Mohon tunggu...
Epa Nopiani
Epa Nopiani Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tarawangsa, Kesenian Buhun Asal Rancakalong Kabupaten Sumedang

14 April 2019   20:43 Diperbarui: 1 Juli 2021   04:44 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tarawangsa, Kesenian Buhun Asal Rancakalong Kabupaten Sumedang | dokpri

Sumedang-Tarawangsa instrumen gesek yang berdawai dua yang terbuat dari kayu atau disebut Rebab. Dalam penyajiannya tarawangsa selalu diiringi dengan sebuah kacapi, kacapi adalah instumen yang berdawai tujuh yang digunakan sebagai pengiring, Tarawangsa di Rancakalong lazim disebut Jentreng. 

Awal mulanya Tarawangsa di Rancakalong hanya digunakan untuk acara syukuran Panen atau di Rancakalong disebut Rubuh Jarami Entep Pare. Sebagaimana telah dikatakan, masyarakat Sunda dengan latar belakang kehidupannya sebagai petani, kesenian ini diciptakan dan digunakan untuk melengkapi upacara yang berkaitan dengan kegiatan pertanian.

Dalam setiap upacara, tarawangsa menyandang peran vital sebagai pengiring upacara ritual untuk medatangkan Dewi Sri atau disebut juga Nyi Pohaci serta arwah-arwah leluhur (karuhun). 

Baca juga: Mengenal Sasando, Alat Musik Tradisional dari Rote NTT

Begitu banyak sesaji yang dipersembahkan untuk Dewi Sri atau Nyi Pohaci. Di daerah Rancakalaong, apabila hendak dimainkan. Instrument Tarawangsa harus diasapi dengan asap yang mengepul dari kemenyan di kukus atau parukuyan (tempat pembakaran kemenyan).

 Adapun beberapa peran yang harus ada dalam penyajian Tarawangsa, diantaranya yaitu nu boga hajat (Yang mempunyai maksud), Saehu (sesepuh laki-laki yang memimpin acara), Peribuan (tujuh orang ibu-ibu yang mendampingi saehu), Panabeuh (2 orang yang ahli memainkan Tarawangsa).

dokpri
dokpri

dokpri
dokpri

Di Tarawangsa sendiri 3 susunan pokok acara yang wajib ada yaitu Ngalungsurkeun atau disebut proses memulai acara dengan 7 orang peribuan yang menurunkan pangkonan (berbagai macam alat make up dan gabah) dan ngalungsurkeun ini dimulai dari jam 21.00 wib sampai dengan jam 00.00 wib. 

Kemudian dilanjutkan dengan acara selanjutnya yaitu Nyumpingkeun atau disebut proses menjemput Dewi Sri atau Nyi Pohaci disini 7 orang peribuan membentuk formasi lingkaran dengan di dalam lingkaran tersebut ada satu orang ibu-ibu biasanya yang mempunyai maksud dan dimulai dari 02.30 wib sampai dengan jam 03.00 langsung di lanjutkan ke acara terakhir yaitu Nginebkeun atau disebut proses dimana pangkonan yang di acara sebelumnya yaitu ngalungsurkeun di kebalikan ke tempat semula.

Adapun lagu-lagu yang terdapat dalam Tarawangsa yaitu kurang lebih 42 lagu diantaranya adalah Saur, Pangepung, Limbangan, Pamapag, Jemplang, Ayun Ambing, Panimbang, Engket-engket, Mataraman, Jemplang Panimbang, Degung, Karatonan, Guar Bumi, Pagelaran dll. Dan 7 lagu utama yang dimainkan tanpa henti di awal acara adalah Saur, Pangepung, Pamapag, Mataraman, Engket-engket, Ayun Ambing, dan Jemplang. 

Baca juga: Menatap Masa Depan Alat Musik Tradisional Karo dalam Alunan Musik Pilu

Kemudian juga ada beberapa peralatan yang wajib ada dalam Tarawangsa ini yaitu Satu Set Alat Tarawangsa yaitu Kacapi dan Rebab dengan ketentuan Kacapi tingginya 1 m dan Lebarnya 17 cm, begitupun rebab ukurannya sama dan dua alat tersebut terbuat dari kayu Jengkol. 

Kemudian Kukus/Parukuyan, Pakaian Sesepuh Laki-laki yaitu Totopong dan Pangsi, Pakaian Peribuan yaitu Kebaya, Samping, dan Sanggul, Keris, Selendang 5 warna, 2 buah Gelang Kuningan dan 2 buah koin, 1 pasang Topeng yang di pasangkan dengan 2 geugeus Padi Ranggeuyan dan di bentuk menjadi Dewi Sri dan Dewa Wisnu (Nu geulis dan Nu kasep), serta yang terakhir adalah Hasil bumi atau sesaji biasanya sesaji di Rancakalong sangat Kumplit yaitu rurujakan (rujak nanas, rujak kelapa, rujak roti, rujak bunga ros dan sebagainya), selain rurujakan sesaji yang lain adalah bubur merah (bubur yang dicampur dengan gula merah), bubur putih (bubur yang polos hanya menggunakan garam), duwegan (kelapa yang masih muda), seupaheun (daun sirih, kapol, gambir, bah pinang, dan cengkeh), rokok, bako tampan, cerutu, bakakak( seekor ayam utuh yang di bakar, dan dalemanya di pepes), puncak manik ( nasi yang dibungkus daun pisang di atasnya di letakkan sebutir telur rebus), kopi pahit dan manis, the manis dan pahit, air putih, berbagai buah-buahan, dan berbagai makanan ringan yang terbuat dari beras atau ketan, seperti Kupat (beras yang di bungkus daun kelapa lalu di kukus), leupeut (semacam lontong), tangtangagin (semacam lontong yang dibentuk segitiga), papais tipung merah dan putih ( sama beras di bungkus daun pisang namun memakai gula dan tidak), gulampok (tape ketan di bungkus daun jambu), wajit, opak, ranginang, kelepon, kolontong, angling, dan lain-lain.

Kemudian selain untuk ritual untuk syukuran panen di Rancakalong terdapat dua acara lainnya yang diiringi oleh Tarwangsa yaitu Bubur Suro dan Ngalaksa yang fungsinya sama yaitu untuk ungkapan rasa syukur terhadap Dewi Sri, acara ini ada kurun waktu pelaksanananya. Untuk bubur suro sendiri diadakan setiap setaun sekali awal bulan Juli di setiap daerah di Rancakalong sedangkan Ngalaksa diadakan 3.5 tahun sekali dan hanya di laksanakan di daerah Sukabirus Cibunar Rancakalong. 

Bubur Suro sendiri biasanya diadakan selama dua hari siang malam sekitar tanggal 10 bulan suro (Muharam). Seluruh rangkaian di iringi dengan tarawangsa, warga kampung membuat bubur secara kolektif dari berbagai jenis hasil bumi, yaitu beras sebagai bahan pokok (lulugu), umbi-umbian (singkong, ubi, talas, dan ubi jalar), jagng, waluh, kacang-kacangan, sayur-sayuran, buah-buahan (terutama berbagai jenis buah pisang), dan gula (merah dan putih). Setelah matang dan mengental bubur tersebut di bungkus dan di bagikan kepada warga kampung. 

Baca juga: Eksistensi Alat Musik Tradisional "Sape" di Zaman Now

Sementara, Nalakasa adalah acara terbesar di Rancakalong, seperti halnya bubur suro seluruh rangkaian acara ngalaksa juga di iringi oleh tarawangsa. Maka para pemain Tarwasngsa memainkan Tarwangsa secara bergliran siang dan malam tanpa henti selama seminggu. Dan Masyarakat Rancakalong Pun terus menari (Ngibing) selama seminggu siang malam (kecuali waktu sembahyang lima kali) puncak acara adalah pembuatan laksa yang dilaksanakan di hari terakhir, laksa adalah beras merah dan putih yang telah di basahi air combrang selam beberapa hari yang ditumbuk menjadi tepung dan kemudian dibungkus dengan daun congkok lalu di rebus. 

Menurut Tedi Kurniadi Seniman Tarawangsa asal Sumedang "sekarang Tarawangsa perkembangannya sudah pesat, kalau dulu hanya digunakan dalam ritual panen oleh petani sekarang berkembang yaitu untuk acara lain seperti Pernikahan, Khitanan, dan Pagelaran/pentas, dan musiknya yang dulu itu masih musik buhun sekarang sudah ada yang dikolaborasikan menjadi lebih modern. Lalu pada tahun 2017 Tarawangsa telah mendapat Penghargaan yaitu Rekor Muri degan jumlah 20 pasang Panabeuh Tarawangsa yang di adakan di Gedung Negara Kabupaten Sumedang". (12/04)

(Epa Nopiani, Dasar Jurnalistik Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia)

Sumber (Tedi Kurniadi, Seniman Tarawangsa Sumedang)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun