Ketiga, memadukan jualan buku dan ATK. Toko seperti ini juga tampaknya masih bisa bertahan walau mungkin terus mengalami penurunan penjualan buku juga.Tapi setidaknya masih bisa bertahan dengan berjualan berbagai produk selain buku.
Intinya memang butuh inovasi dan sesuatu yang berbeda. Kalau hanya menjual buku fisik, mungkin tak begitu menarik. Pengelola toko buku tentu perlu inovasi yang lain dan barangkali mengikuti jamannya.
Seperti toko buku kitab yanga da di kota kami tadi. Mereka berpromosi juga melalui media sosial sehingga sebelum datang ke tokonyapun kita sudah bisa tahu apakah kitab yang kita cari ada di toko buku tersebut atau tidak. Pemiliknya juga dengan sabar melayani pertanyaan via WA dan nomer telpon mereka dengan gampang kita temukan di internet.
Memadukan penjualan fisik dan daring juga wajib dilakukan. Walau bagi sebagian toko mungkin bukan hal mudah melakukan hal seperti ini.Â
Mungkin toko sekelas toko buku Gunung Agung juga sudah melakukan berbagai upaya maksimal. Tetapi apa daya, biaya operasional jauh lebih tinggi dari penjualan buku-bukunya.Â
Tentu, banyak dari kita yang punya kenangan dnegan toko buku. Mulai tempat janjian dengan teman sampai tempat nongkrong walaupun tak beli buku, tapi minimal bisa numpang baca buku.
Semoga ke depannya tak ada lagi toko buku yang tutup. Agar kenangan kita terhadap toko buku masih ada dan anak cucu kita kelak tetap bertemu dengan buku fisik, tidak sekedar e-book saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H