Seorang teman secara tak sengaja juga mengatakan akan childfree di status WA-nya bila kelak menikah. Bukan tak suka anak-anak, tapi memang tak mau repot.
Benarkah memiliki anak itu merepotkan? Sebagai ibu 3 anak, saya tak pernah kepikiran sih soal repot ini. Yang jelas, ketika anak-anak masih kecil, memang sedikit ribet dengan urusan tidur yang kurang, lelah pampers, hingga urusan pengasuh anak. Nah ketika beranjak remaja, masalahnya ternyata lain lagi.
Remaja butuh perhatian lebih dan memperlakukan mereka seperti teman. Dan satu lagi, semakin besar ternyata yang jadi tantangan adalah soal biaya sekolah yang makin mahal saja.
Tapi apakah semua itu merepotkan? Buat saya dan suami tentu tidak sama sekali. Seperti halnya dulu orang tua kami membersamai masa kecil, remaja hingga dewasa ini dengan full kasih sayang dan mengupayakan pendidikan terbaik, demikian pula yang kami lakukan ke anak-anak.
Kami sama sekali tak merasa direpotkan malah merasa dipercaya oleh-Nya untuk membersarkan anak-anak dengan sebaik-baiknya. Baik dari sisi kasih sayang dan perhatian maupun menaklukkan tantangan soal biaya sekolah, misalnya.
Tapi tentu hidup pilihan. Ada sejumlah orang yang masih berjuang membersarkan anak-anaknya, ada yang masih di tahap mendambakan kehadiran anak-anak di hidupnya, ada yang seumur hidupnya keinginan memiliki anak tak terwujud namun di lain sisi, ada yang mumutuskan buat child free saja. Tak usah memiliki anak. Tak ada yang salah kan?
Mau childfree atau tidak, asalkan toleransi
Dikutip dari Kompas.com yang melansir dari situs Fertility Smarts, childfree bisa diartikan sebagao istilah yang ditujukan kepada orang dewasa yang tidak memiliki anak, baik secara biologis, adposi, atau sebagainya.
Istilah childfree sering digunakan untuk menyebut orang dewasa yang memilih tidak mau atau memang tidak bisa mempunyai anak karena terkena suatu gangguan kesehatan. Dilihat dari pengertian tersebut memang banyak alasan seseorang memutuskan untuk childfree tersebut. Misalnya beberapa hal di bawah ini.
Alasan pekerjaan dan penghasilan
Pekerjaan tak juga mapan,sementara biaya hidup teramat besar membuat seseorang memiliki ketakutan buat memiliki dan membersarkan anak. Apalagi biaya hidup buat anak semakin bertambah usia, semakin banyak.
Ada yang lain yang dibiayai
Ada pihak diluar suami istri yang masih dibiayai seperti orang tua, adik/kakak, ponakan dan menjadi beban tersendiri.Mereka tak mau menambah beban lagi. Contohnya seorang teman yang bisa dikatakan snadwitch generation karena terbebani dengan banyak biaya selain pasangan suami istri.
Mau travelling berdua
Bisa jadi tujuan hidup pasangan tersebut ingin travelling keliling dunia misalanya.Mungkin akan ribet bila mengajak anak-anak dan membutuhkan tambahan biaya juga. Childfree akhirnya jadi pilihan yang tepat buat mereka.
Pertimbangan kesehatan mental
Ada pasangan yang takut mereka akan terbebani bila tak sanggup membesarkan anak. Takut akan tekanan dalam diri mereka untuk bertanggung jawab terhadap anak yang tentu tanggungjawabnya minimal sampai mereka dewasa.
Selain 4 hal tersebut tentu banyak alasan lainnya yang menyebabkan orang childfree. Termasuk yang diungkapkan penulis sekaligus YouTuber Gita Savitri  yang menganggap bahwa dengan childfree  bisa menjadi anti penuaan alami hingga tidak membuatnya stres karena mendengar teriakan anak-anak. (viva.co.id)
Tentu saja seperti yang sudah penulis ungkapkan diatas, sah-sah saja seseorang memutuskan childfree dengan alasannya masing-masing tadi. Namun, tentu dengan tidak menghakimi  pilihan orang lain juga. Tetap bertoleransi.
Child free memutus regenerasi
Namun harus disadari, bila semua orang memutuskan childfree, bagaimana nasib regenerasi manusia? Apakah akan segera berakhir?
Pernikahan adalah gerbang untuk regenerasi. Jika generasi saat ini dan mendatang memutuskan childfree akan banyak pasangan yang tidak memiliki keturunan, perkembangan populasi manusia juga terancam.
Seseorang yang menganut child free dengan kesengajaan juga dipandang buruk di masyarakat dan norma sosial ketimuran. Selain itu imbas lain dari childfree apabila tidak ada kesepakatan dengan pasangannya,hanya satu pihak yang menginginkan bisa berimbas pada perceraian.Â
Pada akhirnya hidup adalah pilihan.Silakan memilih yang terbaik bagi hidup kita masing-masing yang tentu kelak bisa dipertanggung jawabkan kepada-Nya juga #
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H