Dadan dan adiknya Giri tinggal bersama Ibunya, mak Pengki. Bapak Dadan sudah lama meninggal dunia saat keduanya masih sangat kecil, dengan begitu untuk biaya hidup sehari-hari mengandalkan hasil berjualan panganan mak Pengki keliling kampung.
**
Suatu hari Dadan tak kunjung pulang, biasanya menjelang Juhur dagangan habis dan Dadan sudah kembali ke rumah. Tapi hari ini sudah hampir jam 14:00 Dadan tidak pulang juga. Mak Pengki khawatir terjadi apa-apa dengan Dadan.
Ditanyakannya keberadaan anaknya pada setiap tetangga yang dijumpainya, juga kepada  beberapa penjual cincau,  barangkali bertemu Dadan saat keliling tadi.
"Apa bang Juki bertemu Dadan waktu ngider jualan cincau tadi?"
Mak Pengki mencoba mencari tahu dari Bang Juki, salah seorang penjual Cincau.
"Saya hari ini ga banyak ngider mak, baru mangkal di SDN 01 langsung habis, Alhamdulilah. Memangnya Dadan gantiin mak jualan?"
"Iya. Mak kuatir kenapa-kenapa, sudah jam segini belum balik".
**
Di gang Jamblang, Dadan tertunduk lesu memandangi baskom kue-kue dagangannya, masih ada setengahnya belum laku terjual. Tadi saat sedang berjalan menjajakan dagangannya, Dadan terjatuh ketabrak sepeda, baskom kaleng menggelinding gedombrangan, kue-kuenya berserakan dijalan.
Dadan memunguti kue-kue yang berserakan, mengumpulkannya kembali ke baskom, berjongkok dipinggir jalan, tertunduk menatapi baskomnya dengan kue-kue yang berantakan didalamnya.
"Gimana bilang ke mak, kuenya masih banyak tapi tidak bisa dijual?"
Dadan bergumam sambil mengucek-ngucek matanya, entah karena debu atau karena Dadan menangis. Terbayang wajah Ibunya yang sedang sakit.
Bang Satun lewat didepan Dadan, menghentikan langkahnya, tampaknya tahangnya sudah kosong, pertanda laris manis dagangan cincaunya.
"Lha tong, lu ngapain nangis dipinggir jalan?, itu dagangan mak lu kenapa?"