Berjalan dalam bimbang. Dalam otak penuh dengan kerikil-kerikil tajam yang menusuk sampai tengkorak kepalanya. Terlalu banyak masalah kehidupan yang melayang-layang diatas kepala yang membuatnya berfikir keras untuk membuangnya satu persatu. Keluarga, sahabat, pekerjaan, kuliah, dan juga…. cerita cintanya. “Pasrahhh…” itu yang selalu ia bisikkan pada dirinya sendiri.
Petualangan sang Elang dalam menuntut salah satu amalan yang akan ia bawa ke surga, memberikan suatu tekanan kecil dalam kalbunya saat ia harus pergi meninggalkan tokoh-tokoh tercinta di tempat ia terlahirkan. Ya… Keluarga. Senyum yang merekah mengantar kepergiannya kala itu, namun jauh dalam hati, ia tak ingin pergi ke negeri kincir angin. Beribu siang dan malam telah ia lewati. Suka duka di tempat baru telah digenggamnya. Suatu ketika jantungnya seolah berhenti, nafas yang sesak membawa lahirnya penyesalan dalam diri karena jauh dari tokoh-tokoh tercinta itu. Tak hanya rindu, tapi selalu ada dan menjaga mereka yang ia inginkan. “Ingin pulang… Tak ingin kembali lagi… “ kalimat itu yang selalu ia ucapkan jauh dalam kalbunya. Entah sampai kapan seperti itu tapi itulah yang ia rasakan. Setitik sesal.
Hanya memikirkan, bukan mengerjakan. Suatu pekerjaan yang ia bawa jauh-jauh hari sebelum ia pergi meninggalkan keluarga tercinta. Tangan terasa berat, fikiran menolak, itu yang ia rasakan saat melihat satu folder dalam buku canggihnya yang dapat menyimpan file dalam jumlah banyak dan kapasitas besar juga bisa digunakan untuk mendengarkan murattal kebanggaannya. Entah karena syaitan yang mengelilingi dirinya, hanya melirik saja matanya tak mampu. Selalu saja pekerjaan itu melambai-lambaikan tangannya agar Elang mau untuk menyentuh dan menyelesaikannya. Elang tak hanya diam, tapi dengan bodohnya ia hanya membayangkan folder itu hilang dan telah selesai dengan sendirinya. Ia hanya berdoa kepada Sang Penciptanya untuk diberikan hati yang tenang dan waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya itu.
Menyesal, menyesal dan menyesal. Virus merah jambu yang ia rasakan selama ini hanya membawanya kedalam penyesalan yang tiada ujung. Memohon ampunan disetiap sujudnya, melantunkan kalimat-kalimat yang terdapat dalam mushaf untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Berusaha menepati janji yang telah ia buat saat dalam kandungan ibunda pada Sang Maha Pencipta. Namun virus itu selalu saja memberikan suntikan-suntikan pada hati Elang hingga luluh lah sang kalbu. “Tidak.. seharusnya bukan pada dia, tapi pada-Nya.” Ucap Elang pada kalbunya untuk menghindari hal yang bisa jadi akan menambah sesalnya. Masa lalu yang ia goreskan pada lembar hidupnya memberikan pelajaran yang membawa Elang selalu menjaga kalbunya untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta dan mencintai-Nya. Entah apa yang telah Elang goreskan pada lembar hidupnya kala itu, namun yang ia yakin bahwa Sang Maha Pengampun akan memberikan kesempatan untuk Elang dalam menggoreskan cerita-cerita baru yang dalam lembar-lembar hidup selanjutnya dan memberikan ampunan pada hal-hal yang telah ia kerjakan dimasa lalunya. Bukan hanya dirinya, tapi tokoh-tokoh disekelilingnya juga akan mendapatkan dampak buruk atas jalan berduri yang telah ia pilih ketika itu. Sesal Elang bertambah kala tahu bahwa siksa yang akan ia terima sangatlah pedih untuk dirinya bahkan siksa itu berlaku untuk sosok yang telah melahirkannya. Kebanggaan, kesenangan, kebahagiaan, kepuasan dan kenikmatan yang terima selama ini hanyalah kebohongan yang telah Syaitan bisikkan pada Elang. Namun kini, Elang berusaha terbang meninggalkan hal-hal buruk masa lalunya, ia percaya bahwa kisah hidupnya mungkin tak sempurna, namun itu bagian dari suatu pembelajaran yang sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H