Mohon tunggu...
Ilham Muhammad
Ilham Muhammad Mohon Tunggu... -

Lagi nyari kerja . . . haahha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gunung Api itu Bernama Idee

15 Maret 2014   19:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:54 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalanan tak seperti biasanya. Malam itu tak hanya selimut hawa dingin, selimut abu pun menutupi sepanjang punggung “ular aspal”. Pada genting yang berjejal, pada pucuk pohon yang sebentar lagi mungkin bertumbangan, jentik-jentiknya masih mengapung di bawah pendar bulan.

Abu vulkanik dari letusan Kelud yang beberapa saat sebelum amuk terus ditingkatkan status bahayanya, mencapai beberapa kota jiran yang jaraknya hingga ratusan kilometer dari Kabupaten Kediri—salah satu sisi Kelud bermukim. Sebelumnya, Sinabung lebih dulu muntah. Paparan awan panasnya menelan korban jiwa dan memaksa ribuan penduduk minggat. Tercatat, Indonesia memiliki 127 gunung api aktif yang merupakan jalur cincin api pasifik. Merapi, salah satu yang paling aktif.

Eropa tak semeriah Indonesia jika menyentil tentang “perut lava” itu. Tapi bukan berarti tak memendam cerita soal letus-meletus. Pada dekade akhir abad ke-20 terjadi letusan yang tak kalah dahsyat dari amuk Kelud, Merapi atau Sinabung. Penandanya adalah seorang sosialis arogan, dengan aura pemberontak, menelurkan teori yang mempreteli sistem ekonomi kapital yang dituduhnya sebagai penyebab keterasingan manusia. Ajarannya menginspirasi Wladimir Ilyic Ulyanow, alias Lenin, memermak Uni Sovyet, mengampu ideologi tandingan dari kapitalisme: komunisme. Di daratan Asia, pemikir sekaligus pendiri Republik Rakyat Cina, Mao Zedong rupanya tertular. Ia sadar akan pentingnya ajaran ini bagi masa depan negerinya.

Bak abu yang terbawa angin, Simbol palu-arit cepat menyebar dan menjadi babak baru bagi Kuba, Polandia, Bulgaria, Jerman Timur, Cekoslovakia, Rumania, hingga negara-negara di Asia seperti Korea Utara, Laos dan Vietnam, yang menyandarkan ideologi negaranya menurut ajaran Marxisme itu. Indonesia sempat tergiur untuk mencobanya, tapi gagal. Abad ke-20 mungkin akan berbeda tanpa Karl Marx—otak dari ideologi Marxisme—yang menurut Romo Franz Magnis-Suseno, ajarannya tak hanya mengubah cara manusia berpikir, tapi juga cara manusia bertindak. Letusan genosida di bawah bendera komunisme menjadi “erupsi” paling mematikan bagi sejarah kemanusiaan.

Sementara itu, FriedrichWilhelmNietzshe merasa perlu membunuh Tuhan untuk mengkritisi mandeknya nilai-nilai kebudayaan barat dan tradisikekristenan yang dianggapnya pesimistis kala itu. Tak berlebih jika para seniman, sastrawan, psikolog, bahkan filsuf berterima kasih pada ide-ide cemerlangnya, membongkar kekakuan rasionalisme. Nabi para filsuf. Demikian ia disebut.

Indonesia pun (mungkin) patut berterima kasih, ketika Albert Einstein menginspirasi lahirnya “little boy” dan “Fat man”—nama bom atom yang dijatuhkan Amerika di kota Nagasaki dan Hiroshima—yang menandai berakhirnya Perang Dunia II sekaligus membebaskan Indonesia dari cengkraman Jepang. Siapa sangka rumus E=MC² yang mahsyur itu, dimanfaatkan Amerika sehingga mengubah peta perpolitikan dunia, juga penyesalan bagi penemunya.

Eropa sepertinya memiliki jalur “cincin idee”. Yunani yang klasik dengan pemikir agungnya sekelas Socrates, Plato, Aristoteles, adalah titik koordinat mula-mula dalam skema itu. Marx, Nietzshe, Einstein juga pemikir besar lain memilih titiknya masing-masing, menjadi agen penerus rentetan tradisi pemikiran Eropa.

Idee—bahasa Jerman padanan dariide—lebih renik dari abu vulkanik. Lebih halus, namun terkadang sangat kasar. Imbasnya tak hanya merombak struktur fisik alam, tapi juga tata peradaban umat manusia. Idee pun tak selamanya berefek destruktif. Toh, tanah bekas terjangan lahar menjadi lahansubur untuk ditanami kembali.

Pada akhirnya gunung api tidak meletus serta merta. Ia butuh energi yang menggumpal waktu demi waktu. Demikian idee, tak mencuat seketika. Diperlukan momen setelah keadaan yang terus-menerus menekan, danmemaksa untuk dimuntahkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun