di pinggir jalan dekat rumah saya ada sebuah kebun yang luas. Sangat luas, sebenarnya menurut ukuran saya. kebun itu berpagar rapi. saya bisa lihat ujungnya di kejauhan, rimbun seperti hutan kecil. Tiap kali lewat saya pasti nyempetin diri melongok sekilas. Ga berani lama-lama, takut dikira punya niat jahat. Di dalamnya ada pondok dengan halaman kecil tapi bersih, 2 atau 3 petak sawah di tengahnya, berpohon-pohon mangga dan buah-buah lain yg ditanam mengelilingi sawah, dan parit kecil yang mengalir di sela pepohonan. Gambarannya mungkin terlalu keren, tapi buat saya kebun itu memang super keren.
saya sering banget membayangkan pemiliknya (saya pernah liat suatu hari, seorang bapak tua, udah kakek-kakek tepatnya, pake peci haji sedang memperbaiki pagar kebun. Saya duga dialah pemiliknya). saya bayangkan kebun itu adalah satu-satunya hartanya yang tersisa karena yg lain sudah habis terjual untuk biaya sekolah anak-anaknya dan ongkos naik haji (dua hal itulah yang biasanya menguras uang para orang tua di kampung saya). Dia rawat kebunnya dengan penuh kasih sayang, memanfaatkan setiap jengkalnya untuk menanam berbagai pohonan yang berbuah manis dan enak. Beberapa kali saya juga melihat banyak motor dan satu dua mobil nongkrong di situ. Saya bayangkan itu adalah cucunya dan teman-temannya sedang berpesta mangga, atau anak menantunya sedang menjamu kolega dengan pesta kebun.
itu bayangan yang indah.
sayangnya saya juga punya khayalan yang buruk. Kadang-kadang kalo otak saya lagi ga beres, saya membayangkan kebun itu milik salah satu pejabat penting di kampung saya dan kakek tadi hanyalah orang bayaran yang bertugas merawat kebun. Adalah lumrah dan bahkan mungkin tren saat ini, jika para pejabat di kampung saya punya kebun, atau bukit kecil, atau potongan pantai dengan pondok nyaman (untuk tidak menyebutnya villa)  yang bisa mereka, keluarga mereka dan kawan-kawan mereka gunakan untuk bersantai, berakhir pekan setelah sibuk sepanjang waktu di kantor.
menurut saya itu lifestyle. Bagian dari takdir kelam yang telah menjadikan mereka pejabat. Jadi harus ada monumen, penanda identitas. Ciri. Dan dimana lagi tempat yang bagus untuk menunjukkan status kita kalo bukan di kebun luas dan teduh, pnggir laut atau di gunung? Tinggal beli lahan-lahan itu dengan uang yang selalu ada, mempercantiknya dengan rumah mungil tapi keren, mendandani halamannya, dan voila.. jadilah pondok peristrahatan nyaman, siap dipamerkan kepada para kolega dan keluarga yang diundang di akhir pekan.
itu  sama sekali tak romantis,  jadi saya menganggapnya khayalan yang sangat buruk.
saya lebih suka bayangan yang pertama. menyenangkan banget membayangkan kebun itu dimiliki oleh seseorang yang menjaganya karena itu miliknya, seseorang yang menghargainya karena kebun itu menghidupinya, seseorang yang menyayanginya karena kebun itu membuat dia, dan anak cucunya bahagia.
saya pengen banget bisa mengambil foto kebun itu, atau melongoknya sedikit lebih lama, atau memohon agar diundang masuk untuk menjelajah. Suatu saat mungkin akan saya lakukan. Tapi mungkin juga tidak, karena itu bisa merusak semua imajinasi, dan imajinasi akan tetap seru jika tak terkontaminasi fakta yang lebih sering menyebalkan.
ujung khayalan saya adalah, semoga saja kakek itu telah membereskan semua tugas dalam hidupnya, anak-anaknya telah mandiri, kesejahteraannya dan sang istri (oh tentu saja saya membayangkan dia masih beristri. Istri yang baik dan setia, hehe..) terjamin, mereka berdua beneran udah naik haji, udah ga perlu jual tanah buat biaya ini itu, dan sekarang mereka tinggal menikmati hidup dan menjadikan kebun itu sebagai warisan turun-temurun buat anak cucunya, tempat istimewa bagi keluarga besar untuk berkumpul dan bersuka cita. Sebab jika tidak, selalu terbuka kemungkinan kebun favorit saya akan menjadi monumen terbaru bagi salah satu pejabat itu.
dan itu sama sekali tak romantis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H