Ada fenomena menarik dalam Presidensi G20 Indonesia 2022 ini. Pemerintah Indonesia menyiapkan mobil listrik sebagai menjadi kendaraan kendaraan operasional bagi para delegasi di KTT G20.
Ratusan mobil listrik kabarnya akan disiapkan sebagai kendaraan operasional bagi para delegasi G20. Salah satunya tentu saja mobil listrik dari pabrikan asal Korea yang dirakit pertama di Indonesia dan diresmikan Presiden Joko Widodo.
Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan penggunaan mobil listrik sebagai kendaraan operasional para delegasi KTT G20 itu, menujukkan komitmen pemerintah Indonesia dalam mendukung investasi hijau. Bagaimana energi ramah lingkungan, mendapat tempat untuk diberikan sejumlah fasilitas dan kemudahan untuk dikembangkan di Indonesia.
Tentunya, ini juga sejalan dengan salah satu dari tiga isu proritas dalam penyelenggaraan G20 di Indonesia, yakni “Transisi Energi”. Sebuah upaya untuk mengajak dunia internasional, khususnya negara G20 melakukan percepatan transisi energi.
Beralih dari penggunaan energi fosil menuju pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Menggunakan sumber energi baru, yang dapat diperbaharui dan bersih untuk lingkungan. Upaya memperkuat ketahanan energi global dengan energi hijau secara berkelanjutan.
Sudah sejak KTT G20 2021 di Roma, Italia, pemanfaatan energi bersih secara global terus dikumandangkan. Selanjutnya, dalam Presidensi G20 Indonesia, transisi energi global menuju pemanfaatan EBT berkelanjutan menjadi salah satu isu utamanya. Upaya “Recover Together, Recover Stronger”.
Sayangnya, isu transisi energi melalui pemanfaaatan EBT, sedikit terancam dengan tragedi perang Rusia-Ukraina. Pasokan gas dunia mengalami hambatan, dan masyarakat global dikhawatirkan kembali menggunakan energi berbasis fosil yakni batu bara.
Di tengah kondisi ini, pemerintah mencoba menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia tetap memiliki komitemen tinggi melakukan transisi energi hijau. Salah satunya, dukungan Pemerintah Indonesia dalam penggunaan kendaraan listrik. Upaya mengurangi efek gas rumah kaca, menuju net zero emission melalui kendaraan listrik.
Salah satu mobil listrik yang diproduksi di Indonesia oleh pabrikan asal Korea di Bekasi, seolah menjadi icon kendaraan listrik dalam perhelatan G20 di Indonesia. Bukti kepada dunia Internasional bahwa Indonesia tak main-main memanfaatkan energi hijau. Berpartisipasi secara global mengurangi polusi kendaraan di jalan raya dengan kendaraan listrik.
Selain dukungan dan fasilitas dalam pengembangan kendaraan listrik, Indonesia tentu juga menujukkan pada para peserta G20 kebijakan transisi energi dengan pemanfaatan EBT lain. Salah satunya dengan pembangunan sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap (Rooftop) di Bali, sebagai lokasi penyelenggaraan KTT G20.
Dikutip dari website PLN, selain pembangunan PLTS Atap, PLN juga menyampaikan soal pembangunan sekitar 60 unit Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Ultra Fast Charging dan 21 SPKLU Fast Charging, serta 150 home charging di Bali. Dukungan untuk pengisian daya mobil listrik yang akan digunakan para delegasi G20. Diperkirakan ada sekitar 656 unit mobil listrik yang akan digunakan selama kegiatan KTT G20 tersebut.
PRODUKSI KENDARAAN LISTRIK
Kendaraan listrik yang akan digunakan sebagai kendaraan operasional delegasi KTT G20 tersebut, tak sekadar pajangan atau gengsi semata. Penggunaan kendaraan listrik ini sudah sejalan dengan sejumlah kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengembangkan produksi dan penggunaan kendaraan listrik.
Presiden Joko Widodo juga sangat serius ingin melihat Indonesia menjadi salah satu sentra produksi, pengembangan, serta pasar besar bagi kendaraan listrik transportasi jalan berbasis baterai.
Di penghujung Juli 2022 ini, Presiden juga membawa “oleh-oleh” komitmen investasi dari para investor besar Korsel dalam lawatannya di Negeri Ginseng. Salah satunya komitmen investasi hijau untuk pengembangan kendaran listrik.
Sebelumnya, sejumlah investor asing bersama BUMN terkait, juga telah mengimplementasikan pembangunan produksi baterai listrik di Batang, Jawa Tengah. Nilainya investasinya mencapai ratusan triliun. Inilah hasil perjuangan panjang pemerintah membangun ekosistem kendaraan listrik beserta komponen utamanya di Indonesia.
Memang, sejak 2019, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) untuk Transportasi Jalan.
Bukti komitmen Indonesia untuk sigap melakukan pengembangan kendaraan listrik dan berpartisi mengembangkan transportasi jalan berbasis energi ramah lingkungan. Tentu saja termasuk di dalamnya, penyiapan infrastruktur pendukung, seperti Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum.
Seperti disampaikan dalam Website Kementerian Perindustrian, pemerintah memiliki roadmap pengembangan industri Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB). Salah satunya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 27 Tahun 2020 tentang Spesifikasi Teknis, Roadmap EV dan Perhitungan Tingkat Kandungan Lokal Dalam Negeri (TKDN).
Hal tersebut juga sejalan dengan Rencana Pengembangan Industri Nasional (RPIN). Dalam RPIN 2020-2035 tersebut, pemerintah menetapkan prioritas pengembangan industri otomotif, yakni melalui pengembangan kendaraan listrik beserta komponen utamanya. Mulai dari baterai, motor listrik, dan inverter.
Pihak Kemenperin menyebutkan, pemerintah pada 2030 menargetkan produksi BEV mencapai 600 ribu unit roda 4 atau lebih, dan sebanyak 2,45 juta unit roda 2. Lebih jauh lagi, melalui penggunaan kendaraan listrik yang diproduksi tersebut, diharapkan Indonesia bisa berkontribusi menurunkan emisi CO2. Sekira 2,7 juta ton melalui roda 4 atau lebih dan sekiara 1,1 juta ton melalui kendaraan roda 2.
Sejatinya, penggunaan kendaraan listrik disebut ramah lingkungan karena pengoperasiannya tak menghasilkan polusi asap seperti mobil atau motor yang menggunakan BBM. Juga, ramah di kantong karena tak perlu beli BBM. Salah satu produsen mobil listrik, Nissan dalam websitenya menyebutkan, satu mobil listrik diklaim dapat mengurangi pencemaran udara hingga 4,6 metrik ton gas rumah kaca.
Tentunya energi listrik ini sebaiknya juga berasal dari EBT. Demikian juga dengan dukungan penyediaan SPKLU dan baterai sebagai komponen utamanya. Proses produksi baterai mobil listrik juga harus dijaga agar jangan sampai malah menjadi sumber polusi baru, seperti banyak terjadi di luar negeri.
Jadi, langkah pengembangan kendaraan listrik di Indonesia, juga harus didukung dengan upaya mempercepat target pencapaian EBT dalam bauran energi Nasional. Bagaimana mempercepat penggunaan 25% EBT dalam bauran energi Nasional di tahun 2025 mendatang. Tentu akan sangat miris kalau ternyata sebagian besar pasokan daya SPKLU kendaraan listrik masih menggunakan energi yang berasal dari energi fosil.
Meskipun demikian, pemanfaatan mobil listrik, terlebih jika dapat digunakan secara massal baik untuk kendaraan pribadi apalagi transportasi umum, jelas akan membantu untuk mengurangi efek gas rumah kaca karena tanpa polusi. Dan sekarang ini, beberapa angkutan umum massal, kendaraan dinas pemda, sebagian sudah ada yang menggunakan mobil listrik.
DUKUNGAN PEMBIAYAAN
Dukungan pengembangan kendaraan listrik dan komponen pendukungnya, merupakan salah satu bentuk dukungan Indonesia pada investasi hijau. Investasi pada proyek-proyek ramah lingkungan dan sejalan dengan upaya Indonesia melakukan transisi dari energi fosil ke EBT.
Kemudahan fasilitas pembiayaan merupakan hal untuk mewujudkan target-target pengembangan investasi hijau melalui kendaraan listrik serta komponen utamanya. Dukungan pembiayaan perbankan jelas menjadi faktor utama yang dapat mengakselerasi target tersebut.
Di sinilah Bank Indonesia (BI) dalam perannya di bidang makroprudensial dapat memberikan dukungan mewujudkan target besar pemerintah.
Sebenarnya BI sudah memberikan dukungan untuk mendorong lembaga keuangan bank untuk meningkatkan minat konsumen menggunakan kendaraan listrik. Sejak tahun 2018 BI melalui PBI No. 20/8/2018, telah memberikan kelonggaran uang muka pembelian kendaraan listrik sebesar 5%-10%.
Kebijakan ini kemudian diperbaharui melalui PBI No.21/13/PBI/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomer 20/8/PBI/2018 tersebut. Kebijakan tersebut kemudian diperbaharui lagi melalui PBI No. 22/13/PBI/2020 tentang Perubahan Kedua atas PBI No. 20/8/2018. Melalui kedua PBI perubahan tersebut, BI memberikan batasan uang muka minimum nol persen untuk kredit kendaraan bermotor berwawasan lingkungan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Relaksasi kebijakan ini, langsung ataupun tidak langsung memengaruhi jumlah penjualan sekaligus penggunaan kendaraan listrik di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Perhubungan seperti disampaikan oleh sejumlah media Nasional dan juga Dewan Energi Nasional (DEN), penggunaan kendaraan listrik di Indonesia terus meningkat.
Dari sekira 14.400 unit pada Mei 2021 menjadi sekitar 16.600 unit pada Maret 2022. Tahun 2030 mendatang, seperti disebutkan Kementerian ESDM dalam webistenya, ditargetkan penguna kendaraan listrik roda 4 akan mencapai 2,1 juta unit dan sebanyak 13 juta unit untuk kendaraan roda dua. Di tahun 2030 itu juga, SPKLU diperkiran bisa mencapai 67 ribu unit.
Kendati demikian, kebijakan ini tentu saja baru terasa pada sisi konsumen atau demand side. Pemerintah melalui Bank Indonesia, sebaiknya juga ikut mendorong kebijakan penguatan pada sisi produksi atau supply side.
Untuk itu, selain pemberian insentif fiskal dan nonfiskal baik seperti pengenaan 0% PPnBM, hingga 0% pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor (BBN-KB) untuk kendaraan listrik, dukungan lain perlu juga diberikan.
Fasilitas tersebut diantaranya bisa dengan pemberian kemudahan pembiayaan infrastruktur kendaraan listrik dan komponen utamanya. Atau, bisa juga melalui cicilan pokok bertenor panjang. Bisa juga dengan pemberian fasilitas suku bunga rendah bagi investor yang menanamkan modalnya untuk pengembangan kendaraan listrik.
Di sinilah Bank Indonesia dapat memainkan perannya dengan memberikan dukungan terhadap investasi kendaraan listrik. Bagian dari investasi hijau berwawasan lingkungan.
Bank Indonesia dapat saja memberikan fasilitas seperti penurunan Giro Wajib Minum (GWM) kepada bank yang mampu mencapai target pembiayaan infrastruktur kendaraan listrik dan komponennya. Tentu dengan tetap menekankan upaya untuk mengedepankan prinsip kehati-hatian bank.
Yang jelas, melalui Presidensi G20 Indonesia, pemerintah dapat menunjukkan dukungannya terhadap upaya melakukan transisi energi dari energi fosil menuju energi baru dan terbarukan. Mengajak semua negara di G20 untuk bersama-sama mendukung upaya mengurangi emisi karbon global.
Sebuah kebanggan yang dapat ditunjukkan pemerintah dalam Presidensi G20 Indonesia bahwa komitmen kita melakukan transisi energi belum terguncang oleh ancaman krisis energi global. Sebaliknya, pemerintah Indonesia dapat membuktikan, transisi energi merupakan solusi untuk pulih bersama dan semakin kuat pasca Pandemi Covid 19.
Tentu kita berharap, Presidensi G20 Indonesia dapat berlangsung sukses. Memberikan manfaat besar bagi Indonesia sebagai tuan rumah di mata dunia. Juga, sukses melakukan pemulihan bersama menjadi semakin kuat, dengan tetap peduli terhadap lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H