Mohon tunggu...
Eny DArief
Eny DArief Mohon Tunggu... Lainnya - An ordinary woman

Halloo, apa kabar?

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kue Mak Pengki

23 Oktober 2021   12:27 Diperbarui: 23 Oktober 2021   12:28 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image : pixabay.com

PROLOG

Jalan kecil yang dibatasi dengan perempatan jalan Fatahilah disebelah timur, dan dibatasi perempatan jalan Persima disebelah barat, disebut GANG CINCAU. Orang menyebutnya begitu, karena sepanjang jalan ini banyak ditumbuhi pohon cincau hijau. Dan saat itu banyak pendatang yang mengadu nasib dengan berjualan cincau hijau, membuat sendiri cincau hijau dengan bahan daun pohon cincau hijau yang  tumbuh subur di sekitar jalan, kemudian menjajakannya dari kampung ke kampung.
Saya sendiri sebelumnya tidak tahu orang menyebut jalan rumah saya adalah Gang Cincau, sampai pada suatu ketika setelah sekian lama keluar dan pindah dari rumah itu, seseorang mengenali saya dengan sebutan
"Yang dulu tinggal di gang Cincau ya?"
Okelah saya anak Gang Cincau, dan dari situlah cerita bermula.

***

Pagi ini Ibu menunggu mak Pengki lewat tidak kunjung datang. Biasanya mak Pengki pagi-pagi lewat dengan mengusung panganan jajanan diatas kepalanya dengan menggunakan tampah.
Ibu membekali Danisa dan Helia ke sekolah dengan panganan dari mak Pengki. Panganan yang dijual mak Pengki  berbagai macam, ada ketan srundeng, kue talam, kue lopis kuah gula merah, kue cucur, kue cendil, getuk hitam, getuk coklat, wajik ketan, dan lain-lainnnn.
"Kueee... kueee Buu"

Seorang anak lelaki tanggung mebawa baskom, berteriak-teriak dari depan rumah Danisa
Ibu segera keluar dibarengi Danisa dan Helia.

"Lho Dan, mana mak mu? Kenapa kamu yang jualan?"
Ibu menanyakan kepada Dadan, kenapa mak Pengki tidak jualan.

"Mak meriang Bu, saya disuruh menggantikan mak keliling kampung menjajakan makanan-makanan ini yang sudah dbuat mak tadi malam"

Danisa dan Helia menyerbu baskom Dadan, memasukan beberapa kue ke kotak bekal masing-masing.
Setelah Ibu membayar kue-kue yang dibeli, Dadan kembali mengangkat baskomnya, melanjutkan keliling kampung,

"kueeee... kueeee... ketan urap, cucur, getukkk".

Seharusnya Dadan berangkat sekolah pagi ini, tapi harus berjualan menggantikan mak nya berjualan panganan. Bagaimana jadinya bila Dadan tidak menggantikan mak Pengki menjajakan kue keliling? kue-kue itu tidak akan terjual dan tidak ada modal untuk membuat kue lagi keesokan harinya?

Dadan dan adiknya Giri tinggal bersama Ibunya, mak Pengki. Bapak Dadan sudah lama meninggal dunia saat keduanya masih sangat kecil, dengan begitu untuk biaya hidup sehari-hari mengandalkan hasil berjualan panganan mak Pengki keliling kampung.

**

Suatu hari Dadan tak kunjung pulang, biasanya menjelang Juhur dagangan habis dan Dadan sudah kembali ke rumah. Tapi hari ini sudah hampir jam 14:00 Dadan tidak pulang juga. Mak Pengki khawatir terjadi apa-apa dengan Dadan.
Ditanyakannya keberadaan anaknya pada setiap tetangga yang dijumpainya, juga kepada  beberapa penjual cincau,  barangkali bertemu Dadan saat keliling tadi.

"Apa bang Juki bertemu Dadan waktu ngider jualan cincau tadi?"
Mak Pengki mencoba mencari tahu dari Bang Juki, salah seorang penjual Cincau.

"Saya hari ini ga banyak ngider mak, baru mangkal di SDN 01 langsung habis, Alhamdulilah. Memangnya Dadan gantiin mak jualan?"

"Iya. Mak kuatir kenapa-kenapa, sudah jam segini belum balik".

**

Di gang Jamblang, Dadan tertunduk lesu memandangi baskom kue-kue dagangannya, masih ada setengahnya belum laku terjual. Tadi saat sedang berjalan menjajakan dagangannya, Dadan terjatuh ketabrak sepeda, baskom kaleng menggelinding gedombrangan, kue-kuenya berserakan dijalan.
Dadan memunguti kue-kue yang berserakan, mengumpulkannya kembali ke baskom, berjongkok dipinggir jalan, tertunduk menatapi baskomnya dengan kue-kue yang berantakan didalamnya.

"Gimana bilang ke mak, kuenya masih banyak tapi tidak bisa dijual?"
Dadan bergumam sambil mengucek-ngucek matanya, entah karena debu atau karena Dadan menangis. Terbayang wajah Ibunya yang sedang sakit.

Bang Satun lewat didepan Dadan, menghentikan langkahnya, tampaknya tahangnya sudah kosong, pertanda laris manis dagangan cincaunya.

"Lha tong, lu ngapain nangis dipinggir jalan?, itu dagangan mak lu kenapa?"

"Tumpah bang, ditabrak sepeda"

Bang Satun berjongkok didepan Dadan, memperhatikan kue-kue dagangan Dadan.

"Ini ga kotor-kotor amat tong, biar abang bayarin semuanya buat dimakan bareng-bareng nanti. Kebetulan dagangan cincau abang nih hari laris manis tanjung kimpul".

Dadan terdongak, dimatanya saat ini wajah bang Satun terlihat tampan luar biasa dengan cahaya mengelilingi sosoknya, tersenyum kepada Dadan, layaknya malaikat penolong yang turun ke bumi.

"Terima kasih bang Satun"

Bang Satun mengambil semua kue-kue dagangan Dadan, memasukannya ke kantong plastik, disimpan dalam tahang yang dipikulnya.
Mereka berjalan beringingan, pulang menuju gang Cincau.
Ikhlas berbagi kepada sesama.

**

Tahang : Tong terbuat dari kayu untuk wadah cincau
Tong : Sebutan untuk anak lak-laki

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun