Itaewon, Seoul, Republik Korea
Jumat, 22 Desember 2024
Andre mengucapkan selamat tinggal kepada rekan kantornya setelah bar terakhir di Itaewon yang dia kunjungi. Dia ingin pulang ke apartemennya tanpa terjerembab di pojokan taman. “Mumpung masih siuman”, batinnya, seraya membuka ponselnya. Dia ingin melihat kembali foto istri dan bayi kecilnya di Jakarta. Tapi sebelum aplikasi WhatsApp dia dapat terbuka, notifikasi di ponsel Andre muncul. “Mendekati tengah malam begini, tumben?” pikirnya. Pesan peringatan itu singkat dan jelas:
2024-12-22 23:35
Potential missile inbound. Estimated impact on Seoul. Seek shelter immediately.
Tanpa sempat Andre memahami apa yang baru saja dia terima, beberapa detik kemudian ponselnya kembali bergetar, kali ini dari aplikasi Safe Travel Kemlu RI:
“Ancaman rudal balistik menuju Seoul. KBRI Seoul mengimbau kepada seluruh WNI untuk segera berlindung di shelter yang telah disediakan. Tetap tenang, ikuti instruksi pihak berwenang, dan hubungi hotline KBRI Seoul di +82-10-5394-2546 jika ada situasi darurat."
Di saat yang bersamaan, sirene peringatan bahaya udara menggema di seluruh penjuru Seoul. Andre memandang ke angkasa dengan gelisah, seraya mencerna rentetan kejadian ini. Namun kepanikannya berubah menjadi penyerahan diri, ketika ponselnya terjatuh saat dia melihat dua... Tidak, tiga buah kilatan cahaya di udara. Bukan bintang jatuh, karena kilatan tersebut menuju arah Andre.
“Ah... Kantor Presiden dan Kementerian Pertahanan Nasional...”, batin Andre, mengingat pesan rekannya dari Tim Gercep komunitas WNI Korsel, yang mengabarkan memburuknya situasi keamanan beberapa bulan terakhir. Andre hanya bisa pasrah. “Tuhan, aku berserah pada-Mu...”. Setelah rudal-rudal balistik Korea Utara menghunjam Seoul, cahaya putih pun memenuhi langit—sebuah kehancuran yang tak terelakkan.
---
Skenario fiktif di atas adalah gambaran ancaman nyata berupa potensi konflik nuklir yang dapat terjadi di Semenanjung Korea. Namun harus disadari bahwa ancaman nyata ini hanya membutuhkan beberapa “sekrup politis” yang lepas dari dudukannya untuk dapat terjadi, dengan skenario seperti: Apabila pemerintahan Amerika Serikat bersikap menjurus warmongering untuk mengalihkan perhatian dari masalah ekonomi domestik; Terjadinya latihan militer bersama Amerika Serikat dan Korea Selatan yang diwarnai mati mendadak mesin dan transponder sebuah pesawat penumpang yang mengarah ke dekat Korea Utara, dan diakhiri penembakan jatuh pesawat tersebut oleh militer Korea Utara; Dan mungkin, cuitan pimpinan negara yang disalah artikan oleh Kim Jong Un sebagai ancaman langsung atas kelangsungan rezimnya.
Sebagian kemungkinan-kemungkinan buruk ini termaktub dalam buku The 2020 Commission Report on the North Korean Nuclear Attacks Against the United States karangan Jeffrey Lewis. Lewis menyampaikan bahwa “...walaupun semua kejadian ini terdeteksi, diperiksa, dan selekasnya disampaikan ke rantai komando atas, sistem secara keseluruhan tidak bekerja sesuai fungsinya”, dengan penekanan dampak geopolitis dari penilaian dan kesalahan manusiawi para pejabat yang mengambil keputusan di tingkat nasional.
Data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) per September 2023, jumlah WNI di Korea Selatan adalah sebanyak 55.991 orang. Dengan puluhan ribu WNI yang tinggal dan bekerja di Seoul, Pemerintah Indonesia tentunya sangat berkepentingan atas perdamaian di Semenanjung Korea, tempat di mana Dua Korea telah lebih dari tujuh puluh tahun berada dalam status gencatan senjata, tanpa pengakhiran perang.
Sikap Pemerintah Indonesia masih sama sejak lama: menyerukan perlucutan senjata nuklir melalui diplomasi multilateral. Komunitas epistemik juga menyerukan agar Indonesia aktif mendorong penguatan Traktat Larangan Uji Coba Nuklir (Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty/CTBT) dan melibatkan ASEAN dalam menurunkan eskalasi konflik. Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu RI) juga mengajak semua pihak untuk berkontribusi terhadap penciptaan perdamaian, termasuk dengan mewujudkan denuklirisasi di Semenanjung Korea.
Dari ranah akademisi, di Seminar Nasional “Diplomasi Pertahanan Republik Indonesia Menanggapi Krisis di Semenanjung Korea” pada Desember 2017 lalu, Laksda TNI Amarulla Octavian dari Universitas Pertahanan menyampaikan usulan untuk adanya negosiasi dengan masing-masing negara Six Party Talks sekaligus untuk saling menahan diri dan memikirkan stabilitas keamanan global, guna mendiplomasikan aktivitas militer defensif kontemporer dari negara-negara di Semenanjung Korea.
Sementara itu Hasto Kristiyanto melalui tulisannya di Kompas pertengahan 2020 lalu mengusulkan agar gencatan senjata Dua Korea dibawa satu tingkat lebih tinggi melalui sebuah deklarasi perdamaian, dengan Indonesia memainkan perannya sebagai salah satu negara yang bisa diterima oleh kedua belah pihak. Mulai dari diplomasi bunga anggrek Kimilsungia pada 1965 hingga penandatanganan Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA), Indonesia telah puluhan tahun berperan aktif sebagai sahabat Dua Korea.