Pendidikan dianggap sebagai salah satu pilar utama dalam membangun demokrasi yang sehat. Di Indonesia, termasuk daerah seperti Dompu, banyak yang beranggapan bahwa pendidikan yang berkualitas dapat memperkuat demokrasi dengan menciptakan masyarakat yang sadar akan hak dan kewajiban mereka. Namun, apakah benar pendidikan memiliki peran sebesar itu dalam mengawal demokrasi, ataukah ini hanya sebuah ilusi yang tidak dapat diwujudkan?
Di Dompu, pendidikan masih sering dipandang sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan yang terbatas pada penguasaan kurikulum, bukan sebagai sarana untuk melatih keterampilan kritis dan analitis yang dibutuhkan dalam demokrasi. Banyak sekolah di daerah ini mengajarkan nilai-nilai patriotisme dan rasa nasionalisme yang kuat, namun sering kali mengabaikan pentingnya pemikiran bebas, diskusi terbuka, dan kebebasan berbicara. Padahal, elemen-elemen ini adalah fondasi bagi terciptanya masyarakat demokratis yang aktif.
Sebagai negara dengan sistem pemerintahan demokratis, Indonesia seharusnya bisa menggunakan pendidikan untuk menumbuhkan kesadaran politik dan partisipasi aktif warga negara. Namun, kenyataannya, pendidikan yang ada sering kali tidak memfasilitasi siswa untuk memahami pentingnya hak pilih atau cara menyuarakan pendapat mereka secara sah dalam proses demokrasi. Di Dompu, misalnya, banyak pelajar yang belum sepenuhnya memahami makna demokrasi dan bagaimana cara mereka dapat berperan di dalamnya. Namun, ada juga optimisme yang menganggap pendidikan di Dompu, meskipun penuh tantangan, bisa menjadi agen perubahan untuk mendorong terbentuknya masyarakat yang lebih demokratis. Sekolah-sekolah mulai mengadaptasi pendekatan yang lebih inklusif, seperti mengajarkan cara berpikir kritis dan mendiskusikan isu-isu sosial serta politik dalam ruang kelas. Hal ini memberi harapan bahwa melalui pendidikan, masyarakat Dompu bisa lebih menghargai pluralisme, kebebasan berpendapat, dan hak-hak asasi manusia.
Kendati demikian, pendidikan yang ada masih dibatasi oleh kurikulum yang sangat terstruktur, yang sering kali mengabaikan keterampilan soft skills, seperti kemampuan berdialog, bertukar pendapat, dan berpikir terbuka. Demokrasi membutuhkan masyarakat yang tidak hanya tahu bagaimana memilih pemimpin, tetapi juga tahu bagaimana mempertanyakan keputusan-keputusan yang diambil oleh pemimpin mereka. Tanpa kemampuan ini, pendidikan hanya akan menjadi sarana untuk mencetak warga negara yang patuh tanpa kesadaran kritis terhadap apa yang terjadi di sekitar mereka. Selain itu, keterbatasan akses pendidikan di Dompu juga menjadi kendala. Sekolah-sekolah di daerah ini sering kali kekurangan fasilitas yang memadai, seperti buku, teknologi, dan pelatihan bagi para guru. Hal ini menghambat perkembangan potensi siswa yang seharusnya bisa lebih aktif dalam memahami sistem demokrasi dan berpartisipasi dalam proses-proses politik. Tanpa dukungan tersebut, pendidikan lebih cenderung berfungsi sebagai formalitas yang tidak mampu menggugah pemikiran kritis yang diperlukan untuk sebuah demokrasi yang matang.
Pendidikan di Dompu dapat dan harus lebih dari sekadar pengajaran kurikulum dasar. Ia harus menjadi jalan bagi masyarakat untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas tentang dunia politik, kebebasan berbicara, dan bagaimana mereka dapat mempengaruhi perubahan di sekitar mereka. Dengan melibatkan elemen-elemen seperti pendidikan kewarganegaraan, keterampilan berpikir kritis, dan pemahaman tentang hak-hak politik, pendidikan dapat menjadi alat untuk membangun demokrasi yang lebih kuat. Agar pendidikan dapat memainkan peranannya dalam demokrasi, pemerintah daerah dan pusat perlu bekerja sama untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Dompu. Penambahan pelatihan bagi para guru tentang cara mengajarkan nilai-nilai demokrasi secara praktis, serta penyediaan akses terhadap sumber daya pendidikan yang lebih baik, menjadi langkah penting yang harus dilakukan. Pemerintah juga perlu mendukung pengembangan kurikulum yang tidak hanya fokus pada aspek akademik, tetapi juga mencakup pembelajaran tentang hak dan kewajiban dalam sebuah negara demokratis.
Namun, harapan untuk mewujudkan demokrasi melalui pendidikan tidak akan tercapai jika kita terus mengabaikan ketimpangan sosial dan ekonomi yang ada. Pendidikan yang adil dan merata adalah salah satu kunci untuk membangun demokrasi yang sehat. Di Dompu, seperti halnya di daerah lain, perbaikan dalam kualitas pendidikan harus disertai dengan upaya mengurangi ketimpangan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Tanpa ini, pendidikan tidak akan mampu mengubah struktur sosial yang selama ini menghambat pembangunan demokrasi.
Pada akhirnya, pendidikan di Dompu memiliki potensi besar untuk membangun demokrasi, namun tantangan yang ada tidak boleh diabaikan. Apakah pendidikan ini akan menjadi harapan atau ilusi bagi masyarakat Dompu untuk mencapai demokrasi yang lebih matang, tergantung pada bagaimana kita sebagai bangsa mendesain dan melaksanakan kebijakan pendidikan yang inklusif, berkeadilan, dan mampu memicu perubahan sosial yang positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H