Perempuan bisa ikut berperan menuju net zero emission (NZE). Salah satunya yang dilakukan para pengrajin purun daerah rawa gambut.
Cuaca saat ini memang masih tak menentu. Khususnya di tempat saya tinggal, Banjarmasin Kalimantan Selatan.
Kadang panas menyengat. Saking panas gerahnya, 5 menit setelah mandipun bisa jadi berkeringat lagi. Namun kadang, kalau sudah panas luar biasa, sorenya tiba-tiba hujan sangat deras.
Cuaca tak menentu hingga ekstrim tentu juga masih dirasakan di berbagai wilayah di Indonesia. Salah satunya karena, yang banyak disebut orang sebagai efek rumah kaca. Secara sederhana, efek rumah kaca bisa diartikan sebagai proses naiknya suhu bumi karena perubahan komposisi atmosfer. Sinat matahari tetap berada di bumi dan tidak dapat dipantulkan sempurna keluar atmosfer.
Pantulan sinar matahari dalam efek rumah kaca, melewati atmosfer bumi, yang sebenarnya disebabkan oleh zat-zat tidak ramah lingkungan, misalnya emisi karbon, yang ada di permukaan bumi. Fenomena ini berakibat merusak selimut atmosfer.
Emisi karbon memang menjadi persoalan dunia dan disebut sebagai penyebab berbagai perubahan iklim yang sedemikian cepat ini. Maka tidak heran, kalau dulu kita tahu kalau bulan yang ada akhiran "ber" seperti September-Desember adalah musim hujan maka kini tidak berlaku lagi.
Musim panas dan hujan bisa datang sesuka hati. Bahkan bisa dikatakan sepanjang tahun bisa jadi terjadi udara dengan panas yang ekstrim. Lagi-lagi penyebabnya emisi karbon yang sudah sangat berlebihan tadi.
Transisi energi akhirnya menjadi salah satu opsi yang tidak bisa ditawar lagi dan menjadi kesepakatan dunia. Indonesia juga melakukan beberapa hal penting untuk menekan emisi karbon yang tentu menjadi penyebab perubahan iklim tadi.
Semua negara sepakat transisi energi bertujuan untuk pemanfaatan energi bersih kedepannya. Indonesia mentargetkan akan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060 bahkan bisa lebih cepat.
Nah, diperkirakan Kementerian ESDM, emisi pada pembangkit memang akan nol di tahun tersebut tetapi masih ada 401 juta ton CO2e yang berasal dari sektor industri dan transportasi.
Sebagai transisi menuju NZE ini, energi fosil masih akan digunakan. Misalnya penggunaan minyak ,gas bumi, batubara akan tetap ada untuk transportasi. Sebelum benar-benar hanya menggunakan kendaraan listrik dan penggunaan energi baru terbarukan (EBT).
Penggunaan batubara sebagai sumber energi , menurut kementerian ESDM, juga terus dupayakan dengan teknologi CSS/CCUS (Carbon Capture Utilizaton and Storage), pengembangan Dimethyl  Ether (DME) pengganti elpiji dan peningkatan nilai tambah mineral melalui hilirisasi dalam negeri (ebtke.esdm.go.id)
Siapa yang sangat terpengaruh pada cuaca ektrim dan perubahan iklim akibat Indonesia masih dalam tahap transisi energi ini?
Salah satunya ternyata kaum perempuan. Data yang dirilis Oxfam Indonesia, menyebutkan perempuan pedesaan di Indonesia, bisa dikatakan tulang punggung utama dari sektor pertanian dan perikanan, termasuk mengontrol soal kualitas dan penentu produktivitas.
Oxfam ikut mendorong konsep transisi energi adil, artinya transisi energi yang kelak beralih ke EBT tersebut tidak hanya bermanfaat bagi sebagian kalangan tapi juga memberikan keadilan dan kesempatan yang sama, termasuk perempuan dan kelompok rentan.
Masih menurut data Oxfam, lndeks Kesempatan Ekonomi Perempuan Indonesia pada tahun 2012 adalah 47,5 dari jumlah keseluruhan 100 atau peringkat ke-85 dari 128 negara dunia. Nah,dengan perubahan iklim dan cuaca ektrim, merupakan ancaman tersendiri bagi kaum perempuan. Terutama yang tinggal di daerah pesisir dan pulau kecil misalnya perempuan yang tinggal di Nusa Tenggara timur (NTT).
Perubahan iklim seringkali juga berdampak pada bencana alam. Lagi-lagi perempuan yang dituntut mencari air bersih,mencari kayu sekaligus tetap ikut membantu perekonomian keluarga.
Pada masa transisi energi menuju ZNE, peran perempuan sebenarnya cukup besar. Hanya saja sering tidak ter-notice  para pengambil kebijakan di bidang energi, sehingga memang seakan-akan tidak memiliki peran penting apapun.
Padahal, yang seringkali dilupakan, perempuanlah penyedia kebutuhan energi di lingkup terkecil yaitu rumah tangga. Bahkan mereka mampu menyediakan energi alternatif ketika terjadi kelangkaan.
Baru-baru ini misalnya, ketika terjadi kelangkaan elpiji 3 kg di daerah kami, para perempuanlah yang dengan sigap beralih sementara menggunakan kayu bakar yang masih banyak di jual di daerah kami.
Mereka menyajikan segala makanan dengan sistem dibakar dan peralatan dapur juga pindah ke "dapur" dengan bahan bakar  kayu. Mereka juga menggunakan tempurung kelapa, sekam padi dan lainnya untuk "menyalakan" api untuk keperluan memasaknya. Bahan bakar alternatif ini hingga saat ini masih banyak digunakan di rumah-rumah masyarakat Kalsel.
Makin jelaslah, perempuan adalah penyedia utama kebutuhan energi dalam rumah tangga. Perempuan juga sebagai pencari sumber energi alternatif, ketika ketiadaan energi terjadi.
Berbicara tentang energi terbarukan, perempuan juga mampu mencari bahan bakar pengganti selain minyak dalam keseharian kehidupan keluarganya. Seperti menggunakan energi  sinar matahari (surya), angin, air, biomassa dan biofuel dari hutan maupun hasil pertanian.
Di wilayah rawa gambut -- banyak terdapat di Kalsel -- peran perempuan dalam mengupayakan perbaikan ekonomi keluarga dan menggunakan secara aktif energi terbarukan, juga terlihat.
Walaupun tidak disadari langsung oleh mereka, berbagai langkah kecil yang mereka lakukan, nyatanya sudah mencerminkan penggunaan secara aktif energi terbarukan, sampai upaya menjaga  kelestarian lingkungan. Misal perempuan rawa gambut yang menekuni usaha kerajinan/anyaman purun.
Purun, mata pencaharian perempuan rawa gambut
Mungkin banyak yang belum familiar dengan tanaman purun tapi cukup familiar dengan produk olahannya.
Produk dari tanaman purun ini sangat familiar di daerah saya, Kalimantan Selatan, dan sudah digunakan dari generasi ke generasi.  Di Kalimantan Selatan memang tanaman purun memang  ditemukan di beberapa kabupaten yaitu Barito Kuala, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Hulu Sungai Utara, Balangan, Tabalong.
Produk purun kini tak lagi "itu-itu saja" tetapi  sudah bisa menyaingi dan beradaptasi dengan berbagai produk kekinian.
Purun bisa dimanfaatkan untuk berbagai kerajinan. Bahkan di momen Idul Adha seperti sekarang, salah satu produk purun yaitu bakul purun sudah banyak di pesen mesjid-mesjid sebagai wadah untuk hewan qurban yang kelak akan dibagikan juga kepada mereka yang berqurban.
Tanaman purun (Lepironia articulata) sendiri merupakan tanaman yang mirip dengan rumput liar, yang merupakan anggota famili teki-tekian (cyperaceae), dan hanya dapat ditemukan di daerah rawa gambut. Lebih spesifiknya di pulau Kalimantan dan Sumatera. Ciri khas utama tanaman purun ini adalah batang lurus berongga dan tidak berdaun.
Beberapa jenis purun yang banyak ditemui di wilayah rawa/sungai Kalimantan adalah purun tikus (Eleocharis dulcis), purun danau (Lepironia articulata) dan purun bajang.
Purun merupakan bahan dasar pembuatan berbagai kerajinan.Selain bakul purun yang disebutkan diatas, purun juga diolah untuk berbagai kerajinan lain seperti tikar, topi, tas, keranjang, beragam aksesoris bahkan sedotan. Sedotan yang biasanya terbuat dari plastik, sudah bisa digantikan dengan sedotan purun.
Sebuah desa di kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), bahkan sudah bisa menjual hingga 15.000 batang sedotan purun untuk coffee shop di kota-kota besar di Indonesia.Â
Tentu fungsi purun bukan hanya buat kerajinan atau anyaman. Tanaman purun bisa juga buat pupuk alami dan bahan organik untuk biofilter / fitoremediasi, sehingga mampu menyerap unsur beracun/logam berat dari besi, sulfur, merkuri, timbal, kadmium dan lainnya yang ada di air. Salah satu yang bisa diserap adalah limbah kelapa sawit.
Perempuanlah yang bisa dikatakan sangat telaten dalam pengolahan tanaman purun ini. Apalagi purun liar tidak bisa langsung digunakan begitu diambil dari daerah rawa gambut.Purun harus mengalami proses yang bisa dikatakan panjang.
Mulai mencabut batang yang sudah panjang dan tua,biasanya berwarna hijau dan berbuah. Kemudian, batang purun  dipotong sesuai ukuran yang akan dibuat anyaman tersebut. Membuat tikar misalnya tentu lebih panjang dari membuat topi.
Batang kemudian ditaburi dengan abu /tanah liat yang diaduk dengan air. Setelah itu, purun harus dijemur sampai kering 2-3 hari sampai berwarna coklat.
Batang purun yang kering harus diikat akan memudahkan proses penumbukan. Biasanya sebelum ditumbuk, batang purun diinjak dulu sampai pipih. Ikatan tentu perlu dirapikan agar padat sampai kemudian ditumbuk, pipih dan lentur. Batang purun siap dijadikan anyaman/kerajinan.
Pembuatan purun tentu saja harus sabar. Apalagi dalam proses penjemuran. Bisa dibayangkan bila musim penghujan, penjemuran sedikit terhambat. Padahal penggunaan sinar matahari menjadi satu-satunya andalan para perempuan pembuat purun ini agar tanaman purun bisa melalui proses selanjutnya.
Selain menggunakan matahari yang bisa dikategorikan ramah lingkungan dan tidak ada emisi, produk yang dihasilkan dari purun tentu sangat ramah lingkungan.
Perempuan pembuat purun secara tidak sadar sudah menggunakan energi alternatif sinar matahari sebagai energi utama dalam pengolahan tanaman purun menjadi aneka produk.
Bahkan salah satu penelitian mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat (ULM/2022) Banjarmasin menyebutkan limbah tanaman purun danau bahkan bisa menjadi energi biomassa. Briket dari biomassa ini bisa digunakan sebagai bahan bakar alternatif yang memiliki nilai kalor yang cukup tinggi. Sayangnya penelitian ini tampaknya belum ditindaklanjuti secara serius.
Tingkatkan Partisipasi Perempuan
Partisipasi perempuan dalan transisi energi menuju NZE memang perlu mendapat perhatian serius dari pihak yang berkepentingan. Transisi energi adil memang salah satu konsep dasarnya sehingga diharapkan  tidak ada satupun yang tertinggal atau semua terlibat, termasuk perempuan dan kaum rentan lainnya. Kemudian juga, dalam konsep transisi energi adil akan ada keberlanjutan dan ketahanan.
Keberpihakan dan keyakinan bahwa perempuan bisa terlibat dalam energi berkelanjutan ini, tentu dengan beberapa cara.
Tapi salah satu yang terpenting adalah melalui sosialisasi, edukasi maupun pelibatan secara langsung di masyarakat. Perempuan harus menjadi gerbang untuk mengenalkan lebih jauh soal energi bersih, mudah diakses hingga perlunya keberlanjutan energi buat anak cucu kita kedepannya.
Perempuan daerah rawa gambut sudah memulainya, walaupun tanpa mereka sadari. Kelak, perempuan-perempuan yang diberdayakan ini bukan hanya menjadi penopang energi berkelanjutan dalam rumah tangganya bahkan bisa jadi pelaku bisnis di era EBT.Siapa tahu,kan?
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H