Belakangan ini, isu kriminalisasi KPK kembali mencuat. Itu yang ada di bayangan public tentang apa yang terjadi. Sementara itu, sedikit yang menganggap adanya kriminalisasi terhadap Polri. Bagi presiden Jokowi, terjadi kriminalisasi kepada kedua-duanya, hingga ia pun mengimbau, “Jangan ada kriminalisasi Polri dan KPK”.
Tapi dalam merespon apa yang terjadi pada tubuh masing-masing lembaganya, mereka punya cara bersikap sendiri-sendiri. Polri dengan bijak mengatakan, tidak ada kriminalisasi pada kasus Bambang Gunawan. Atau bisa dibilang jaga-jaga untuk mengatakan seperti itu.
Sedangkan KPK, tampak lebih emosional. Tangis Abraham Samad dan Bambang Widjojanto tak terbendung, lantas mengatakan dengan lantang, “Ada upaya penghancuran KPK!”. Wuish galaknya. Para aktivis pun sepakat lalu menganggap ini merupakan “Cicak versus Buaya” jilid 2.
“Cicak vs Buaya”, ilustrasi yang pernah efektif membuat KPK terlindungi. Ilustrasi yang dilahirkan polisi, tapi menjadi senjata opini untuk menguatkan KPK dan melemahkan wibawa Polri, di mata warga Indonesia. Namun benarkah ilustrasi itu disematkan kepada keduanya. Mari kita runut secara sederhana.
Cicak, di mana-mana ada cicak. Di rumah ada cicak. Di tembok-tembok ada cicak. Di pagar ada cicak. Di pot bunga dan sebagainya ada cicak. Cicak adalah simbol kecil dan populasinya banyak. Maka cicak di sini adalah masyarakat.
Dahulu kita menganggap KPK adalah cicak, karena kita menganggap mereka adalah bagian dari kita. Ekspektasi besar kita seolah terwakili oleh KPK, suara rakyat adalah suara KPK. Tapi benarkah KPK adalah cicak?
Saya lebih senang menyebutnya KPK adalah Komodo. Komodo reptil yang gesit, ekslusif, dan liurnya mematikan. Namun dia adalah hewan paling primadona, sebab ia sangat langka di muka bumi. Itulah KPK sesungguhnya, gesit, eklusif, dan lidahnya berbahaya.
Seperti komodo lidah dari KPK memang berbahaya. Cobalah lihat di gedung KPK. Siapa saja yang mereka sebut sebagai tersangka, meskipun belum menjadi terdakwa, nama mereka sudah tercoreng. Tak ada yang selamat. Sampai ada adagium nyinyir, “Kalau sudah KPK yang bicara, tak ada yang selamat”. Bukan hanya soal tersangka, parahnya, siapapun saksi yang masuk di gedung KPK (disebut KPK,red), pasti namanya akan memburuk. Tak ayal para wartawan di tangga KPK memburu pertanyaan menohok, “Apakah statusnya akan naik menjadi tersangka?”.
Faham akan hal itu, bahkan Mahfud MD, pernah buru-buru mengklarifikasi kedatangannya ke KPK, adalah sebagai saksi ahli. Sang pangeran hukum pun, khawatir kalau-kalau namanya membusuk hanya gara-gara masuk ke kantor KPK sebagai saksi ahli. Luar biasa pengaruhnya.
Jangankan itu. Festivalisasi keluarga tersangka KPK, atau juga lingkar asmara tersangka jadi bulanan-bulanan media. Diliput sedemikian rupa. Padahal sudah bukan di gedung KPK, misalkan pada saat menjenguk di rutan, dan tidak ada pula hubungannya dengan korupsi.
Wallahu’alam, apakah ada tersangka korupsi versi KPK yang sesungguhnya tidak bersalah. Namun karena opini publik terhadap mereka, mereka sudah tidak terselamatkan sama sekali. Karena public menghakimi lebih awal, akhirnya Hakim pun khawatir bila membebaskannya, karena berdampak pada persepsi tentang hakim. Siapa juga yang berani dihakimi busuk oleh jutaan masyarakat Indonesia.
Seperti komodo, jumlahnya pun tidak banyak. Bisa dibayangkan bila komodo dikembang biakan di semua daerah. Mungkin awalnya setuju dan senang, tapi akhirnya karena berbahaya, komodopun diminta dimusnahkan.
Sudah benar, komodo cukup di satu daerah yaitu Papua. Cukup pula, KPK hanya di Jakarta (pusat). Apabila ada di masing-masing daerah, tentu kita tidak akan menjamin politisasi KPK akan steril. Publik yang tadinya memiliki ekspektasi besar kepada KPK bisa antipati, karena menganggap kinerja di daerah sangat busuk. Apalagi bila KPK diperhadapkan pada kasus-kasus Pilkada. Bisa-bisa pendukung massa Pilkada mengamuk di KPK daerah dan hilang kepercayaan sama sekali. Ujungnya, berdampak pada nasib pemberantasan korupsi .
Beralih ke buaya. Seperti komodo, buaya juga berbahaya. Jikalau komodo tampak kokoh dan gagah dengan bentuk bodinya, maka lain dengan buaya, dia tampak menakutkan. Tubuhnya yang bergerigi dan taringnya yang tajam, sama hal dengan polisi, tampak menyeramkan.
Dalam menerkam mangsanya, buaya persis polisi, diam-diam lalu tiba-tiba, hap! Kita ditangkap atau paling banter ditilang. Di jalan, biasanya tiba-tiba, loh kok ada polisi.
Publik hingga kini masih takut dengan polisi, merasa akan hati-hati berbuat salah, bahkan berbuat baik bila ada polisi di tengah-tengah mereka. Namun sekalipun sama-sama berbahaya, kita lebih senang dengan komodo, karena alasan tadi, langka. Sedangkan buaya, hampir-hampir ada di semua sungai besar di Indonesia. Itulah makanya dia bisa dianggap menakutkan karena populasinya lebih banyak.
Dan siapakah reptile ular yang saya sebutkan di sini. Adalah para politisi. Ular sering disimbolkan dengan hewanyang menakutkan dan licik. Meski ditakuti, bila dibandingkan dengan hewan-hewan sebelumnya ularlah hewan yang paling dibenci. Seperti politisi, ular populasinya lebih banyak, dan lebih banyak tampil di media di banding hewan-hewan lain.
Sebenarnya, bisa jadi ular baik, bisa jadi ular galak dan berbahaya.Makanya ular itu adalah hewan yang paling eksotik dibanding reptile-reptil lain.
Ular tidak akan mampu mengalahkan komodo dan buaya. Seperti politisi pula, banyak yang tidak bisa menantang polisi, apalagi KPK. Sebab dua hewan itu lebih besar. Ular apakah yang mampu mengalahkan komodo dan KPK? Yaitu ular yang lebih besar. Begitulah ular akan menjadi penguasa semuanya jikalau dia lebih besar. Politisi akan membuat polisi dan KPK keok, bila politisi yang dimaksud sangatlah besar. Siapakah politisi besar itu, semoga Anda bisa tebak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H