Tepat tujuh tahun yang lalu, pagi hari yang tidak seperti biasanya. Selepas bangun tidur, perasaan gelisah, harap, takut, senang, menyatu dalam bilik hati yg tak bisa ku jelaskan. Denting jarum jam berjalan detik demi detik, mengumpulkan waktu seiring hari yang mulai terang. Tak lepas dari dzikir, aku berharap semoga hajat besar hari ini berjalan lancar dan penuh khidmat.
Sungguh proses yang sangat cepat untuk mempersiapkan diri penuh yakin pada gerbang pernikahan. Dua bulan sebelumnya, seorang pria menemuiku dalam balutan kemeja dan celana jeans. Laki-laki yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Jangankan mengenalnya, melihatnya pun aku belum pernah. Dan laki-laki inilah yang akan dikenalkan denganku. Laki-laki yang dari namanya masih asing di telingaku.
Dua bulan kemudian, kami bersepakat untuk melangsungkan akad nikah tanggal 24 Desember 2017. Memang terlalu cepat, tapi begitulah sunnahnya bukan? Tidak perlu berlama-lama, jika dua insan dan dua keluarga sudah menyepakatinya.
Dan di hari pelaksanaan akad, walau masih sedikit keraguan menyambangi hati, aku meyakinkan diri bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Beberapa kali terbersit, apakah dia lelaki terbaik untukku? Apakah dia bisa menjadi imam terbaikku? Apakah kami bisa menjadi sahabat dan sevisi menjalani pernikahan ke depan? Apakah dia bisa menerima segala kurangku? Dan apakah dia bisa memahami dan mencintaiku sepenuh hatinya? Karena, kami memang belum saling mengenal sama sekali. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menghujaniku di kamar pengantin, ketika laki-laki itu mengucap ijab di halaman rumah.
Hari ini, tepat tujuh tahun usia pernikahan kami. Belum terlalu lama jika kami melihat dari sudut pandang kematangan berumahtangga. Tapi juga tidak sebentar, jika kami melihat dari derai air mata yg pernah terjatuh. Aku baru ingat, dalam tujuh tahun pernikahan, tak pernah sekalipun kami merayakannya berdua. Bahkan, setiap tahun yang terjadi adalah kami terpisahkan jarak. Aku di Lampung, dan suamiku di Bekasi. Jangankan makan malam romantik dengan hiasan lilin dan seikat bunga, beberapa kali bahkan kami melaluinya tanpa berkirim pesan, sekedar saling mengingat pernikahan agung yang terjadi tujuh tahun lalu.
Apakah ini artinya, kami tak pernah merasa istimewa dengan pernikahan kami? Atau karena tak pernah ada seremonial, sehingga kami menganggap biasa saja setiap anniversary yang terlewati. Atau bisa juga, karena minimnya usaha kami membangun dan menjaga ikatan pernikahan, sehingga hari ini seperti hari-hari biasa. Oh ya, aku juga baru tersadar, sejak pernikahan terjadi dan aku melahirkan anak-anak, kami bahkan tak pernah pergi berdua. Kepergian yang disengaja untuk saling membonding hati. Kami juga sangat jarang untuk sekedar bicara dari hati ke hati. Saling bertukar rasa tentang menjalani pernikahan ini. Atau merevisi dan saling menguatkan visi dan misi pernikahan ini.
Tujuh tahun pernikahan, aku merasa bangga bisa bertahan sejauh ini. Teringat di tahun ke enam, rasanya sungguh susah payah aku menguatkan hati untuk bertahan dalam ikatan suci ini. Jarak yang terlalu jauh, pertemuan yang minim, sentuhan-sentuhan dan tatapan-tatapan penuh arti selayaknya pasangan Dimas Seto dan Dhini Aminarti yang jarang terjadi, sungguh bagiku menjadi lara yang terus menggerus keteguhan yakin ku. Aku kesepian. Merasa sendiri tanpa pasangan. Dan berusaha mandiri dengan segala kesedihan atau kepayahan yang aku alami.
Tujuh tahun pernikahan, kami memang saling berupaya untuk menjaga komunikasi. Saling terhubung melalui chating dan video call dari aplikasi. Tapi aku merasa ikatan hati diantara kami kian hambar. Bunga-bunga asmara semakin mati. Kekaguman pun mulai menghilang. Walau demikian, kami masih saling percaya satu dengan yang lain. Kami masih bisa menjaga diri kami masing-masing. Namun, pertanyaan ini terus menggelitikku. "Apa hakikat kamu membangun rumahtangga?" Hingga anak mau tiga, masih sendiri-sendiri bertinggal. Hingga anak mau tiga, visi misi rumah tangga, tak pernah kami evaluasi. Bukankah kapal yang berlayar harus memiliki tujuan? Bagaimana jika tujuan itu tak ditentukan diawal? Atau ketika kapal terkena karam di lautan, tidak adakah upaya konsolidasi antara nahkoda dan penumpang untuk menyelamatkan perlabuhan mereka?
Tujuh tahun pernikahan, aku berharap semakin kuat menjalani bahtera ke depan. Aku masih berharap, menjalani pernikahan ini bagaikan taman syurga duniawi. Tidak merasa sendiri, dan tidak merasa sepi. Aku berharap, komunikasi antara aku dan suamiku ke depannya semakin baik. Barangkali karena aku kurang menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang, maka aku merasakan juga demikian. Barangkali karena aku terlalu banyak menuntut sehingga aku merasakan patah hati yang berkali-kali. Â Barangkali aku terlalu berekspektasi tinggi, sehingga aku terjatuh dari mimpi-mimpi. Barangkali karena aku terlalu tidak sempurna, sehingga kesempurnaan pernikahan itu sulit aku dapati. Akan tetapi pernikahan memang tidak pernah ada yang sempurna bukan?
Tujuh tahun pernikahan, aku semakin merenungi, kemampuanku dalam mencintai. Apa menurutmu arti mencintai? Kata orang, perempuan tidak akan sanggup mencintai, lebih baik pilih dicintai. Namun, tak semudah memilih barang di e-commerce lalu masuk keranjang, perjalanan pernikahan terkadang menuntut seseorang untuk melakukan aksi mencintai terlebih dahulu, baru ia akan menerima reaksi jawaban dari cinta itu. Ya, meskipun harus menunggu waktu yang lama. Maka aku ingin bertanya pada diriku sendiri. Sebagaimana kemampuanku dalam mencintai suamiku?
Aku menyibak buku-buku di rak yang penuh dengan debu. Buku-buku yang tertata, tapi jarang ku sambangi untuk ku baca. Aku ambil salah satunya, dan aku menemukan serial cinta karya Anis Matta. Aku terlarut dalam setiap tema yang dibahas. Anis matta mengajakku untuk kembali memaknai arti cinta. Dan aku menemukan jawaban bagaimana seharusnya seseorang mencintai dengan kemampuannya. Bagaimana seorang pecinta sejati harus bersikap pada "dia" yang dicintainya.