"Membangun kemampuan mencintai berarti membangun kemampuan produktif dalam diri kita. Menjadi seorang pecinta sejati berarti menjadi seorang produktif yang selalu berorientasi bukan hanya pada proses, melainkan juga hasil akhir. Produktivitas adalah indikator kematangan seorang pecinta sejati. Seorang pecinta yang tidak produktif, adalah pohon rindang yang tidak berbuah". Begitulah sepenggal paragraf yang aku baca dari buku serial cinta. Aku merenungi makna menjadi produktif. Apa yang dimaksud dengan produktif disini?
Apakah ketika aku memberikan pelayanan kepada suamiku sudah cukup menunjukkan bahwa aku telah produktif dalam mencintainya? Apakah ketika aku menghormatinya sebagai suami sudah cukup bagiku untuk menunjukkan cintaku padanya? Nyatanya, bukannya kian menggelora rasa mencintai itu, melainkan semakin surut dan layu. Apakah mencintai adalah dengan ungkapan romantisme semata? Nyatanya, banyak orang yang dikenal romantis, tetapi karam juga pernikahannya. Lalu, bagaimana kemampuan mencintai yang sebenar-benarnya?
Ternyata, kemampuan mencintai bukan dengan pelajaran menguntai kata-kata cinta. Kemampuan mencintai hanya dapat tumbuh ketika kita mampu mencintai diri sendiri. Kita mampu mengembangkan diri sendiri, yaitu dengan mengubah semua potensi diri menjadi lebih bermanfaat dan menjadi sumber produktivitas. Mengapa? Karena kemampuan mencintai adalah pekerjaan berat. Kemampuan mencintai akan berakibat mengubah orang menjadi lebih baik. Dan mengubah seseorang menjadi lebih baik bukan pekerjaan mudah. Hal itu hanya akan tercapai ketika "kita" memiliki banyak sumber-sumber produktivitas. "Kemampuan mencintai adalah kerja dari dalam ke luar. Bila kita ingin bisa mencintai pasangan kita dengan benar, maka kita harus mampu keluar dari diri sendiri menuju orang lain (pasangan ktia). Tapi jauh sebelum seseorang mampu keluar dari dirinya sendiri, ia harus masuk ke dalam dirinya sendiri. Sedalam mungkin. Â Pelajaran cinta adalah pelajaran tentang bagaimana kita masuk ke dalam diri sendiri untuk kemudian keluar dengan cara yang lain". Begitu lanjutan Anis Matta dalam serial cintanya.
Apakah itu artinya, pada saat kita sudah semakin produktif dan positif, kemampuan mencintai akan hadir dengan sendirinya? Ternyata tidak berhenti disitu. Nyatanya, banyak orang yang produktif, bermanfaat bagi orang lain, tetapi banyak juga yang karam pernikahannya. Â Mengapa ini bisa terjadi? Karena kemampuan mencintai hanya dibangun oleh salah satu pihak, tidak bersifat mutual, tidak saling berkohesi antar pasangan. Benar memang kemampuan mencintai harus diawali dengan pertumbuhan value diri. Seperti halnya dari sudut pandang ekonomi, barang-barang yang bernilai, yang lebih mahal harganya, adalah barang-barang yang memiliki value added, nilai tambah. Diri kita akan semakin mahal, ketika memiliki nilai tambah yang berbeda dari orang lain. Kita akan selalu respek terhadap orang-orang yang memiliki nilai tambah. Seseorang yang berkarakter dan memiliki prinsip, akan selalu menarik. Semakin kita respek kepadanya, semakin kita ingin mengapresiasi segala sisi kehidupannya. Maka respek dan apresiasi adalah pekerjaan jiwa para pecinta.
Anis Matta kembali menuliskan, "Setiap hubungan jangka panjang hanya bisa bertahan kalau ia dibangun dari respek dan apresiasi. Respek dan apresiasi kepada diri sendiri, membuat kita mampu menghargai dan mengapresiasi orang lain. Tapi respek dan apresiasi itu lahir dari fakta bahwa memang ada "sesuatu" yang berharga yang kita miliki sehingga patut kita dan orang lain hargai. Fakta itu harus nyata. Karena respek dan apresiasi itu adalah respon jiwa yang natural terhadap sesuatu yang juga natural. Ini tidak bisa dipaksakan melalui tradisi yang kita sebut dengan basa-basi". Maka jelas bahwa kemampuan mencintai harus ditumbuhkan dari "potensi diri yang murni dan saling berkohesi". Potensi yang murni ini akan melahirkan sikap respek dan aspresiasi. Jika dua insan sama-sama memiliki value dan saling respek dan mengapresiasi maka begitulah rasa "cinta" itu akan terbukti. Sama halnya dengan Nabi Muhammad SAW dan Khadijah. Keduanya memiliki nilai dan harga, sehingga pertemuan cinta mereka menjadi legenda cinta yang abadi.
Sampai disini aku merenungi, tugasku saat ini adalah mendapati potensi diri yang harus aku kembangkan. Potensi diri yang lahir bersama sikap tulus dan ikhlas. Potensi diri yang memberiku kekuatan untuk mampu mencintai pasanganku. Potensi diri yang tumbuh, akan menarik pasangan untuk juga tumbuh. Ketika sama-sama bertumbuh, maka respek dan apresiasi akan lebih mudah saling diberikan. Ketika sudah saling respek dan apresiasi maka cinta akan lebih bertahan dalam jangka waktu yang lama. Lalu, kira-kira aku harus mulai darimana ya untuk mengembangkan potensi diri?? Wah.. mari kita berpikir lagi ^,^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H