Mohon tunggu...
Ensevia EnchantaDadiarto
Ensevia EnchantaDadiarto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Restorative Justice di Kepolisian

6 Desember 2022   23:58 Diperbarui: 7 Desember 2022   00:15 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Restorative justice memiliki arti berupa keadilan yang dipulihkan yang berarti keadilan restoratif atau restorative justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana yang melibatkan pelaku, korban, pihak berwajib dan pihak lainnya yang berkaitan untuk bersama-sama mencari sebuah solusi penyelesaian yang adil bagi kedua belah pihak guna melakukan pemulihan atau mengembalikan tindak pidana yang dilakukan pada keadaan semula dan tidak berfokus pada pembalasan.

Restorative justice dalam peradilan pidana umumnya dilakukan dalam penyelesaian kasus Anak yang berhadapan dengan hukum seperti yang dimuat dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atau UU SPPA. Meski begitu, restorative justice juga dilakukan di kepolisian dalam penyelesaian kasusnya. Hal ini bertujuan agar tindak pidana yang tidak memiliki dampak kerugian yang besar seperti pencurian tidak berakhir di pidana mengingat kapasitas penjara di Indonesia sudah overload. Namun tentu penyelesaian ini tidak dapat dilakukan apabila pelaku tersebut merupakan residivis atau penjahat kambuhan.

Berdasarkan pengalaman penulis selama Magang MBKM di Polres Jember, proses restorative justice biasanya diawali dengan mediasi atau musyawarah dimana pelaku, korban, pihak kepolisian dan saksi yang mendampingi pelaku/korban dipertemukan untuk mencari jalan tengah atau solusi terkait permasalahan yang melibatkannya hingga munculnya kesepakatan atau permaafan dari pihak korban. Setelah kedua belah pihak memutuskan damai, pelaku dan korban kemudian menandatangani surat kesepakatan damai. Setelah itu, korban dapat mencabut berkas laporannya di kepolisian. Meski begitu, pihak kepolisian harus membuat jadwal gelar perkara untuk menentukan dapat tidaknya untuk laporan tersebut dilanjutkan.

Pada gelar perkara, pihak korban dan pelaku kembali dipertemukan. dalam gelar perkara yang penulis ikuti, gelar perkara tersebut dipimpin oleh KBO Reskrim Polres Jember. KBO Reskrim Polres Jember selaku pemimpin gelar perkara kemudian mengajukan berbagai pertanyaan seperti benar atau tidak identitas yang disebutkan, alasan pencabutan laporan dan memastikan bahwa pihak korban benar-benar ingin mencabut laporan tanpa paksaan dari pihak manapun. Setelah pemimpin gelar perkara memberikan pernyataan, pihak korban dan pelaku akan diminta keluar ruangan. Pihak Kepolisian atau unit yang bertugas dalam menangani kasus tersebut diminta untuk mempresentasikan atau menjelaskan mulai dari kronologi kasus hingga bukti telah dilakukannya mediasi antara kedua belah pihak. Setelah presentasi tersebut selesai, pemimpin gelar perkara kemudian menanyakan pendapat tiap anggota gelar yang merupakan Kanit ditiap unit yang ada di Polres Jember tentang dilanjutkan atau tidaknya kasus tersebut. Apabila anggota setuju, maka hasil dari gelar perkara tersebut akan disampaikan kepada kedua belah pihak dan laporannya dapat dicabut. Namun apabila anggota gelar menolak, maka proses kepolisian akan tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun