KSTJ yang terdiri atas organisasi nelayan, akademisi, mahasiwa, perempuan, dan aktivis lingkungan hidup. Selama proses moratorium KSTJ tidak pernah didengar pendapatnya, berbagai surat penolakan reklamasi dan berbagai upaya informasi publik tidak pernah direspon, ini adalah sikap negatif dari pemerintah kepada masyarakat, demikian Tigor memaparkan. KSTJ, lanjut Tigor mempertanyakan alasan Luhut mencabut moratorium. Sikap ini sangat berbeda dengan yang terjadi pada tanggal 30 Juni 2016. Saat itu Menko Kemaritiman Rizal Ramli mengumumkan ke publik telah terjadi pelanggaran berat atas pembangunan pulau reklamasi, khususnya pulau G.
Dampak Pencabutan Moratorium Reklamasi
Dampak buruk dari dicabutnya moratorium ini, KSTJ mengingatkan pada pemerintah bahwa dampaknya tidak hanya dirasakan di daerah reklamasi, akan tetapi juga di daerah asal pengambilan material. Diperkirakan, akan muncul konflik agraria, kerusakan lingkungan dan krisis iklim.
Saat moratorium reklamasi, kata Tigor, KSTJ menemukan fakta terjadi peningkatan jumlah tangkapan, baik ikan maupun kerang hijau, yang tentunya berdampak pada kehidupan nelayan.
Intinya, pencabutan moratorium reklamasi ini hanya terkait dengan administrasi tanpa melibatkan secara partisipatif stakeholder masyarakat. Seperti misalnya di lapangan para nelayan merasa dirugikan, dan hanya menguntungkan para pengusaha besar.
Reklamasi Dalam Sudut Pandang Islam
Dalam memandang masalah reklamasi, Islam mempunyai sudut pandang tersendiri jauh sebelum adanya undang-undang yang berlaku dan pelaksanaan reklamasi dibelahan bumi manapun.
Reklamasi memiliki kesamaan makna dengan istilah Al Islahat Al Aradhi Al bahriyah atau memperbaiki tanah yang ada di laut. Adapun kitab yang membahas hal ini adalah kitab Al Kharaj karya Abu Yusuf yang hidup di jaman Kahilafah Umar bin Khattab dan Al Amwal karya Abu Ubaid di jaman Khalifah Harun Al rasyid dengan menggunakan istilah Ihya Al-Mawat.
Ihya Al-Mawat secara etimologi memiliki arti menghidupkan yang mati, namun maksud sebenarnya adalah menghidupkan tanah yang mati (Ihya Al-arddh al-mawat). Istilah ini memiliki perluasan makna, yaitu tak hanya tanah mati berupa hutan belantara saja yang menjadi objek, namun laut, sungai bahkan  kutub sekalipun masuk ke dalamnya.
Setidaknya ada tiga sudut pandang Abu Ubaid mengenai Ihya al-mawatyang dibahas ke-33 dalam karyanya, antara lain :
- Seseorang mendatangai wilayah mati, kemudian menghidupkan sampai muncul aktivitas kehidupan di situ. Sehingga dia berhak atas tempat itu.
- Pemerintah memberikan wilayah yang tidak terurus kepada perorangan atau swasta untuk dikeloladan dihidupkan dikenal dengan istilah iqtha. Maka pemerintah tidak berhak atas tempat itu lagi dan menjadi kepemilikan orang yang menghidupkan tempat tersebut.
- Seseorang yang membuat patok/batas tanah kemudian dia mengklaim bahwa itu miliknya dan melarang orang lain mengakui kepemilikan atas tanah tersebut.
Abu Ubaid melandaskan hal ini pada hadist Rasululloh Saw :