“Aku tidak mau menerimanya, karena masih ingin fokus S2 dek, namun mendadak ayahku sakit”, wajahnya sedikit sayu menjelaskan kisah masa lalunya.
Demikianlah, beban psikis seorang anak membuatnya menerima tawaran ayahnya. Terbebani rasa belas budi, kasih, dan hormat, di bulan Agustus proses melamar berjalan. Sesuai kesepakatan, September pernikahan mereka diselenggarakan. Sejak saat itu dia resmi menjadi seorang istri dari calon pilihan orang tuanya. Dia selalu berharap bisa menjadi istri yang tetap bisa berkarir dan berbakti kepada untuk keluarga, juga dikaruniai kebahagiaan dan keharmonisan.
“Akhir bulan Oktober, aku masuk UGD, luka-luka di tubuhku membuatku tidak bisa berjalan. Selama beberapa bulan aku harus menggunakan kursi roda” Dia mulai meneteskan air mata saat mengingat masa lalunya.
Lidahku kelu mendengar ceritanya…
”Suamimu melakukan kekerasan ya Mba?”, pertanyaanku memecah sunyi.
Satu bulan pertama perkawinannya, dia mendapatkan perlakuan yang sangat buruk dari suaminya. Jika dia terlambat pulang usai kuliah, suaminya akan mengurungnya di kamar. Belum cacian-cacian sebagai istri yang tidak menuruti perintah suami dengan tambahan ayat-ayat suci Al Quran dan hadist nabi yang meligitimasi aksinya.
“Aku dipukuli jika dia merasa aku berbuat salah, bahkan aku diikat di kamar beberapa kali karena dianggap tidak bisa menjadi istri yang sholehah”
Wajanya tampak tegar menceritakan masa lalunya padaku.
"Aku selalu bertanya-tanya, seperti inikah kehidupan rumah tangga? Kenapa berat sekali beban sebagai istri yang kurasakan? Apakah benar aku selalu berbuat salah sehingga pantas diperlakukan seperti itu oleh suaminya?"
“Sampai ketika aku dilarikan ke Rumah Sakit, kedua orangtuaku kaget, mereka menangis melihat kondisiku, dengan kondisi jiwaku yang setengah sadar. Aku diliputi trauma yang mendalam dan luka-luka fisik yang menambah berat kondisiku. Saking traumanya aku tidak berani melaporkan suamiku ke polisi atas kekerasan yang ia lakukan”, imbuhnya, seraya menebak yang akan kulontarkan seputar KDRT.
Setelah itu, mereka bedua bercerai di bulan November. Perkawinan yang berumur sangat singkat. Kedua orang tuanya sangat menyesali tragedi yang menimpa putrinya. Dan apakah penderitaannya selesai? Rupanya tidak. Di lingkungan kampus, dia dianggap janda murahan, digoda yang berbau melecehkan, dianggap perempuan murahan yang gampang diajak kencan, dan tatapan-tatapan sinis dari orang lain yang merendahkan stasusnya.
Padahal di masa itu, dia berjuang keras agar bisa lepas dari jerat trauma yang hampir 2 tahun merenggug hidupnya. Dua tahun setelah perceraian bukan berarti jalan cerah yang dia dapatkan, namun dia harus memulihkan kondisi fisik dan psikis yang sudah tercabik-cabik sebelumnya. Dan itu tidak mudah. Dia kadang menangis sendiri, mendadak merasa terabaikan, takut melihat laki-laki, dan merasa terkucilkan oleh lingkungannya.
Namun dia perempuan tegar dan tangguh. Dia mampu bangkit dan menghalau trauma yang melanda jiwanya.
Rupanya, Laki-laki yang dipacarinya dulu masih menyimpan perasaan cinta dan harapan kepadanya. Laki-laki itu sengaja datang setelah ia pulih, setelah dia mampu menyunggingkan senyum dan menaklukkan traumatisnya. Laki-laki itu sudah tahu semua yang terjadi dengan perempuan yang selalu ia cintai dan dengan sabar menunggu saat yang tepat untuk meminangnya.
Tahun ketiga setelah perceraiannya, mereka berdua menikah. Sekarang mereka dikaruniai satu orang putra.
“Aku sangat beruntung dia menerimaku apa adanya. Kamu tahu dek? Suamiku tidak pernah bertanya masa laluku, kenapa aku bercerai, dan apa yang terjadi di dalam perkawinanku yang pertama. Aku sangat bersyukur memiliki suami yang bisa menerimaku apa adanya”, dia menutup ceritanya dengan berkaca-kaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H